Minggu, 24 Juli 2016

SULTAN AGUNG SEBAGAI PENGGAGAS STRATEGI POLITIK SINGKRETISME


SULTAN AGUNG SEBAGAI PENGGAGAS STRATEGI POLITIK SINGKRETISME DI KERAJAAN MATARAM ISLAM PADATAHUN 1613-1645

Oleh: 
Slamet Rohman


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Kejayaan suatu negara ataupun kerajaan, dimasa sekarang maupun masa silam, merupakan suatu keberhasilan dalam melaksanakan strategi politik dalam segala manifestasinya. Strategi politik ini menyangkut bagaimana wilayah yang berdaulat tersebut dapat berkembang lebih maju dalam segala bidang. Menurut Kamus Rebert, 1962 (dalam Hamid. T,. A,. Q. 2001: 3) mendefinisikan” politik sebagai, seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia.” Namun definisi modern mencakup pengaturan negara dan mengatur pola kemasyarakatan manusia, sehingga kata-kata “memerintah dan mengatur” itu, berarti dalam seluruh masyarakat adalah kekuasaan yang terorganisasi serta lembaga-lembaga kepemimpinan dan pemilik kekuasaan penekanan (Hamid. T., A., Q. 2001: 3-4). Pemilikan kekuasaan merupakan salah satu komponen dalam menjalankan sebuah politik. Pada masa berdirinya beberapa kerajaan islam di nusantara, kekuasaan seorang raja maupun Sultan merupakan kekuatan politik yang sangat ideal dan paling kuat pada masanya.
            Sultan Agung merupakan raja ketiga yang memerintah sejak tahun 1613-1645 dan membawa Mataram pada kejayaan gilang-gemilang. Warisan kekuasaan dari raja-raja sebelumnya merupakan modal kuat dalam menjalakan segala kebijakan politik. Kebijakan-kebijakan politik Sultan Agung dewasa ini membawa Mataram kepada Kejayaannya dan mampu mengintegrasikan wilayah-wilayah di tanah Jawa di bawah kekuasaan Mataram Islam. Strategi politik yang termahsyur dan hasilnya masih bisa di rasakan sampai saat ini, yaitu ketika Sultan Agung mengeluarkan kebijakan untuk memadukan antara ajaran Islam dengan tradisi lama masyarakat pedalaman Jawa yaitu Hindu, Buddha dan animisme. Pemaduan ini disebut juga singkretisme yang menghasilkan suatu tradisi baru dalam masyarakat Islam di Jawa, yang diebut juga Islam Kejawen.
            Singkretisme merupakan strategi politik yang digunakan oleh Sultan Agung untuk dapat menyelesaikan konflik antara Islam puritan dengan masyarakat pedalaman yang masih memegang teguh tradisi lama. Lebih dari pada itu, hal terpenting dalam menjalankan strategi politik singkretis ini, yaitu usaha Sulta Agung untuk mendapatkan dukungan kekuatan dari masyarakat pedalaman, guna mempermudah menjalankan kebijakan sebagai penguasa. Sesuai dengan uraian-uraian berikut, maka makalah ini akan membahas tentang strategi politik singkretis yang dilaksanakan oleh Sultan Agung selama menjadi raja di Kerajaan Mataram Islam, dengan judul “Sultan Agung Sebagai Penggagas Strategi Politik Singkretisme Di Kerajaan Mataram Islam Padatahun 1613-1645”.


1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Mengapa Sultan Agung menggunakan strategi politik singkertisme?
1.2.2 Bagaimana dampak setelah Sultan Agung melaksanakan strategi politik singkretisme dalam kekuasaan?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui faktor Sultan Agung menggunakan strategi politik singkertisme.
1.3.2 Untuk mengetahui dampak strategi politik singkretisme dalam kekuasaan.
1.4. Konsep
1.4.1 Kekuasaan
            Politik (politics) dianggap identik dengan kuasaan. Telah muncul begitu banyak definisi lain sehingga beberapa ahli, seperti W. Connoly (1983) dan S. Lukes (1974) menganggap kekuasaan sebagai suatu konsep yang dipertahankan (a contested concept) yang artinya merupakan hal yang tidak dapat dicapai suatu consensus. Perumusan yang khususnya. Perumusan yang umumnya dikenal ialah bahwa kekuasaan adalah kemampuan seorang pelaku untuk memengaruhi perilaku seorang pelaku lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Dalam perumusan ini pelaku bisa berupa seorang, kelompok orang atau suatu kolektivitas. Kekuasaan selalu berlangsung antara sekurang-kurangnya dua pihak, jadi ada hubungan (relationship) antara dua pihak atau lebih. max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gesellshaft (1922): Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan social, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini (Miriam, B.  2008: 53).
1.4.2 Otoritas/wewenang (Authority) dan Legitimasi (Legitimacy)
Ada beberapa pengertian yang erat kaitannya dengan kekuasaan, yaitu otoritas, wewenang (authority) dan legitimasi (keabsahan). Setiap dengan konsep kekuasaan, disini pun bermacam-macam perumusan ditemukan. Perumusan  yang mungkin paling mengenai sasaran adalah definisi yang dikemukakan oleh Robert bierstedt dalam karanganya an Analysisof Social Power yang mengatakan bahwa wewenang (authority) adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan). Dengan nada yang sama dikatakan oleh Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan dalam buku Power and Society bahwa wewenang adalah kekuasaan yang formal (formal power). Dianggap bahwa yang mempunyai wewenang (authority) berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturannya (Miriam, B.  2008: 53).
Dalam rangka pembahasan mengenai wewenang perlu disebut pembagian menurut sosiolog terkenal Max weber (1864-1922) dalam tiga macam wewenang, yaitu tradisional, kharismatik, dan rasional-legal. Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan diantara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu wajar dan patut dihormati. Wewenang kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Hitler dan Mao Zedong sering dianggap sebagai pemimpin kharismatik, sekalipun tentu mereka juga memiliki unsur wewenang rasional-legal. Wewenang rasional-legal berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin. Yang ditekankan bukan orangnya akan tetapi aturan-aturan yang mendasari tingkah lakunya (Miriam, B.  2008: 53).
Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada .Pada seseorang, kelompok, atau penguasaha adalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran ini berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang sah. Jadi, mereka yang diperintah menganggap bahwa sudah wajar peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa dipatuhi. Dalam hubungan ini dikatakan oleh David Easton bahwa keabsahan adalaah : “keyakinan dari pihak anggota (mayarakat) bahwa sudah wajar baginya untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu (the conviction on the part of the member that it is right and proper for him to accept and obey the authorities and to abide by the requitments of the egime) (Miriam, B.  2008: 64).
Dilihat dari sudut penguasa, dapat disebut di sini ucapan A.M. Lipset: “Legitimasi mencakup kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-bentuk politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat itu (legitimacy includes the capacity to produce and maintain a belief, that the exiting political institutions or forms are the most appropriate for the society). Jika dalam suatu system politik terdapat konsensus mengenai dasar-dasar dan tujuan masyarakat, keabsahan dapat tumbuh dengan kukuh, sehingga unsure paksaan serta kekerasan yang dipakai oleh setiap rezim dapat ditetapkasn sampai minimum. Maka dari itu pimpinan dari suatu sistem politik akan selalu mencoba membangun dan mempertahankan keabsahan di kalangan rakyat karena hal itu merupakan dukungan yang paling mantap (Miriam, B.  2008: 64).


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Faktor Sultan Agung menggunakan strategi politik singkertisme
2.1.1 Perebutan Kekuasaan Hingga Munculnya Kerajaan Mataram
            Munculnya kerajaan Mataram Islam tidak terlepas dari serangkaian kejadian sejarah yang mendahului sebelum berdirinya. Mataram Islam lekat hubungannya dengan penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa. Penyebaran Islam di Jawa ditandai dengan hadirnya beberapa ulama seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ketanah Jawa, khususnya Jawa Timur yang sebelumnya singgah di Kerajaan Pasai. Maulana Malik Ibrahim menjadi penyebar Islam di Gresik dan sekitarnya, maulana Ishaq ke Banyuwangi. Selain kedua ulama tersebut, masih ada seorang penyebar Islam di Jawa Timur yang bernama Ampel. Sunan Ampel, merupakan putera Syaikh Ibrahim Asmaraqandi, yang menyebarkan Islam di Surabaya. Syaikh Jumadil Kubra adalah ayah Syaikh Ibrahim Asmaraqanadi yang memiliki keturunan Sunan Ampel, dari Sunan Ampel inilah lahir cikal bakal wali-wali di Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa melalui wali-wali inilah Pelembagaan Islam dalam bentuk negara dapat direalisasikan. Kerajaan Demak adalah bukti kreasi para wali untuk semakin memantapkan penyebaran Islam di Jawa (Syam. N. 2005: 68-69)
            Menurut berita asing dari Cina yang ditulis oleh Ma-Huan dari sekitar tahun 1433 M dan berita Portgis terutama dari Tome Pires (1512- 1515) (dalam Poesponegoro. M., D & Notosusanto. N. 2008: 50 ), memberikan gambaran tentang kehadiran para pedagang dan ulama di kota-kota pelabuhan pesisir utara Pulau Jawa. Islamisasi yang terjadi di beberapa kota pesisir utara Jawa dari bagian Timur samapai ke Barat lambat laun menyebabkan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, berturut-turut dari Demak kearah Barat muncul kerajaan Cirebon dan Banten, dan dari Demak kearah pedalaman muncul kerajaan Pajang dan terutama kerajaan Mataram. Beberapa uraian berikut memberikan informasi bawasannya masyarakat Islam di Pulau Jawa, memulai hegemoni politiknya dengan dipelopori munculnya wali-wali yang menyebarkan Islam ditanah Jawa. Untuk dapat memperlancar usaha menyebarkan Islam di Jawa, para ulama penyebar ajaran Islam dewasa ini melakukan seragkaian strategi untuk mendominasi kegiatan politik ditanah Jawa. Berdirinya kerajaan Demak pada awal abad ke15 merupakan bukti bagaimana para pembesar Islam mulai meghegemoni masyarakat Jawa.
             Demak mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Trenggono yang merupakan raja ke tiga setelah Pangeran Sabrang Lor atau Pati Unus. Namun setelah mangkatnya Sultan Trenggono terjadi perebutan kekuasaan dikalangan keluarga. Akibat


perebutan kekuasaan dikalangan keluarga dan kerabat tersebut, terjadi perselisihan politik diantara wali sanga yang masing- masing menjadi pendukung untuk pengangkatan penguasa-penguasa. Setelah pangeran Trenggana diganti oleh Sunan Prawoto, yang mati dibunuh oleh Arya Penangsang dari Jipang pada tahun 1549. Arya Penangsang mati dibunuh oleh ipar sunan Prawoto, yaitu Jaka Tingkir. Setelah membunuh Arya Penangsang, ia menobatkan dirinya sebagai Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Setelah wafat pada tahun 1587 ia digantikan oleh putranya, yaitu pangeran Benawa. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Pajang kehilangan daerah Mataram yang masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya telah diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan, anak Ki Ageng Ngenis atas jasanya dalam pembunuhan Sunan Prawata. Di tempat inilah Ki Ageng Pemanahan mendirikan Keraton tahun 1578, sebagai tanda berdirinya kerajaan Mataram Islam (Poesponegoro. M., D & Notosusanto. N. 2008: 54-56).
            Mataram Islam berdiri diatas serangkaian sejarah yang sangat kental dengan aroma perpolitikan. Perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan Demak sebagai bukti aroma politik yang  membawa kelahiran bagi Mataram Islam. Beberapa sarjana Amerika 1930-an berpendapat, bahwa politik sebagai kegiatan atau proses, dan negara sebagai sarana perubutan kekuasaan antara berbagai pihak kelompok maupun masyarakat (Budiardjo. M. 2008: 73). Potret inilah yang terjadi dikalangan keluarga kerajaan Demak, hingga akhirnya munculah Mataram sebagai hasil atau dampak serangkaian peristiwa perjalanan kerajaan Demak. Citra seperti ini sudah terjadi sebelum Demak berdiri sebagai Kerajaan bercorak Islam. Di Timur Tengah, perebutan kekuasaan atas kerajaan bercorak keislaman sudah berlangsung dan berlarut-larut, sebagai gambaran cirikhas kerajaan Islam di masa lampau. Kejayaan dan kekuasaan merupakan sumber yang kuat dalam proses terjadinya konflik di dalam kerajaan Islam.
2.1.2 Dari Pesisir Menuju Pedalaman
            Peralihan pusat kekuasaan dari Demak kemudian ke Pajang sampai ke Mataram merupakan pergeseran pusat pemerintahan dari derah pesisir kedaerah pedalaman sehingga terjadi perubahan sifat kerajaan maritim ke kerajaan Agraris (Poesponegoro. M., D & Notosusanto. N. 2008: 55). Perpindahan ini berpengaruh terhadap pola penyebaran Islam yang sebelumnya lebih bersifat puritan. Perubahan ini terjadi karena fakator masyarakat pedalaman merupakan masyarakat yang agraris dan ini merupakan suatu budaya masyarakat pedalaman yang sudah diwariskan sejak masa berjayanya kerajaan Hindu-Buddha di tanah Jawa. Garis budaya yang memiliki perbedaan ini menyulitkan penguasa Mataram untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat pedalaman. Dukungan dari masyarakat pedalaman sangat penting bagi pengukuhan kekuasaan Sultan Agung sebagai raja ketiga Mataram. Untuk mendapatkan dukungan yang kuat dari masyarakat pedalaman, Sulatan Agung melakukan singkretisme antara ajaran agama Islam dengan tradisi lokal yang masih kental dengan ajaran animisme, Hindu dan Buddha sebagai strategi politiknya. Strategi politik seperti ini, dilaksanakan oleh Sultan Agung agar dapat mengambil simpati masyarakat dengan mengislamkan budaya lokal yang telah lama menjadi budaya. Dengan banyaknya masyarakat pedalaman yang memeluk Islam dengan budaya baru hasil singkretis Sultan Agung, kekuasaannya sebagai raja akan semakin kuat karena mendapat dukungan yang penuh dari masyarakat pedalaman yang masuk dalam wilayah pedalaman.
            Dalam ilmu politik, kekusaaan merupakan konsep atau salah satu dari komponen kegiatan politik yang paling penting. Kemampuan seorang pelaku untuk memengaruhi perilaku seorang pelaku lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kakuasaan ( Miriam. B. 2008: 53). Realitas inilah yang terjadi pada masa kekuasaan Sultan Agung. Sultan Agung dengan kekuasaanya sebagai raja dan penguasa utama di seluruh wilayah Mataram, mempengaruhi masyarakat Mataram yang masih menganut tradisi lokal Jawa dengan melaksanakan singkretisme sebagai strategi politik. Dengan singkretisme ini diaharapkan agar masyarakat yang semula masih menjalankan tradisi lokal beralih pada ajaran-ajaran Islam dengan menjadi seorang Muslim. Banyaknya masyarakat Mataram yang masuk Islam, membuktikan bahwa Sultan Agung mampu mempengaruhi masyarakat pedalaman. Dengan pengaruh seperti ini, Sultan Agung akan semakin mudah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan untuk mengatur masyarakat Mataram.
            Jatuhnya kerajaan Demak juga di barengi dengan kedatangan penjajah Belanda tahun 1596 M. kekuatan penjajah Belanda terletak pada peran VOC dalam mengambil alih dunia perdagangan yang pernah dimiliki kerajaan Islam. Seluruh pelayaran yang menempati kawasan pesisir Jawa diblokade oleh Belanda. Dampakya, para dai di Jawa tidak lagi memiliki kesempatan berkomunikasi dengan teman-temannya diwilayah seberang dan lebih banyak berkubang dengan masyarakat pedalaman yang menonjolkan tradisi lokal. Aliran pesisir itu telah bergeser menjadi aliran pedalaman seiring dengan meredupnya peran ulama dipesisir karena telah dikuasai oleh Mataram (Sutiyono. 2010: 76-77). Mataram sebagai penerus kerajaan Demak telah dapat beradaptasi dengan kebudayaan masyarakat pedalaman yang masih mengunggulkan tradisi lokal Jawa. Demak masih menyisakan para dai-dai yang masih perpegang teguh dalam ajaran Islam syariat atau masih bersifat puritan yang tersebar luas di pesisir utara Pulau Jawa.
            Masih adanya para dai penyebar agama Islam dipesisir Utara Pulau Jawa, dewasa ini menimbulkan pertentangan antara ajaran Islam Puritan yang tersebar di Seluruh Pantai Utara dengan Islam Singkretis yang tersebar di tanah pedalaman pulau Jawa. Guna menghindari adanya pembangkangan dari kekuatan masyarakat pesisir yang kental dengan keislaman syari’ahnya serta guna menyeimbangkan keuatan yang berasal dari masyarakat pedalaman yang meiliki perbedaan kultur dengan masyarakat pesisir, terutama menyangkut hitungan tahun yang berpengaruh terhadap siklus kehidupan masyarakat, Sultan Agung melakukan singkretisme dengan cara menentukan tahun Jawa berdasarkan bulan Islam (hijriah), akan tetapi awal penghitungan menggunakan tahun Jawa, saka (Masehi). langkah ini kemudian efektif menciptakan kestabilan politik didalam masyarakat. Dengan cara seperti itu pula Sultan Agung mampu mengakomodasi dan mendapatkan dukungan secara berimbang didalam masyarakat yang memiliki perbedaan tradisi (Hartono. Y., Rozaki. A., & Shodiq. S., H. 2002: 95-96)
            Beberapa uraian sebelumnya telah dapat digunakan sebagai pandangan untuk melihat dan mengintepretasikan alasan Sultan Agung untuk melaksanakan strategir politik singkretis. Hal ini telah di jelaskan pada uraian sebelumnya, bahawasannya Sultan Agung ingin mengukuhkan kekuasaannya sebagai raja di kerajaan Mataram. Karena Mayoritas masyarakat pedalaman yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Mataram menganut suatu tradisi lokal Jawa, menyulitkan Sultan Agung untuk dapat melaksanakan kebijakan-kebikannya yang dikarenakan kepercayaan yang dibawa oleh pendahulu kerajaan Mataram bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pedalaman. Oleh karena masyarakat lokal masih banyak yang menjalankan praktek tradisi Jawa, Sultan Agung mencoba mengislamkan ajaran-ajaran tradisi Jawa tersebut, agar masyarakat tersebut banyak yang menganut agama Islam. Semakin meluasnya agama Islam di kerajaan Mataram akan semakin mendukung eksisistensi kekuasaan Sultan Agung. Selain itu singkretisme dilakukan Sultan, agar dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara Islam Pesisir yang ortodoks atau puritan dengan Islam Singkretis yang diusung oleh Sultan Agung. Sultan Agung Menganggap bahwa apabila semua masyarakat di Jawa baik Pedalaman maupun pesisir menganut ajaran Islam Singkretis akan menyelesaika permasalahan yang terjadi antara Islam pesisir dengan pedalaman dalam satu komando dari Sultan Agung.
2.2 Dampak strategi politik singkretis dalam kekuasaan
2.2.1 Gelar Singkretis dan pengakuan dari Makah
            Gelar Sultan disandang Sultan Agung menunjukan bahwa    beliau memiliki kelebihan dari pada Panembahan Senopati dan Panebahan Sedo Ing Krapyak, raja sebelumnya. Sultan Agung dinobatkan sebagai raja pada 1613 dalam usia sekitar 20 tahun, ketika masih menggunakan gelar Panembahan. Selanjutnya pada tahun 1624, Sultan Agung mengganti gelarnya menjadi Susuhunan. Pada tahun 1641, ia menerima pengakuan dari Makah sebagai seorang Sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya “Sultan Agung Anyakrakusumo Senopati Ing Aloga Ngabdurrahman Sayyidin Panotogomo Khalifatullah” (raja yang agung, pangeran yang sakti, panglima perang, pemangku amanah Alloh Yang Maha Kasih, junjungan panata agama wakil Tuhan di muka Bumi). Seiring dengan pengakuan dari Mekah inilah tampaknya batu dari Mekah sebagai bagian dari hadiah yang diperuntukan bagi sultan, sebagai symbol dari keteguhan tekad menegakkan agama dan melawan penjajahan(Solikhin. M. 2010:111-112).
            Pengakuan dari mekah ini membuktikan bahwasaanya Mataram berdiri dibawah kekuasaan Sultan Agung telah mengukuhkan kerajaan yang berdaulat penuh atas wilayah yang dikuasainya. Hal ini sesuai dengan syarat mutlak sebagai suatu negara yang berdaulat haruslah mendapatkan pengakuan yang sah dari negara lain ataupun kerajaan lain. Strategi ini dilaksanakan oleh Sultan Agung agar kerajaan yang dipimpinnya benar-benar menjadi negara yang besar dan berdaulat sepenuhnya. Dengan pegakuan dari Mekah tersebut telah membuktikan bagaimana hubungan luar negeri kerajaan Mataram telah dijalin dengan baik sebagai kerajaan yang berdaulat dan menjalankan syariat-syariat agama Islam dalam segala bentuk kehidupan di kerajaan. Batu yang dibawa dari Mekah merupakan bukti keteguhan Sultan Agung dalam menegakkan agama Islam, karena batu tersebut telah dibawa dari wilyah yang berdaulat kuat dan menjadi wilayah dimana lahirnya agama Islam yaitu Arab.
            Lebih dari pada pengakuan kedaulatan yang diberikan oleh Mekah, ada hal yang lebih penting terkait dengan politik singkretis Sultan Agung. Gelar yang telah Sultan Nobatkan pada dirinya merupakan suatu bentuk symbol singkretis yang ia lakukan sebagai penguasa utama di Kerajaan Mataram guna memberikan kekuatan dalam menjalankan segala kekuasaannya serta syarat akan nafas politik. Dari artigelar tersebut dapat diketahui bahwasanya Sultan Agung berperan sebagai Raja yang besar yang mengharuskan rakyat tunduk dan patuh atas segala kebijakannya. Gelar kesaktian juga merupakan salah satu manifestsi strategi politik Sultan, karena dalam tradisi Jawa seorang raja harus lah dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang sakti mandraguna, oleh karena itu gelar kesaktian tersebut merupakan suatu usaha Sultan Agung dalam mempengaruhi masyarakat Mataram yang masih kental dengan budaya Jawa untuk patuh terhadap segala perintahnya. Bukan hanya mempengaruhi masyarakat saja, Sultan Agung juga memberikan symbol kekuasaanya terhadap kalangan militer dengan menobatkan dirinya sebagai panglima perang.
            Dalam symbol gelarnya Sultan Agung juga menisbatkan dirinya sebagai penata Agama Islam dan sebagai wakil Tuhan di dunia. Hal ini membuktikan bahwasannya Sultan Agung selain sebagai seorang raja juga menjadi seorang pengatur agama, yang dibuktikan oleh Sultan dengan mengombinasikan antara ajaran Islam dengan tradisi Jawa, yang pada akhirnya melahirkan budaya baru dalam Islam yaitu Islam kejawen. Sultan Agung melakukan ini agar masyarakat lokal mau memeluk agama Islam yang ajarannya telah dipadukan dengan tradisi jawa, dengan begitu masyarakat lokal yang masuk Agama Islam tidak keberatan untuk mengikuti ajaran Singkretis tersebut. Symbol wakil Tuhan memberikan arti bahwasaanya masyarakat taat dalam ajaran agama Islam harus selalu mematuhi dan menghormati Sultan Agung sebagai pemimpin agama tertinggi. Dari symbol-symbol tersebut dapat diketahui, Sultan Agung ingin mengintegrasikan antara ajaran Islam dan tradisi Jawa. Dengan bersatunya seluruh masyarakat dalam satu ajara yaitu sering disebut Islam kejawen, Sultan Agung akan dengan mudah memerintah rakyatnya dan begitu juga pada segi militer.
2.2.2 Konflik dengan Islam Pesisir
            Kerajaan Mataram yang berpusat di pedalaman Jawa atau kurang lebih berada pada pancer (puser/pusat) tanah Jawa menjadi tempat tarik ulur antara Islam gaya pesisiran yang ortodoks dengan paham Jawa-Hindu. Islami Jawa semakin kuat dan sebaliknya Jawanisasi Islam juga sangat kuat. Terlebih setelah Mataram menaklukan pusat-pusat pengajaran Islam di pesisir Utara Jawa, seperti Pasuruan (1617), Tuban (1619), Surabaya (1625), Pati (1627), dan Giri (1636). Kota-kota itu di hancurkan, karena karisma Islam pesisir yang puritan masih bergema mempengaruhi wilayah pedalaman. Penghancuran wilayah pesisir jelas mempunyai maksut politik, yakni pimpinan negara Mataram akan menerapkan Islam singkretis, mengingat rakyat pedalaman masih kental dengan paham pra-Islam (kejawaan). Dengan demikian, beridirinya kerajaan Mataram berimplikasi pada perubahan dari Islam ortodoks menjadi Islam kejawen (Sutiyono. 2010: 78-79).
            Konflik yang terjadi merupakan suatu permasalahan yang syarat akan politik. Pada pihak pesisir mereka ingin mempertahankan kemurnian Islam dan dari pihak Sultan Agung ingin meluaskan ajaran singkretisnya di wilyah peisisir yang masih puritan. Degan dapat menyebarkan ajaran Islam kejawen di wilayah pesisir, Sulatan Agung akan lebih mudah dalam mengatur wilyah-wilayah tersebut. Pada dasarnya, Sultan Agung mencita-citakan agar tanah Jawa bersatu dan tidak terpetak-petak dengan jalan menyebarluaskan pengaruh ajaran Islam singkretis ke wilayah pesisir. Strategi seperti ini juga menggambarkan bagaimana Sultan Agung ingin meluaskan wilayah kekuasaannya dan mengintegrasikan wilayah-wilayah yang di pimpin oleh raja-raja lokal dibawah pimpinan kerajaan Mataram.
            Setelah mengalami kekalahan dari Batavia 1628-1629, Kharisma Sultan Agung mulai memudar. Kekalahan ini diiringi dengan banyaknya pemberontakan, mulai dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dari Jawa Tengah muncul pemberontakan yang dipelopori para guru agama Tembayat tahun 1630. Seluruh pemberontakan di bantai habis oleh Sultan Agung. Untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan, Sultan Agung melakukan Ziarah ke Makam Tembayat tahun 1633 dan sekaligus membangun pintu gerbang dikompleks pemakaman tembayat. Upaya ini harus dilihat sebagai strategi politik, yaitu menetralkan persengketaan antara Mataram dan Tembayat. Setidaknya, hal ini menunjukan adanya upaya damai untuk memadukan dua unsure peradaban,  yaitu Islam dan kebudayaan Jawa (Sutiyono. 2010: 79). Terlihat bagaimana usaha Sultan Agung untuk memperluas Islam Singkretis dengan segala cara, hingga pembunuhan-pembunuhan terhadap guru Tembayat juga dianggap sebagai langkah yang paling baik. Sifat memaksa dewasa ini begitu terlihat dalam usaha Sultan Agung untuk menjalankan strategi. Sebagai penguasa tertinggi di Kerajaan Mataram, Sultan Agung dengan mudah memaksakan kehendak dengan dasar-dasar alasan untuk menyatukan Jawa dalam satu ajaran agama, yaitu Islam yang berpadu dengan kebudayaan Islam.
            Sebagai kelanjutan pertentangan penguasa Mataram terhadap wilayah pesisir, pertentangan antara Islam puritan yang ortodoks dan Islam singkretis yang kejawen semakin menghebat. Banyak ulama yang dibunuh oleh Sultan-sultan Mataram. hal ini disebabkan, para ulama yang dulunya memiliki kedudukan di atas raja kini berbalik menjadi bawahannya. Gejolak yang sangat menonjol pada masa pemerintahan Sultan Agung dan sesudahnya adalah Tokoh Syekh Amongrogo. Sebagai kelanjutan dari usahanya menyerang wilayah pesisir, terutama Giri, salah seorang putra Giri, Syakh Amongrogo ditawan Sultan Agung. Sultan Agung merasa khawatir kalau peperangan antara Giri dan Mataram berkepanjangan berakibat banyak ilmu mistik yang hilang (Sutiyono. 2010: 79). Segala cara dilakukan oleh Sultan Agung demi melancarkan strateginya untuk dapat menguasai dan memerintah seluruh Jawa dalam jalan melebarkan ajaran singkretismenya. Perlawanan-perlawanan yang terjadi ia tanggapi dengan berbagai cara demi terpenuhi ambisinya. Sultan Agung beranggapan bahwa dengan Islam singkretis akan selesai sudah pertentangan antara Islam puritan dengan kebudayaan Jawa yang tumbuh subur di pedalaman Pulau Jawa dan ini merupakan konflik yang sudah lama berlangsung sejak berdirinya kerajaan Demak.
2.2.3 Sultan Agung sebagai Imam agama Islam Mahazab Jawa
            Di luar peranan politik dan militer, Sultan Agung dikenal sebagai penguasa yang menaruh perhatian besar terhadap perkembangan Islam di Jawa. Ia adalah pemimpin yang taat beragama, sehingga memperoleh simpati dari kalangan ulama. Untuk memperkuat suasana keagamaan, tradisi khitan, memendekan rambut, dan mengenakan tutup kepala berwarna putih dinyatakan sebagai ketentuan syariat yang harus ditaati setiap menjalankan ibadah keagamaan. Namun demikian, Sultan Agung juga selalu menjaga dan mengembangkan tradisi dan budaya Jawa. Berbagai Tarian, berbagai serat ajaran kegamaan dibuat oleh Sultan sendiri, termasuk tarian legendaris mistis, tari Bedhoyo Ketawang (Solikhin. M. 2010: 115). Terlihat bagaimana Sultan Agung sebagai penata Agama, seperti yang terwakili dalam gelarnya, ia memperlihatkan pengaruhnya dengan melestarikan kigiatan-kegiatan yang sudah menjadi tradisi Islam. Sebagai Penguasa yang sangat menghormati budaya lokal Jawa, ia berusaha untuk tetap melestarikan budaya Jawa dengan menciptakan tarian yang bernuansa kejawaan.
            Bagi Sultan Agung, Mataram adalah kerajaan Islam yang mengemban amanat Tuhan di Tanah Jawa. Struktur serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem kekuasaan kerajaan. Tradisi keagamaan, seperti sholat Juma’at di masjid, grebeg puasa (ramadhan), Grebeg Suro dan upaya pengalaman syariat Islam, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan intern istana. Bahkan kemudian, termasuh ijtihad yang terbesar dari Sultan, tahun saka menjadi sistem tarikh dengan tanggal dan bulan hijrah sebagai dasar perhitungan. Penanggalan dan bulan memakai sistem Qamariah yang diambil dari Islam, namun angka tahun dan nama tahun tetap memakai sistem Jawa, atau tahun saka. Seandainya, Sultan Agung, sistem Hijriah tersebut tidak diperkenalkan sebagai sistem perhitungan dalam penanggalan, bisa jadi penggunaan tarikh Qamariyah dan hijriah di Indonesia tidak seperti sekarang. Dari Sultan Agung inilah kemudian pola peringatan tahun hijriah dilaksanakan secara resmi oleh negara, dan diikuti seluruh masyarakat Jawa (Solikhin. M. 2010: 115-116).
            Dari beberapa uraian diatas, dapat di pahami, bahwa dengan beberapa usaha Sultan Agung untuk melesatarikan tradisi Islam dan Jawa atau sering disebut dengan Islam kejawen merupakan suatu bentuk strategi politik yang dilakukan guna mencari simpati dan dukungan dari masyarakat seluruh Jawa. Tidak dapat dipungkiri dengan usaha seperti demikian, Sultan Agung mendapatkan dukungan besar dari Masyarakat dan mampu membawa kerajaan Mataram pada keemasannya. Strategi politik Singkretis ini membawa Sultan Agung pada dukungan dari berbagai elemen masyarakat dan militer. Dapat terlihat dari beberapa tradisi baru yang disahkan sebagai kegiatan wajib kerajaan dan harus dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Jawa. Keikut sertaan masyarakat Jawa dalam melestarikan Sutau tradisi baru ini merupakan bukti dukungan masyarakat untuk Sultan sebagai penguasa tertinggi Kerajan Mataram. kebijakan-kebijakan Sultan Agung menjadi sebuah kewajaran bagi masyarakat yang berada dalam lingkup kerajaan Mataram Islam.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Munculnya kerajaan Mataram Islam tidak terlepas dari serangkaian kejadian sejarah yang mendahului sebelum berdirinya. Mataram Islam lekat hubungannya dengan penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa yang ditandai oleh munculnya para da’i penyebar ajaran Islam. Agar dapat memperlancar penyebaran Islam di tanah Jawa, para ulama tersebut melakukan seragkaian usaha untuk mendominasi kegiatan politik. Berdirinya kerajaan Demak merupakan bukti, bagaimana para ulama penyebar Islam telah berhasil mendominasi kegiatan politik di tanah Jawa. Kejatuhan Kerajaan Demak dibarengi dengan pengusaan pantai Timur Jawa oleh VOC. Dengan begitu penyebaran Islam berpindah kearah pedalaman, hingga akhirnya munculah kerajaan Mataram Islam. Mataram sebagai penerus kerajaan Demak telah dapat beradaptasi dengan kebudayaan masyarakat pedalaman yang masih mengunggulkan tradisi lokal Jawa. Demak masih menyisakan para dai-dai yang masih perpegang teguh dalam ajaran Islam syariat atau masih bersifat puritan yang tersebar luas di pesisir utara Pulau Jawa.
            Kejayaan Mataram Islam dibawah kepemimpinan raja yang ketiga, yaitu Sultan Agung. Sultan Agung melakukan strategi politik Singkretis yang menggabungkan antara Ajaran Islam dengan tradisi lokal jawa. Hal ini dilakukan oleh Sultan guna dapat mempersatukan tanah Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Namun pada awalnya politik ini mendapat tentagan dari para dai yang berada di pesisir pantai utara pulau Jawa, karena mereka masih berpegang teguh dengan syariat Islam. Setelah melewati serangkaian tragedy, akhirnya Sultan Agung mampu menerapkan singkretisme di tanah Jawa dengan bukti hampir seluruh masyarakat Tanah Jawa member dukungan penuh atas kepemimpinannya. Tradisi-tradisi baru yang diciptakanpun di laksanakan oleh seluruh masyarakat pulau Jawa yang masih membekas samapai saat ini. Semua itu tidak terlepas dari strategi politik yang di lakukan oleh sulatan Agung, untuk menyatukan tanah Jawa di bawah Mataram Islam dan memerangi imperialisme di tanah Jawa. Oleh sebab itulah dukungan penuh dari masyarakat Jawa merupakan keharusan bagi Sultan Agung.






DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo. M. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hamid. T., A., Q. 2001. Pemikiran Politik Dalam Al-Qur’an. Jakarta: Gema Isani Press.
Hartono. Y., Rozaki. A., & Shodiq. S., H. 2002. Agama dan Relasi soial: menggali kearifan dialog. Yogyakarta: LKis.
Miriam. B. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Poesponegoro. M., D & Notosusanto. N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III: zaman pertumbuhan da perkembangan kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Solikhin. M. 2010. Misteri Bulan Suro Prespektif  Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Sutiyono. 2010. Benturan Budaya Islam: Puritan dan Singkretisme. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Syam. N. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKIS.

Tidak ada komentar: