SULTAN AGUNG SEBAGAI
PENGGAGAS STRATEGI POLITIK SINGKRETISME DI KERAJAAN MATARAM ISLAM PADATAHUN
1613-1645
Slamet Rohman
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kejayaan
suatu negara ataupun kerajaan, dimasa sekarang maupun masa silam, merupakan
suatu keberhasilan dalam melaksanakan strategi politik dalam segala
manifestasinya. Strategi politik ini menyangkut bagaimana wilayah yang
berdaulat tersebut dapat berkembang lebih maju dalam segala bidang. Menurut
Kamus Rebert, 1962 (dalam Hamid. T,. A,. Q. 2001: 3) mendefinisikan” politik
sebagai, seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia.” Namun definisi
modern mencakup pengaturan negara dan mengatur pola kemasyarakatan manusia,
sehingga kata-kata “memerintah dan mengatur” itu, berarti dalam seluruh
masyarakat adalah kekuasaan yang terorganisasi serta lembaga-lembaga
kepemimpinan dan pemilik kekuasaan penekanan (Hamid. T., A., Q. 2001: 3-4).
Pemilikan kekuasaan merupakan salah satu komponen dalam menjalankan sebuah
politik. Pada masa berdirinya beberapa kerajaan islam di nusantara, kekuasaan
seorang raja maupun Sultan merupakan kekuatan politik yang sangat ideal dan
paling kuat pada masanya.
Sultan
Agung merupakan raja ketiga yang memerintah sejak tahun 1613-1645 dan membawa
Mataram pada kejayaan gilang-gemilang. Warisan kekuasaan dari raja-raja
sebelumnya merupakan modal kuat dalam menjalakan segala kebijakan politik.
Kebijakan-kebijakan politik Sultan Agung dewasa ini membawa Mataram kepada
Kejayaannya dan mampu mengintegrasikan wilayah-wilayah di tanah Jawa di bawah
kekuasaan Mataram Islam. Strategi politik yang termahsyur dan hasilnya masih bisa
di rasakan sampai saat ini, yaitu ketika Sultan Agung mengeluarkan kebijakan
untuk memadukan antara ajaran Islam dengan tradisi lama masyarakat pedalaman
Jawa yaitu Hindu, Buddha dan animisme. Pemaduan ini disebut juga singkretisme yang menghasilkan suatu
tradisi baru dalam masyarakat Islam di Jawa, yang diebut juga Islam Kejawen.
Singkretisme merupakan strategi
politik yang digunakan oleh Sultan Agung untuk dapat menyelesaikan konflik
antara Islam puritan dengan masyarakat pedalaman yang masih memegang teguh
tradisi lama. Lebih dari pada itu, hal terpenting dalam menjalankan strategi
politik singkretis ini, yaitu usaha Sulta Agung untuk mendapatkan dukungan
kekuatan dari masyarakat pedalaman, guna mempermudah menjalankan kebijakan
sebagai penguasa. Sesuai dengan uraian-uraian berikut, maka makalah ini akan
membahas tentang strategi politik singkretis yang dilaksanakan oleh Sultan Agung
selama menjadi raja di Kerajaan Mataram Islam, dengan judul “Sultan Agung Sebagai
Penggagas Strategi Politik Singkretisme Di Kerajaan Mataram Islam Padatahun
1613-1645”.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1 Mengapa Sultan Agung menggunakan strategi
politik singkertisme?
1.2.2 Bagaimana dampak setelah Sultan Agung
melaksanakan strategi politik singkretisme dalam kekuasaan?
1.3
Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui faktor Sultan Agung
menggunakan strategi politik singkertisme.
1.3.2 Untuk mengetahui dampak strategi politik
singkretisme dalam kekuasaan.
1.4.
Konsep
1.4.1 Kekuasaan
Politik
(politics) dianggap identik dengan kuasaan. Telah muncul begitu banyak definisi
lain sehingga beberapa ahli, seperti W. Connoly (1983) dan S. Lukes (1974)
menganggap kekuasaan sebagai suatu konsep yang dipertahankan (a contested
concept) yang artinya merupakan hal yang tidak dapat dicapai suatu consensus.
Perumusan yang khususnya. Perumusan yang umumnya dikenal ialah bahwa kekuasaan
adalah kemampuan seorang pelaku untuk memengaruhi perilaku seorang pelaku lain,
sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai
kekuasaan. Dalam perumusan ini pelaku bisa berupa seorang, kelompok orang atau
suatu kolektivitas. Kekuasaan selalu berlangsung antara sekurang-kurangnya dua
pihak, jadi ada hubungan (relationship) antara dua pihak atau lebih. max Weber
dalam bukunya Wirtschaft und Gesellshaft (1922): Kekuasaan adalah kemampuan
untuk, dalam suatu hubungan social, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun
mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini (Miriam, B. 2008: 53).
1.4.2 Otoritas/wewenang (Authority) dan
Legitimasi (Legitimacy)
Ada beberapa pengertian yang
erat kaitannya dengan kekuasaan, yaitu otoritas, wewenang (authority) dan legitimasi
(keabsahan). Setiap dengan konsep kekuasaan, disini pun bermacam-macam
perumusan ditemukan. Perumusan yang
mungkin paling mengenai sasaran adalah definisi yang dikemukakan oleh Robert
bierstedt dalam karanganya an Analysisof Social Power yang mengatakan bahwa
wewenang (authority) adalah institutionalized power (kekuasaan yang
dilembagakan). Dengan nada yang sama dikatakan oleh Harold D. Laswell dan
Abraham Kaplan dalam buku Power and
Society bahwa wewenang adalah kekuasaan yang formal (formal power). Dianggap bahwa yang mempunyai wewenang (authority) berhak untuk mengeluarkan
perintah dan membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan
terhadap peraturannya (Miriam, B. 2008:
53).
Dalam rangka pembahasan
mengenai wewenang perlu disebut pembagian menurut sosiolog terkenal Max weber
(1864-1922) dalam tiga macam wewenang, yaitu tradisional, kharismatik, dan
rasional-legal. Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan diantara anggota
masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh
tradisi itu wajar dan patut dihormati. Wewenang kharismatik berdasarkan
kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius
seorang pemimpin. Hitler dan Mao Zedong sering dianggap sebagai pemimpin
kharismatik, sekalipun tentu mereka juga memiliki unsur wewenang
rasional-legal. Wewenang rasional-legal berdasarkan kepercayaan pada tatanan
hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin. Yang ditekankan bukan
orangnya akan tetapi aturan-aturan yang mendasari tingkah lakunya (Miriam,
B. 2008: 53).
Keabsahan adalah keyakinan
anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada .Pada seseorang, kelompok, atau penguasaha adalah wajar dan patut
dihormati. Kewajaran ini berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu
sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam
masyarakat dan sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang sah. Jadi, mereka yang
diperintah menganggap bahwa sudah wajar peraturan-peraturan dan
keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa dipatuhi. Dalam hubungan ini
dikatakan oleh David Easton bahwa keabsahan adalaah : “keyakinan dari pihak
anggota (mayarakat) bahwa sudah wajar baginya untuk menerima baik dan menaati
penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu (the conviction on the
part of the member that it is right and proper for him to accept and obey the
authorities and to abide by the requitments of the egime) (Miriam, B. 2008: 64).
Dilihat dari sudut penguasa, dapat
disebut di sini ucapan A.M. Lipset: “Legitimasi mencakup kemampuan untuk
membentuk dan mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk
politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat itu (legitimacy
includes the capacity to produce and maintain a belief, that the exiting
political institutions or forms are the most appropriate for the society). Jika
dalam suatu system politik terdapat konsensus mengenai dasar-dasar dan tujuan
masyarakat, keabsahan dapat tumbuh dengan kukuh, sehingga unsure paksaan serta
kekerasan yang dipakai oleh setiap rezim dapat ditetapkasn sampai minimum. Maka
dari itu pimpinan dari suatu sistem politik akan selalu mencoba membangun dan
mempertahankan keabsahan di kalangan rakyat karena hal itu merupakan dukungan
yang paling mantap (Miriam, B. 2008:
64).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Faktor
Sultan Agung menggunakan strategi politik singkertisme
2.1.1 Perebutan Kekuasaan Hingga Munculnya
Kerajaan Mataram
Munculnya
kerajaan Mataram Islam tidak terlepas dari serangkaian kejadian sejarah yang
mendahului sebelum berdirinya. Mataram Islam lekat hubungannya dengan
penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa. Penyebaran Islam di Jawa ditandai dengan
hadirnya beberapa ulama seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ketanah
Jawa, khususnya Jawa Timur yang sebelumnya singgah di Kerajaan Pasai. Maulana
Malik Ibrahim menjadi penyebar Islam di Gresik dan sekitarnya, maulana Ishaq ke
Banyuwangi. Selain kedua ulama tersebut, masih ada seorang penyebar Islam di
Jawa Timur yang bernama Ampel. Sunan Ampel, merupakan putera Syaikh Ibrahim
Asmaraqandi, yang menyebarkan Islam di Surabaya. Syaikh Jumadil Kubra adalah
ayah Syaikh Ibrahim Asmaraqanadi yang memiliki keturunan Sunan Ampel, dari
Sunan Ampel inilah lahir cikal bakal wali-wali
di Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa melalui wali-wali inilah Pelembagaan
Islam dalam bentuk negara dapat direalisasikan. Kerajaan Demak adalah bukti
kreasi para wali untuk semakin memantapkan penyebaran Islam di Jawa (Syam. N.
2005: 68-69)
Menurut
berita asing dari Cina yang ditulis oleh Ma-Huan dari sekitar tahun 1433 M dan
berita Portgis terutama dari Tome Pires (1512- 1515) (dalam Poesponegoro. M., D
& Notosusanto. N. 2008: 50 ), memberikan gambaran tentang kehadiran para
pedagang dan ulama di kota-kota pelabuhan pesisir utara Pulau Jawa. Islamisasi
yang terjadi di beberapa kota pesisir utara Jawa dari bagian Timur samapai ke
Barat lambat laun menyebabkan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, berturut-turut
dari Demak kearah Barat muncul kerajaan Cirebon dan Banten, dan dari Demak
kearah pedalaman muncul kerajaan Pajang dan terutama kerajaan Mataram. Beberapa
uraian berikut memberikan informasi bawasannya masyarakat Islam di Pulau Jawa,
memulai hegemoni politiknya dengan dipelopori munculnya wali-wali yang
menyebarkan Islam ditanah Jawa. Untuk dapat memperlancar usaha menyebarkan
Islam di Jawa, para ulama penyebar ajaran Islam dewasa ini melakukan seragkaian
strategi untuk mendominasi kegiatan politik ditanah Jawa. Berdirinya kerajaan
Demak pada awal abad ke15 merupakan bukti bagaimana para pembesar Islam mulai
meghegemoni masyarakat Jawa.
Demak mengalami kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Trenggono yang merupakan raja ke tiga setelah Pangeran
Sabrang Lor atau Pati Unus. Namun setelah mangkatnya Sultan Trenggono terjadi
perebutan kekuasaan dikalangan keluarga. Akibat
perebutan kekuasaan dikalangan keluarga dan
kerabat tersebut, terjadi perselisihan politik diantara wali sanga yang masing-
masing menjadi pendukung untuk pengangkatan penguasa-penguasa. Setelah pangeran
Trenggana diganti oleh Sunan Prawoto, yang mati dibunuh oleh Arya Penangsang
dari Jipang pada tahun 1549. Arya Penangsang mati dibunuh oleh ipar sunan
Prawoto, yaitu Jaka Tingkir. Setelah membunuh Arya Penangsang, ia menobatkan
dirinya sebagai Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Setelah wafat
pada tahun 1587 ia digantikan oleh putranya, yaitu pangeran Benawa. Pada masa
pemerintahannya, kerajaan Pajang kehilangan daerah Mataram yang masa
pemerintahan Sultan Hadiwijaya telah diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan, anak
Ki Ageng Ngenis atas jasanya dalam pembunuhan Sunan Prawata. Di tempat inilah
Ki Ageng Pemanahan mendirikan Keraton tahun 1578, sebagai tanda berdirinya kerajaan
Mataram Islam (Poesponegoro. M., D & Notosusanto. N. 2008: 54-56).
Mataram
Islam berdiri diatas serangkaian sejarah yang sangat kental dengan aroma
perpolitikan. Perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan Demak sebagai bukti
aroma politik yang membawa kelahiran
bagi Mataram Islam. Beberapa sarjana Amerika 1930-an berpendapat, bahwa politik
sebagai kegiatan atau proses, dan negara sebagai sarana perubutan kekuasaan
antara berbagai pihak kelompok maupun masyarakat (Budiardjo. M. 2008: 73).
Potret inilah yang terjadi dikalangan keluarga kerajaan Demak, hingga akhirnya
munculah Mataram sebagai hasil atau dampak serangkaian peristiwa perjalanan kerajaan
Demak. Citra seperti ini sudah terjadi sebelum Demak berdiri sebagai Kerajaan
bercorak Islam. Di Timur Tengah, perebutan kekuasaan atas kerajaan bercorak
keislaman sudah berlangsung dan berlarut-larut, sebagai gambaran cirikhas
kerajaan Islam di masa lampau. Kejayaan dan kekuasaan merupakan sumber yang
kuat dalam proses terjadinya konflik di dalam kerajaan Islam.
2.1.2 Dari Pesisir Menuju Pedalaman
Peralihan
pusat kekuasaan dari Demak kemudian ke Pajang sampai ke Mataram merupakan
pergeseran pusat pemerintahan dari derah pesisir kedaerah pedalaman sehingga
terjadi perubahan sifat kerajaan maritim ke kerajaan Agraris (Poesponegoro. M.,
D & Notosusanto. N. 2008: 55). Perpindahan ini berpengaruh terhadap pola
penyebaran Islam yang sebelumnya lebih bersifat puritan. Perubahan ini terjadi
karena fakator masyarakat pedalaman merupakan masyarakat yang agraris dan ini
merupakan suatu budaya masyarakat pedalaman yang sudah diwariskan sejak masa
berjayanya kerajaan Hindu-Buddha di tanah Jawa. Garis budaya yang memiliki
perbedaan ini menyulitkan penguasa Mataram untuk mendapatkan dukungan dari
masyarakat pedalaman. Dukungan dari masyarakat pedalaman sangat penting bagi
pengukuhan kekuasaan Sultan Agung sebagai raja ketiga Mataram. Untuk
mendapatkan dukungan yang kuat dari masyarakat pedalaman, Sulatan Agung
melakukan singkretisme antara ajaran agama Islam dengan tradisi lokal yang
masih kental dengan ajaran animisme, Hindu dan Buddha sebagai strategi
politiknya. Strategi politik seperti ini, dilaksanakan oleh Sultan Agung agar
dapat mengambil simpati masyarakat dengan mengislamkan budaya lokal yang telah
lama menjadi budaya. Dengan banyaknya masyarakat pedalaman yang memeluk Islam
dengan budaya baru hasil singkretis Sultan Agung, kekuasaannya sebagai raja
akan semakin kuat karena mendapat dukungan yang penuh dari masyarakat pedalaman
yang masuk dalam wilayah pedalaman.
Dalam
ilmu politik, kekusaaan merupakan konsep atau salah satu dari komponen kegiatan
politik yang paling penting. Kemampuan seorang pelaku untuk memengaruhi
perilaku seorang pelaku lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan
keinginan dari pelaku yang mempunyai kakuasaan ( Miriam. B. 2008: 53). Realitas
inilah yang terjadi pada masa kekuasaan Sultan Agung. Sultan Agung dengan
kekuasaanya sebagai raja dan penguasa utama di seluruh wilayah Mataram,
mempengaruhi masyarakat Mataram yang masih menganut tradisi lokal Jawa dengan
melaksanakan singkretisme sebagai strategi politik. Dengan singkretisme ini
diaharapkan agar masyarakat yang semula masih menjalankan tradisi lokal beralih
pada ajaran-ajaran Islam dengan menjadi seorang Muslim. Banyaknya masyarakat
Mataram yang masuk Islam, membuktikan bahwa Sultan Agung mampu mempengaruhi
masyarakat pedalaman. Dengan pengaruh seperti ini, Sultan Agung akan semakin
mudah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan untuk mengatur masyarakat Mataram.
Jatuhnya
kerajaan Demak juga di barengi dengan kedatangan penjajah Belanda tahun 1596 M.
kekuatan penjajah Belanda terletak pada peran VOC dalam mengambil alih dunia
perdagangan yang pernah dimiliki kerajaan Islam. Seluruh pelayaran yang
menempati kawasan pesisir Jawa diblokade oleh Belanda. Dampakya, para dai di
Jawa tidak lagi memiliki kesempatan berkomunikasi dengan teman-temannya
diwilayah seberang dan lebih banyak berkubang dengan masyarakat pedalaman yang
menonjolkan tradisi lokal. Aliran pesisir itu telah bergeser menjadi aliran
pedalaman seiring dengan meredupnya peran ulama dipesisir karena telah dikuasai
oleh Mataram (Sutiyono. 2010: 76-77). Mataram sebagai penerus kerajaan Demak
telah dapat beradaptasi dengan kebudayaan masyarakat pedalaman yang masih
mengunggulkan tradisi lokal Jawa. Demak masih menyisakan para dai-dai yang
masih perpegang teguh dalam ajaran Islam syariat atau masih bersifat puritan
yang tersebar luas di pesisir utara Pulau Jawa.
Masih
adanya para dai penyebar agama Islam dipesisir Utara Pulau Jawa, dewasa ini
menimbulkan pertentangan antara ajaran Islam Puritan yang tersebar di Seluruh
Pantai Utara dengan Islam Singkretis yang tersebar di tanah pedalaman pulau
Jawa. Guna menghindari adanya pembangkangan dari kekuatan masyarakat pesisir
yang kental dengan keislaman syari’ahnya serta guna menyeimbangkan keuatan yang
berasal dari masyarakat pedalaman yang meiliki perbedaan kultur dengan
masyarakat pesisir, terutama menyangkut hitungan tahun yang berpengaruh
terhadap siklus kehidupan masyarakat, Sultan Agung melakukan singkretisme
dengan cara menentukan tahun Jawa berdasarkan bulan Islam (hijriah), akan
tetapi awal penghitungan menggunakan tahun Jawa, saka (Masehi). langkah ini
kemudian efektif menciptakan kestabilan politik didalam masyarakat. Dengan cara
seperti itu pula Sultan Agung mampu mengakomodasi dan mendapatkan dukungan
secara berimbang didalam masyarakat yang memiliki perbedaan tradisi (Hartono.
Y., Rozaki. A., & Shodiq. S., H. 2002: 95-96)
Beberapa
uraian sebelumnya telah dapat digunakan sebagai pandangan untuk melihat dan
mengintepretasikan alasan Sultan Agung untuk melaksanakan strategir politik
singkretis. Hal ini telah di jelaskan pada uraian sebelumnya, bahawasannya
Sultan Agung ingin mengukuhkan kekuasaannya sebagai raja di kerajaan Mataram. Karena
Mayoritas masyarakat pedalaman yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Mataram
menganut suatu tradisi lokal Jawa, menyulitkan Sultan Agung untuk dapat
melaksanakan kebijakan-kebikannya yang dikarenakan kepercayaan yang dibawa oleh
pendahulu kerajaan Mataram bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat pedalaman. Oleh karena masyarakat lokal masih banyak yang
menjalankan praktek tradisi Jawa, Sultan Agung mencoba mengislamkan
ajaran-ajaran tradisi Jawa tersebut, agar masyarakat tersebut banyak yang
menganut agama Islam. Semakin meluasnya agama Islam di kerajaan Mataram akan
semakin mendukung eksisistensi kekuasaan Sultan Agung. Selain itu singkretisme
dilakukan Sultan, agar dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara
Islam Pesisir yang ortodoks atau puritan dengan Islam Singkretis yang diusung
oleh Sultan Agung. Sultan Agung Menganggap bahwa apabila semua masyarakat di Jawa
baik Pedalaman maupun pesisir menganut ajaran Islam Singkretis akan menyelesaika
permasalahan yang terjadi antara Islam pesisir dengan pedalaman dalam satu
komando dari Sultan Agung.
2.2 Dampak
strategi politik singkretis dalam kekuasaan
2.2.1 Gelar Singkretis dan pengakuan dari Makah
Gelar
Sultan disandang Sultan Agung
menunjukan bahwa beliau memiliki
kelebihan dari pada Panembahan Senopati dan Panebahan Sedo Ing Krapyak, raja
sebelumnya. Sultan Agung dinobatkan sebagai raja pada 1613 dalam usia sekitar
20 tahun, ketika masih menggunakan gelar Panembahan. Selanjutnya pada tahun
1624, Sultan Agung mengganti gelarnya menjadi Susuhunan. Pada tahun 1641, ia
menerima pengakuan dari Makah sebagai seorang Sultan, kemudian mengambil gelar
selengkapnya “Sultan Agung Anyakrakusumo
Senopati Ing Aloga Ngabdurrahman Sayyidin Panotogomo Khalifatullah” (raja
yang agung, pangeran yang sakti, panglima perang, pemangku amanah Alloh Yang
Maha Kasih, junjungan panata agama wakil Tuhan di muka Bumi). Seiring dengan pengakuan
dari Mekah inilah tampaknya batu dari Mekah sebagai bagian dari hadiah yang
diperuntukan bagi sultan, sebagai symbol dari keteguhan tekad menegakkan agama
dan melawan penjajahan(Solikhin. M. 2010:111-112).
Pengakuan
dari mekah ini membuktikan bahwasaanya Mataram berdiri dibawah kekuasaan Sultan
Agung telah mengukuhkan kerajaan yang berdaulat penuh atas wilayah yang
dikuasainya. Hal ini sesuai dengan syarat mutlak sebagai suatu negara yang
berdaulat haruslah mendapatkan pengakuan yang sah dari negara lain ataupun
kerajaan lain. Strategi ini dilaksanakan oleh Sultan Agung agar kerajaan yang
dipimpinnya benar-benar menjadi negara yang besar dan berdaulat sepenuhnya.
Dengan pegakuan dari Mekah tersebut telah membuktikan bagaimana hubungan luar
negeri kerajaan Mataram telah dijalin dengan baik sebagai kerajaan yang
berdaulat dan menjalankan syariat-syariat agama Islam dalam segala bentuk
kehidupan di kerajaan. Batu yang dibawa dari Mekah merupakan bukti keteguhan
Sultan Agung dalam menegakkan agama Islam, karena batu tersebut telah dibawa
dari wilyah yang berdaulat kuat dan menjadi wilayah dimana lahirnya agama Islam
yaitu Arab.
Lebih
dari pada pengakuan kedaulatan yang diberikan oleh Mekah, ada hal yang lebih
penting terkait dengan politik singkretis Sultan Agung. Gelar yang telah Sultan
Nobatkan pada dirinya merupakan suatu bentuk symbol singkretis yang ia lakukan
sebagai penguasa utama di Kerajaan Mataram guna memberikan kekuatan dalam
menjalankan segala kekuasaannya serta syarat akan nafas politik. Dari artigelar
tersebut dapat diketahui bahwasanya Sultan Agung berperan sebagai Raja yang
besar yang mengharuskan rakyat tunduk dan patuh atas segala kebijakannya. Gelar
kesaktian juga merupakan salah satu manifestsi strategi politik Sultan, karena
dalam tradisi Jawa seorang raja harus lah dianggap oleh masyarakat sebagai
orang yang sakti mandraguna, oleh karena itu gelar kesaktian tersebut merupakan
suatu usaha Sultan Agung dalam mempengaruhi masyarakat Mataram yang masih
kental dengan budaya Jawa untuk patuh terhadap segala perintahnya. Bukan hanya
mempengaruhi masyarakat saja, Sultan Agung juga memberikan symbol kekuasaanya
terhadap kalangan militer dengan menobatkan dirinya sebagai panglima perang.
Dalam
symbol gelarnya Sultan Agung juga menisbatkan dirinya sebagai penata Agama
Islam dan sebagai wakil Tuhan di dunia. Hal ini membuktikan bahwasannya Sultan
Agung selain sebagai seorang raja juga menjadi seorang pengatur agama, yang
dibuktikan oleh Sultan dengan mengombinasikan antara ajaran Islam dengan tradisi
Jawa, yang pada akhirnya melahirkan budaya baru dalam Islam yaitu Islam
kejawen. Sultan Agung melakukan ini agar masyarakat lokal mau memeluk agama
Islam yang ajarannya telah dipadukan dengan tradisi jawa, dengan begitu
masyarakat lokal yang masuk Agama Islam tidak keberatan untuk mengikuti ajaran
Singkretis tersebut. Symbol wakil Tuhan memberikan arti bahwasaanya masyarakat
taat dalam ajaran agama Islam harus selalu mematuhi dan menghormati Sultan
Agung sebagai pemimpin agama tertinggi. Dari symbol-symbol tersebut dapat
diketahui, Sultan Agung ingin mengintegrasikan antara ajaran Islam dan tradisi
Jawa. Dengan bersatunya seluruh masyarakat dalam satu ajara yaitu sering
disebut Islam kejawen, Sultan Agung akan dengan mudah memerintah rakyatnya dan
begitu juga pada segi militer.
2.2.2 Konflik dengan Islam Pesisir
Kerajaan
Mataram yang berpusat di pedalaman Jawa atau kurang lebih berada pada pancer (puser/pusat) tanah Jawa menjadi
tempat tarik ulur antara Islam gaya pesisiran yang ortodoks dengan paham
Jawa-Hindu. Islami Jawa semakin kuat dan sebaliknya Jawanisasi Islam juga sangat
kuat. Terlebih setelah Mataram menaklukan pusat-pusat pengajaran Islam di
pesisir Utara Jawa, seperti Pasuruan (1617), Tuban (1619), Surabaya (1625),
Pati (1627), dan Giri (1636). Kota-kota itu di hancurkan, karena karisma Islam
pesisir yang puritan masih bergema mempengaruhi wilayah pedalaman. Penghancuran
wilayah pesisir jelas mempunyai maksut politik, yakni pimpinan negara Mataram
akan menerapkan Islam singkretis, mengingat rakyat pedalaman masih kental
dengan paham pra-Islam (kejawaan). Dengan demikian, beridirinya kerajaan
Mataram berimplikasi pada perubahan dari Islam ortodoks menjadi Islam kejawen
(Sutiyono. 2010: 78-79).
Konflik
yang terjadi merupakan suatu permasalahan yang syarat akan politik. Pada pihak
pesisir mereka ingin mempertahankan kemurnian Islam dan dari pihak Sultan Agung
ingin meluaskan ajaran singkretisnya di wilyah peisisir yang masih puritan.
Degan dapat menyebarkan ajaran Islam kejawen di wilayah pesisir, Sulatan Agung
akan lebih mudah dalam mengatur wilyah-wilayah tersebut. Pada dasarnya, Sultan
Agung mencita-citakan agar tanah Jawa bersatu dan tidak terpetak-petak dengan
jalan menyebarluaskan pengaruh ajaran Islam singkretis ke wilayah pesisir.
Strategi seperti ini juga menggambarkan bagaimana Sultan Agung ingin meluaskan
wilayah kekuasaannya dan mengintegrasikan wilayah-wilayah yang di pimpin oleh
raja-raja lokal dibawah pimpinan kerajaan Mataram.
Setelah
mengalami kekalahan dari Batavia 1628-1629, Kharisma Sultan Agung mulai
memudar. Kekalahan ini diiringi dengan banyaknya pemberontakan, mulai dari
daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dari Jawa Tengah muncul
pemberontakan yang dipelopori para guru agama Tembayat tahun 1630. Seluruh
pemberontakan di bantai habis oleh Sultan Agung. Untuk mengatasi konflik yang
berkepanjangan, Sultan Agung melakukan Ziarah ke Makam Tembayat tahun 1633 dan
sekaligus membangun pintu gerbang dikompleks pemakaman tembayat. Upaya ini
harus dilihat sebagai strategi politik, yaitu menetralkan persengketaan antara
Mataram dan Tembayat. Setidaknya, hal ini menunjukan adanya upaya damai untuk
memadukan dua unsure peradaban, yaitu
Islam dan kebudayaan Jawa (Sutiyono. 2010: 79). Terlihat bagaimana usaha Sultan
Agung untuk memperluas Islam Singkretis dengan segala cara, hingga pembunuhan-pembunuhan
terhadap guru Tembayat juga dianggap sebagai langkah yang paling baik. Sifat
memaksa dewasa ini begitu terlihat dalam usaha Sultan Agung untuk menjalankan
strategi. Sebagai penguasa tertinggi di Kerajaan Mataram, Sultan Agung dengan
mudah memaksakan kehendak dengan dasar-dasar alasan untuk menyatukan Jawa dalam
satu ajaran agama, yaitu Islam yang berpadu dengan kebudayaan Islam.
Sebagai
kelanjutan pertentangan penguasa Mataram terhadap wilayah pesisir, pertentangan
antara Islam puritan yang ortodoks dan Islam singkretis yang kejawen semakin
menghebat. Banyak ulama yang dibunuh oleh Sultan-sultan Mataram. hal ini
disebabkan, para ulama yang dulunya memiliki kedudukan di atas raja kini
berbalik menjadi bawahannya. Gejolak yang sangat menonjol pada masa
pemerintahan Sultan Agung dan sesudahnya adalah Tokoh Syekh Amongrogo. Sebagai
kelanjutan dari usahanya menyerang wilayah pesisir, terutama Giri, salah
seorang putra Giri, Syakh Amongrogo ditawan Sultan Agung. Sultan Agung merasa
khawatir kalau peperangan antara Giri dan Mataram berkepanjangan berakibat
banyak ilmu mistik yang hilang (Sutiyono. 2010: 79). Segala cara dilakukan oleh
Sultan Agung demi melancarkan strateginya untuk dapat menguasai dan memerintah
seluruh Jawa dalam jalan melebarkan ajaran singkretismenya.
Perlawanan-perlawanan yang terjadi ia tanggapi dengan berbagai cara demi
terpenuhi ambisinya. Sultan Agung beranggapan bahwa dengan Islam singkretis
akan selesai sudah pertentangan antara Islam puritan dengan kebudayaan Jawa
yang tumbuh subur di pedalaman Pulau Jawa dan ini merupakan konflik yang sudah
lama berlangsung sejak berdirinya kerajaan Demak.
2.2.3 Sultan Agung sebagai Imam agama Islam
Mahazab Jawa
Di
luar peranan politik dan militer, Sultan Agung dikenal sebagai penguasa yang
menaruh perhatian besar terhadap perkembangan Islam di Jawa. Ia adalah pemimpin
yang taat beragama, sehingga memperoleh simpati dari kalangan ulama. Untuk
memperkuat suasana keagamaan, tradisi khitan, memendekan rambut, dan mengenakan
tutup kepala berwarna putih dinyatakan sebagai ketentuan syariat yang harus
ditaati setiap menjalankan ibadah keagamaan. Namun demikian, Sultan Agung juga
selalu menjaga dan mengembangkan tradisi dan budaya Jawa. Berbagai Tarian,
berbagai serat ajaran kegamaan dibuat oleh Sultan sendiri, termasuk tarian
legendaris mistis, tari Bedhoyo Ketawang (Solikhin. M. 2010: 115). Terlihat
bagaimana Sultan Agung sebagai penata Agama, seperti yang terwakili dalam
gelarnya, ia memperlihatkan pengaruhnya dengan melestarikan kigiatan-kegiatan
yang sudah menjadi tradisi Islam. Sebagai Penguasa yang sangat menghormati
budaya lokal Jawa, ia berusaha untuk tetap melestarikan budaya Jawa dengan
menciptakan tarian yang bernuansa kejawaan.
Bagi
Sultan Agung, Mataram adalah kerajaan Islam yang mengemban amanat Tuhan di
Tanah Jawa. Struktur serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem kekuasaan
kerajaan. Tradisi keagamaan, seperti sholat Juma’at di masjid, grebeg puasa
(ramadhan), Grebeg Suro dan upaya pengalaman syariat Islam, merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari tatanan intern istana. Bahkan kemudian, termasuh ijtihad yang terbesar dari Sultan, tahun
saka menjadi sistem tarikh dengan tanggal dan bulan hijrah sebagai dasar
perhitungan. Penanggalan dan bulan memakai sistem Qamariah yang diambil dari
Islam, namun angka tahun dan nama tahun tetap memakai sistem Jawa, atau tahun
saka. Seandainya, Sultan Agung, sistem Hijriah tersebut tidak diperkenalkan
sebagai sistem perhitungan dalam penanggalan, bisa jadi penggunaan tarikh
Qamariyah dan hijriah di Indonesia tidak seperti sekarang. Dari Sultan Agung
inilah kemudian pola peringatan tahun hijriah dilaksanakan secara resmi oleh
negara, dan diikuti seluruh masyarakat Jawa (Solikhin. M. 2010: 115-116).
Dari
beberapa uraian diatas, dapat di pahami, bahwa dengan beberapa usaha Sultan
Agung untuk melesatarikan tradisi Islam dan Jawa atau sering disebut dengan
Islam kejawen merupakan suatu bentuk strategi politik yang dilakukan guna
mencari simpati dan dukungan dari masyarakat seluruh Jawa. Tidak dapat
dipungkiri dengan usaha seperti demikian, Sultan Agung mendapatkan dukungan besar
dari Masyarakat dan mampu membawa kerajaan Mataram pada keemasannya. Strategi
politik Singkretis ini membawa Sultan Agung pada dukungan dari berbagai elemen
masyarakat dan militer. Dapat terlihat dari beberapa tradisi baru yang disahkan
sebagai kegiatan wajib kerajaan dan harus dilaksanakan oleh seluruh masyarakat
Jawa. Keikut sertaan masyarakat Jawa dalam melestarikan Sutau tradisi baru ini
merupakan bukti dukungan masyarakat untuk Sultan sebagai penguasa tertinggi
Kerajan Mataram. kebijakan-kebijakan Sultan Agung menjadi sebuah kewajaran bagi
masyarakat yang berada dalam lingkup kerajaan Mataram Islam.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Munculnya
kerajaan Mataram Islam tidak terlepas dari serangkaian kejadian sejarah yang
mendahului sebelum berdirinya. Mataram Islam lekat hubungannya dengan
penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa yang ditandai oleh munculnya para da’i
penyebar ajaran Islam. Agar dapat memperlancar penyebaran Islam di tanah Jawa,
para ulama tersebut melakukan seragkaian usaha untuk mendominasi kegiatan
politik. Berdirinya kerajaan Demak merupakan bukti, bagaimana para ulama
penyebar Islam telah berhasil mendominasi kegiatan politik di tanah Jawa.
Kejatuhan Kerajaan Demak dibarengi dengan pengusaan pantai Timur Jawa oleh VOC.
Dengan begitu penyebaran Islam berpindah kearah pedalaman, hingga akhirnya
munculah kerajaan Mataram Islam. Mataram sebagai penerus kerajaan Demak telah
dapat beradaptasi dengan kebudayaan masyarakat pedalaman yang masih
mengunggulkan tradisi lokal Jawa. Demak masih menyisakan para dai-dai yang
masih perpegang teguh dalam ajaran Islam syariat atau masih bersifat puritan
yang tersebar luas di pesisir utara Pulau Jawa.
Kejayaan
Mataram Islam dibawah kepemimpinan raja yang ketiga, yaitu Sultan Agung. Sultan
Agung melakukan strategi politik Singkretis yang menggabungkan antara Ajaran
Islam dengan tradisi lokal jawa. Hal ini dilakukan oleh Sultan guna dapat
mempersatukan tanah Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Namun pada awalnya politik
ini mendapat tentagan dari para dai yang berada di pesisir pantai utara pulau
Jawa, karena mereka masih berpegang teguh dengan syariat Islam. Setelah
melewati serangkaian tragedy, akhirnya Sultan Agung mampu menerapkan
singkretisme di tanah Jawa dengan bukti hampir seluruh masyarakat Tanah Jawa
member dukungan penuh atas kepemimpinannya. Tradisi-tradisi baru yang
diciptakanpun di laksanakan oleh seluruh masyarakat pulau Jawa yang masih
membekas samapai saat ini. Semua itu tidak terlepas dari strategi politik yang
di lakukan oleh sulatan Agung, untuk menyatukan tanah Jawa di bawah Mataram
Islam dan memerangi imperialisme di tanah Jawa. Oleh sebab itulah dukungan
penuh dari masyarakat Jawa merupakan keharusan bagi Sultan Agung.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiardjo. M. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hamid. T., A., Q. 2001. Pemikiran Politik Dalam Al-Qur’an. Jakarta: Gema Isani Press.
Hartono. Y., Rozaki. A., & Shodiq. S., H.
2002. Agama dan Relasi soial: menggali
kearifan dialog. Yogyakarta: LKis.
Miriam. B. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Poesponegoro. M., D & Notosusanto. N. 2008.
Sejarah Nasional Indonesia III: zaman
pertumbuhan da perkembangan kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Solikhin. M. 2010. Misteri Bulan Suro Prespektif
Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Sutiyono. 2010. Benturan Budaya Islam: Puritan dan Singkretisme. Jakarta: Kompas
Media Nusantara.
Syam. N. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKIS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar