Senin, 25 Juli 2016

KONFLIK ANTARA PAKISTAN BARAT DENGAN PAKISTAN TIMUR DARI TAHUN 1951 SAMPAI 1971 TERBENTUKNYA NEGARA BANGLADESH


KONFLIK ANTARA PAKISTAN BARAT DENGAN PAKISTAN TIMUR DARI TAHUN 1951 SAMPAI 1971 TERBENTUKNYA NEGARA BANGLADESH

Oleh:
Slamet Rohman


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Selama beberapa abad banyak kaum muslim yang hidup di bawah penguasa kolonial Eropa. Asia Selatan merupakan salah satu wilayah benua di Asia yang berkembang pesat peradaban agama Islam dan Hindu. Kedatangan kolonial Inggris di Asia Selatan, mengombang-ambingkan kedua peradaban tersebut. Setelah lama berkuasa di wilayah Anak Benua India ini, pada pertengahan abad ke-20 sebelum meninggalkan wilayah koloninya, Inggris membagi Asia Selatan kepada bangsa India dan Pakistan. India menguasai wilayah berpenduduk yang mayoritas Hindu, namun masih ada juga kaum minoritas muslim yang berada di wilayah kekuasaan India, sedangkan Pakistan menguasai wilayah yang mayoritas berpenduduk muslim. Pembagian wilayah tersebut menimbulkan konflik antara India dengan Pakistan dan akirnya timbul konflik sipil antara Pakistan Barat dengan Pakistan Timur.
            Negara bagian Khasmir yang berpenduduk mayoritas muslim, menjadi bagian dari wilayah India. Akibat pembagian ini peperangan antara Hindu dan muslim terjadi. Peperangan tersebut mengakibatkan banyaknya orang-orang muslim di India mengusi ke Pakistan. Setelah perang antara Hindu dan muslim, timbul konflik baru yang datang dari Pakistan, yaitu antara Pakistan Barat dan Timur yang akhirnya mengarah keterbentuknya Negara Bangladesh (Esposito, J. L. & Magahed, D 2008: 64). Terbentuknya Negara Bangladesh juga sangat di pengaruhi oleh beberapa Negara yang campur tangan dalam masalah konflik Pakistan Barat dan Timur. Untuk itu makalah ini, akan membahas tentang awal terjadinya konflik Pakistan Barat dan Timur, hingga terbentuknya Negara Bangladesh, yang berjudul “Konflik Antara Pakistan Barat Dengan Pakistan Timur Dari Tahun 1951 Sampai 1971 Terbentuknya Negara Bangladesh.” Guna menambah wawasan dan pengetahuan tentang konflik-konflik yang terjadi di Asia Selatan.


1.2  Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana awal mula terjadinya konflik antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur?
1.2.2 Bagaimana proses terjadinya konflik 1966 hingga berdirinya Negara Bangladesh?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui awal mula terjadinya konflik antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur.
1.3.2 Mengetahui proses terjadinya konflik hingga berdirinya Negara Bangladesh.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Awal Mula Terjadinya Konflik Antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur
2.1.1 Permasalahan Penggunaan Bahasa Nasional
            Sebagai Negara yang baru terbebas dari dominasi Hindu- India, Pakistan harus melalui masa-masa sulit sejak awal berdirinya. Jutaan Muslim India mengalir ke Pakistan, rehabilitasi masalah pengusi merupakan salah satu agenda utama yang di tangani Pemerintah Pakistan. Muhammad Ali Jinnah memindahkan markas besarnya ke Lahore, untuk memantau langsung kondisi para pengusi. Organisasi-organisasi Sosial didirikan sebagai sarana untuk menyalurkan dana bantuan. Dalam situasi yang sangat parah, Ali Jinnah menyampaikan pidato yang mengobarkan semangat para pengusi (Ali, Z. 2008: 79-80). Usaha Ali Jinnah sebagai pemegang kekusaan Pakistan, terselimuti dengan perasaan Nasionalisme yang tinggi meliputi seluruh rakyat Pakistan dan khususnya Para pengusi yang baru menata hidup di Pakistan. Hal ini, berdampak positif terhadap sisi psikologis Masyarakat Pakistan Barat maupun Timur. Meskipun keadaan konflik semakin memanas antara Pakistan yang mengatas namakan persatuan umat muslim dan India atas nama Agama Hindu, dengan wibawa dan kebesaran Ali Jinnah, rakyat Pakistan tetap bersatu tanpa ada perpecahan.
            Pakistan pada awalnya mampu mengintegrasikan suatu ikatan yang sama antara Muslim di Punjab dan di Benggali (Pakistan Timur). Tetapi oarang-orang Benggali yang Muslim maupun Hindu segera menyadari kesia-siaan teori dua Bangsa sejak mereka gagal membuat kesepakatan penting dengan kaum Muslim di Pakistan (Nasrin, T. 2003:13). Benih-benih ketidak puasan mulai timbul akibat kesepakatan-kesepakatan terhadap permasalahan-permasalahan menegenai kesatuan Nasionalisme Pakistan Barat dan Timur yang seharusnya dapat di relisasikan oleh pemerintah pusat Pakistan, tidak dapat di wujudkan karena permasalahan politik yang mengharuskan wilayah Benggali menjadi wilayah bagian Timur Pakistan tunduk patuh terhadap apa yang di kehendaki pemerintah pusat yang berada di Pakistan Barat. Tindakan pemerintah pusat yang mengatasnamakan penyatuan dua Bangsa, tidak sejalan dengan apa yang di inginkan oleh bangsa Benggali. Hal tersebut mengakibatkan ketidak puasan terhadap masyarakat Benggali yang berada di bawah bendera kesatuan Pakistan. Ketidak pusasan yang yang timbul, berdampak negatif dengan terjadinya pemberontakan yang di lakukan oleh masyarakat benggali terhadap kesewenang-wenangan Pemerintah pusat.

            Ketika Pakistan sedang berbenah untuk mengukuhkan posisinya di kancah politik Dunia, Ali Jinnah meninggal dunia pada September 1948. Liaquat Ali Khan menggantikan posisi Ali Jinnah sebagai perdana mentri pertama Pakistan. Ali Khan adalah sosok berwibawa yang meiliki dedikasih tinggi terhadap perjuangan bangsa. Namun konspirasi dikalangan elit politik waktu itu telah menyebabkan Ali Khan terbunuh pada tahun1951. Sejak awal berdirinya, Pakistan Telah menjadi korban dari serangkaian pengkianatan yang tidak hanya berdampak negatif terhadap kehidupan sosial-ekonomi Negara tapi juga terhadap laju pertumbuhan Demokrasi. Kesatuan dan Persatuan Pakistan yang meliputi wilayah Pakistan Barat dan Timur mulai di dorong dengan gerakan spartisme akibat ketimpangan kehidupan sosial-ekonomi, diskriminasi politik dan minimnya akomodasi aspirasi masyarakat Pakistan Timur (Ali, Z. 2008: 80-81).
            Pada tahun 1952, di jalan-jalan Daka pada waktu itu, terjadi aksi yang meluap-luap karena orang Benggali berusaha menggunakan bahasa Benggali sebagai bahasa Nasional. (Nasrin, T. 2003: 11). Perbedaan bahasa yang mencolok antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur, menimbulkan aksi-aksi yang keras dari masyarakat Benggali yang menginginkan Bahasa Benggali sebagai Bahasa Nasional. Oleh karena Pemerintah pusat Pakistan tidak merealisasikan keinginan masyarakat Benggali, timbulah aksi-aksi keras tersebut sebagai bentuk ketidak puasan dari masyarakat Benggali. Peristiwa ini berpengaruh terhadap kesatuan dan persatuan Demokrasi Pakistan yang semula dapat di pertahankan atas dasar Nasionalisme kehidupan Berbangsa dan ber-Negara. Polemik penggunaan bahasa menjadi penghalang terjadinya Demokrasi yang baik di Pakistan dan hal ini akan berpengaruh ke masa-masa yang akan datang.
            Masalah bahasa yang menjadi perdebatan antara Pakistan Barat dan Timur merupakan bahasan yang sudah lama di persengketakan. Sejak Masa Muhammad Ali Jinnah masih hidup, (tahun 1948), bahasa Urdu telah di tetapkan sebagai bahasa resmi Negara dan yang menentang ketetapan ini dianggap sebagai musuh Negara Pakistan. Memang pada 1954, Majelis Konstituante Pakistan merevisi ketetapan tersebut dengan keputusan bahasa Urdu dan bahasa Benggali, keduannya akan menjadi bahasa Nasional Pakistan. Tetapi keputusan ini tidak mengurangi kesenjangan antara orang-orang Pakistan Barat dan Timur (Suwarno. 2012: 194). Kesenjangan yang terus berlangsung meskipun telah diadakan kesepakatan penggunaan bahsa Nasional yang saling berkeadilan di antara kedua wilayah tersebut, nampaknya bukan salah satu jalan untuk dapat menghentikan kesenjangan. Ketidak puasan antara kedua wilayah tersebut terus berlangsung sampai terjadinya pemberontaan-pemberontakan yang lebih keras dan merusak kesatuan dan persatuan Demokrasi Pakistan.
            Bahasa Urdu dan Benggali mempunyai perbedaan, meskipun sama-sama berakar dari bahsa Sansekerta. Bahasa Urdu yang di tulis dalam huruf Arab, sebagian besar kosakatanya di sumbang oleh bahasa Arab dab Persia. Sebaliknya bahasa Benggali yang di tulis dalam huruf Prakrit, kosa kata yang dominan tetap bahasa Sansekerta (Suwarno. 2012: 194). Perbedaan bahasa yang mencolok inilah yang menjadi awal dari kesenjangan yang terjadi seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya. Kebiasaan penggunaan bahasa yang berbeda, jelas akan sulit di satukan dengan satu bahasa, diantara dua bahsa tersebut, karena kedua wilayah yang berbeda bahasa tersebut sudah sejak lama menggunakan bahasa tersebut dan sudah mengakar didalam kehidupan masyarakat Punjab maupun Benggali. Kedua bahasa tersebut merupakan sebagai wujud ciri khas kebudayaan dari kedua wilayah Pakistan dewasa ini. Mempersatukan kedua wilayah yang memiliki keunikan Budaya tersendiri bukan perkara yang mudah, meskipun persatuan di landaskan atas dasar ideologi agama yang sama. Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya penyatuan dua bangsa di Pakistan dengan dasar satu ideologi agama yang sama banyak di pandang oleh tokoh-tokoh Pakistan Timur suatu hal yang sia-sia.
2.1.2 Kesenjangan yang Terus Berlangsung
            Setelah revisi yang dilakukan Majelis Konstituante atas penggunaan bahasa Nasional dapat di selesaikan dengan hasil penggunaan dua bahasa Nasional yaitu Urdu dan Benggali, tidak menyurutkan kesenjangan antara Pakistan Barat dan Timur. Usaha Pemerintah Pusat Pakistan untuk menyatukan kedua bangsa tersebut mengalami hambatan. Sebagai Negara yang baru merdeka dan masih muda, kondisi seperti ini merupakan tantangan yang besar bagi Pemerintah Pakistan. Ideologi yang di gadang-gandangkan pada awal berdirinya Negara Pakistan hanya mampu menyatukan Masyarakat Pakistan Barat dan Timur saat usaha menuju kemerdekaannya saja. Pada kenyataannya banyak terjadi ketimpangan antara Pakistan Barat dan Timur dengan berbagai sebab. Kesenjangan-kesenjangan terus terjadi sejalan dengan usaha Pemerintah Pakistan dalam menyatukan kedua bangsa tersebut.
            Jarak yang terlalu jauh antara Pakistan Barat denagan Pakistan Timur (lebih dari 1.000 mil atau 1600 km), juga merupakan kendala yang berat bagi kedua Provinsi itu. Karena jarak yang teralampau jauh itu tidak saja mempersulit hubungan kedua Provinsi, tetapi lebih jauh menyulitkan di jalinnya komunikasi politik yang lebih erat antara orang-orang Pakistan Timur dengan Pakistan Barat (Suwarno. 2012: 195). Jarak yang terlampau jauh, menjadi faktor penghambat terjadinya konsolidasi yang baik antar kedua Provinsi tersebut. Jika di analisis lebih mendalam kendala tersebut merupakan keuntungan bagi Pakistan Barat yang memegang segala segi tumpu kekuasaan tidak termasuk Pakistan Timur yang di dominasi oleh orang-orang Pakistan Barat.
            Selain soal bahasa dan jarak, banyak orang Pakistan Barat yang menuduh orang Pakistan Timur sebagai kurang Islami karena tradisi Hindu sebagian Masih di pakai. Juga soal pakaian kaum wanita Benggali yang relatif kurang memakai kerudung atau lebih longgar, sering menjadi bahan kritikan di Pakistan Barat (Suwarno. 2012: 195). Perbedaan Pakistan Timur sering kali di jadikan bahan untuk menjatuhkan bagi Pakistan Barat. Pakistan Barat menganggap bahwasannya  kebudayaan Pakistan Timur tidak mencerminkan ideologi Islam yang sebnarnya. Jelas perbedaan antara Pakistan Barat dan Timur sangat mencolok. Dominasi politik yang di lakukan Pakistan Barat, memperkuat lajunya kesenjangan yang terjadi. Oleh karena Pakistan Timur tidak tinggala diam atas tindakan Pakistan Barat.
            Dominasi politik orang-orang Pakistan Barat juga merambah dalam bidang administrasi atau pemerintahan, dimana terdapat ketidak seimbangan proporsi yang menjadi pejabat sipil, militer, dan keanggotaan parlemen. Pejabat militer angkatan bersenjata Pakistan yang berasal dari orang-orang benggali, hingga akhir 1960-an, hanya berjumlah sekitar 6%. Hampir seluruh pejabat tinggi yang ada di Pakistan Timur berasal dari Pakistan Barat (Suwarno. 2012: 193). Keadaan seperti ini jelas akan membawa kepermasalahan kesenjangan yang lebih menguat. Ketidak adilan jelas terjadi oleh kesewenang-wenangan orang-orang Pakistan Barat yang merasa lebih pantas dalam memegang tumpuk kekuasaan di segala bidang. Dominasi yang terjadi, menimbulkan kebencian yang semakin kuat dari kalangan oarang-orang Benggali, hingga pada akhirya akan memperkuat tekad orang-orang Benggali dalam menuntut hak otonomi sepenuhnya.
            Dalam segi ekonomi, hingga akhir pertengahan 1960-an, ekspor Pakistan (antara lain komoditi jute, kain katun, hasil-hasil pertanian dan manu faktur) sebagian besar di sumbangkan oleh Pakistan Timur. Akan tetapi alokasi pembangunan berfokus di Pakistan Barat. Ini berarti, Pakistan Timur menjadi tulang punggung perekonomian Pakistan, namun kurang terdapat pemerataan hasil-hasil pembangunan karena sebagian terbesar dana terserap di Pakistan Barat. Ketidak adilan ekonomi ini juga melanda bidang Industri, investasi, dan perbankan. Sebagai missal, dana bantuan luar negeri sekitar 70% dipusatkan untuk pembangunan Pakistan Barat, sementara Pakistan Timur yang penduduknya lebih padat hanya mendapat sisanya (Suwarno. 2012: 193-194). Tindakan Pakistan Barat Nampak seperti hanya memanfaatkan potensi yang terdapat di Pakistan Timur. Pembangunan-pembangunan yang terpusat di Pakistan Barat menunjukan dimana tidak terdapat keadilan yang sesungguhnya. Pakistan Timur hanya menjadi ladang bagi Pakistan Barat untuk membangun segala segi tatanan yang ada. Sebab inilah yang membuat Pakistan Barat untuk mempertahankan Pakistan Timur, karena sangat menguntungkan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan.
            Ketidak puasan orang-orang Benggali juga muncul ketika pemimpin Parati Liga Muslim benggala sebelum merdeka, yaitu Husain Haheed suhrawardy, tidak dipilih sebagai ketua menteri Provinsi Pakistan Timur. Justru yang diangkat adalah Khwaja Nazimuddin, orang Pakistan Barat yang berbahasa Urdu. Suhrawardy kemudian keluar dari partai Liga Muslim dan pada 1949 mendirikan Partai Liga Awami. Partai ini segera menjadi popular di kalangan rakyat Pakistan Timur karena memperjuangkan nasionalisme orang-orang Benggali (Suwarno. 2012: 192). Perjuangan Partai Liga Awami tidak begitu mudah, karena pada waktu yang lebih maju Partai ini mendapat perlawanan dari Parati yang didirikan oleh Badshah Khan. Saat di luara penjara khan, dan tiga pemimpin lainya mendirikan nasional Awami Party “Partai Rakyat Nasional”, Partai sosial Demokrat pertama di Pakistan yang berperan sebagai partai oposisi kuat selama periode enam puluhan dan tujuh puluh dengan Putra Khan, wali sebagai pemimpinnya di wilayah perbatasan(Easwaran, E. 2008: 242).
2.2  Proses Terjadinya Konflik 1966 Hingga Berdirinya Negara Bangladesh
2.2.1 Kegagalan Akomodasi Aspirasi Mayoritas Rakyat Pakistan Timur
            Sisitem politik Ayub Khan memiliki sejumlah fleksibilitas yang cukup elastik untuk mengakomodasi kelompok-kelompok yang mendapat untung dari kemajuan ekonomi dan melanjutkannya sampai ambil bagian dalam keputusan politik. Lembaga Demokrasi Dasar member system Ayub banyak elastisitasnya. Fleksibilits ini menjadi lenyap ketika Ayub mulai mencari dukungan dari Demokrasi Dasar dan berpaling lagi ketika sudah mengerjakannya selama tahun pertama pemerintahannya, ke birokrasi sipil yang tetap elitis, tidak hanya dalam komposisinya tetapi juga dalam pandangannya (Musidi, B._ _:_ _)
            Antara tahun 1966-1970, para pemimpin Pakistan Barat gagal mengakomodasi aspirasi mayoritas rakyat Pakistan Timur. Antara kedua sayap Pakistan diluar ikatan agama ada perbedaan yang mendasar, baik etnik maupun bahasa yang di gunakan berbeda. Paling awal pada bulan Pebruari 1966 Mujibur Rahman menuntut otonomi regional yang di kenal dengan Program Enam Butir, yaitu: (1) pembentukan pemerintahan federal parlementer lewat pemilu yang bebas dan teratur; (2) pemerintah federal hanya mengawasi hubungan luar negeri dan pertahanan; (3) politik keuangan yang terpisah dan pengawasan pemindahan modal dari timur kebarat; (4) perpajakan di urus oleh propinsi dan pemerintah federal memperoleh dana dari propinsi; (5) setiap propinsi dapat mengadakan perjanjian perdagangan dengan Negara-negara lain dan mengawasi alokasi pendapatan valuta asing; (6) setiap Propinsi dapat merekrut tentaranya sendiri (Baxter, 1987 (dalam Musidi, B. 2012: 188)).
            Gagalnya akomodasi, di manfaatkan oleh Mujibur dengan menuntut otonomi regional. Tutuntan tersebut mempersulit posisi pemerintah Pusat Pakistan. Pada tanggal 7 Januari1968 Mujib dengan 28 orang lainnya di tuduh mengilhami pemisahan Pakistan Timur termasuk P.N Ojha, wakil komisaris Tinggi India di Dacca di jebloskan ke dalam penjara. Karena gagal di buktikan para tertuduh justru menjadi pahlawan dan pejuang hak-hak Pakistan Timur (Musidi, B. 2012: 188). Penangkapan Mujibur beserta 28 orang lainya ini mewujudkan suatu ketidak setujuan dari pihak pemerintah pusat Pakistan akan tuntutan yang di layangkan oleh Mujibur. Kedaan seperti ini semakin memperkeruh proses Demokrasi di Pakistan dan semakin memperkuat keinginan masyarakat Benggali untuk dapat lepas dari kekangan pemerintah pusat Pakistan yang tumpuk kuasanya di dominasi oleh oarang-orang Pakistan Timur. Kekuatan untuk menjadi wilayah yang merdeka bagi Bangsa Benggali semakin menyemarak, di dukung dengan usaha dari tokoh-tokoh besar Benggali yang tak henti-hentinya menyuarakan otonomi yang utuh dari masyarakat Benggali.
            Bhutto, Wali Khan (putra Khan Abdul Khan) berusaha mengambil keuntungan dari ketidak puasan yang sedang tumbuh. Tetapi langkah mereka di hadang Ayub dengan Penerapan Peraturan Pertahanan Pakistan. Ayub khan terpaksa membetalkan Argatala Conspirasi, pembebasan Sheikh Mujibur Rahman dan penyelenggaraan Konperensi Meja Bundar pada Bulan Mei 1968. Konperensi setuju kebentuk pemerintahan parlementer, tetapi gagal menyokong Program Enam Butir Mujibur Rahman (Musidi, B. 2012: 188-189). Terlihat jelas bahwa resim Ayub Khan dengan segala cara ingin menggagalkan usaha-usaha siapa saja yang ingin mendukung akan terjadinya otonomi bagi rakyat Benggali. Langkah politik Ayub Khan dinilai hanya menguntungkan bagi orang-orang Pakistan Barat, untuk itulah arus perpecahan sangat menguat dengan dukungan dari usaha para tokoh yang peduli dengan nasib orang-orang Benggali.
            Ternyata siasat Presiden Ayub Khan untuk menyusun suatu orde politik baru dan membimbing emansipasi rakyatnya tidak menemui sasaran. Tetapi di bidang ekonomi pembaruan presiden Ayub Khan lebih berhasil, kalau dilihat dari sudut GNP. Tetapi kemakmuran hanya dirasakan sekelompok kecil Pakistan Barat saja. Kemudian timbul oposisi terhadap korupsi yang merebak dan terhadap sistim Demokrasi Dasar yang dianggap kurang Demokratis. Sesudah terjadi kerusuhan maka dalam tahun 1968 Ayub Khan menyerahkan kekuasaan kepada Jendral Yahya Khan (Budiardjo, M. 1978: 68). Kebijakan politik yang disusun oleh Ayub Khan mewujudkan korupsi yang meraja-lela. Satu persatu kepincangan dalam berpolitik di jalani oleh ayub Khan yang merasa politik yang di usungnnya akan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang sedang di hadapi Pakistan. Usaha tersebut menemui ujungnnya dengan keuntungan yang dapat dirasakan oleh orang-orang Pakistan Barat, korupsi yang merebak, dan pada ujungnya Ayub Khan harus menyerahkan kekuasaan kepada Jederal Yahya Khan. Pergantian Presiden yang di jabat oleh Yahyakan, membuka lembaran baru akan peristiwa-peristiwa pemberontakan yang lebih kuat lagi.
2.2.2 Perundingan yang Gagal
            Presiden baru menjanjikan akan menghidupkan kembali sistim parlementer dan mengadakan pemilihan umum akhir tahun 1970. Tetapi ternyata dua partai besar yaitu Partai Rakyat di Pakistan Barat dan Partai Awami Nasional di Pakistan Timur tidak dapat mencapai basis yang cukup kuat untuk merundingkan suatu undang-undang dasar baru, sehingga Jenderal yahya Khan mengambil alih pimpinan Negara (Budiardjo, M. 1978: 68-69). Pengambil alihan pimpinan ini membuka permasalahan yang lebih rumit dan mempersulit gerak dari Mujibur Rahman dalam memperjuangkan hak otonomi bagi rakyat Benggali. Mujibur tidak berpangku tangan begitu saja dan segera mencari solusi untuk terus memperjuangkan aspirasi rakyat Benggali.
            Pemilu 7 Desember 1970 memberi Liga Awami perolehan kusi 160 (74, 9%) dari 162 kursi yang di sediakan, sementara Bhutto memperoleh 81 kursi dari 138 kursi yang tersedia. Menghadapi hasil pemilu yang tidak di harapkan, resim Bhutto harus mencari akal untuk mempertahankan supremasi mereka dalam perpolitikan Pakistan. Resim Yahya bersama Bhutto memutuskan untuk menunda Sidang Dewan Nasional. Menghadapi tidakan Yahya, Mujibur Rahman pada tanggal 4 Mei melancarkan hartal. Pembalasan Mujib ini menunjukan ketidak mampuan pemerintah pusat untuk mengendalikan situasi di Pakistan Timur. Tanggal 7 Maret Yahya Kha mengumumkan bahwa Dewan Nasional tidak akan bersidang seperti yang di rencanakan yaitu pada tanggal 25 Maret, menanggapi hal itu Mujib mengajukan tuntutan baru: (1) pencabutan keadaan darurat; (2) pemindahan kekuasaan kepada para wakil terpilih; (3) menarik kembali pasukan ke barak-barak mereka; (4) suatu penyelidikan atas penembakan polisi. Selanjutnya Mujib melancarkan nonkooperasi secara serentak di seluruh negeri dan berhasil  (Musidi, B. 2012: 190-192).
            Bergabungnya Bhutto dengan resim Yahya, menyulitkan jalan Mujib dalam memperjuangkan aspirasi rakyat Benggali. Dengan usaha yang gigih dari Mujib, tuntutan barupun di lontarkan olehnya, sehingga dengan segala cara resim Yahya mencari jalan untuk menghalangi perjuangan Mujibur Rahaman. Jelas, bahwa resim Yahya tidak ingin kehilangan dominasinya dan menolak untuk menyerahkan kekuasaan kepada wakil terpilih. Hal tersebut akan merugikan pemerintah Pakistan, khususnya oarang- orang Pakistan Barat. Tidakan Yahya Khan dalam mempertahankan dominasinnya menimbulkan dampak yang tidak baik di dalam keutuhan keamanan Pakistan Khusunya di Benggali. Kerusuhan merebak antara tentara Pakistan denga pendukung Liga Awmi. Pertumpahan darah antara dua sodarapun terjadi akibat dari gagalnya perundingan yang tetap di tujukan untuk keuntungan Pakistan Barat. Satu persatu darah berjatuhan di tanah Benggali yang terampas hak-haknya sebagai daerah yang seharusnya dapat memegang otonomi daerahnya secara utuh, namun karena ke serakahan Pemerintahan Pakistan hak-hak tersebut tidak dapat terealisasikan. Hal ini membuktikan bahwasanya ide penyatuan dua bangsa yang di gagaskan oleh Ali Jinnah adalah suatu kebohongan untuk mencari untung atas potensi yang terdapat di wilayah Benggali untuk memakmurkan orang-orang Pakistan Barat.
            Akibat selanjutya, timbul kerusuhan dalam skala luas sejak awal Maret 1971 di Pakistan Timur. Pertempuran mulai pecah antara tentara Pakistan dengan para pendukung Liga Awami, terutama setelah para pemimpin Liga Awami (termasuk Mujibur Rahman) di tangkap oleh tentara Pakistan dan di penjarakan. Dalam suasan itu, seorang perwira Pakistan yang membelot, Mayor Ziaur Rahman, menyatakan kemerdekaan Bangladesh pada 26 Maret 1971 di Chittagong (Baxter. 1987:241(dalam Suwarno. 2012:196)).
2.2.3 Peran India Menuju Kemerdekaan Bangladesh
            Jalannya perang saudara di Pakistan Timur berubah ketika India ikut campur tangan dengan mengirim pasukan untuk membantu kaum nasionalis Benggali, pada November 1971. Hal tersebut di lakukan oleh India karena sejak awal kemerdekaan Pakistan merupakan musuh bebuyutan, India berharap bahwa dengan berdirinya Bangladesh kekuatan Pakistan akan makin melemah. Selain itu, karena jutaan pengusi Benggali yang mengalir ke India harus menghentikan arus pengusian (Suwarno.2012: 196-197). Dengan campur tangan dari pihak India, berdampak pada arus jalannya peperangan yang semakin keras. Bahkan dalam bukunya yang berisi tentang kesaksian-kesaksian dari tokoh-tokoh yang mengalami langsung kejadian peperangan khususnya perang yang terjadi di Benggali, (Berndt, H. 2006: 12-13), merangkum kesaksian dari seorang tokoh Benggali bernama Giasuddin Ahmed, yang mengalami kekejaman perang pada saat itu:
“Pada tahun 1970 Giasuddin Ahmed menghentikan studi yang barusaja di mulainya karena pecah perang kemerdekaan melawan Pakistan. Giasuddin melarikan diri ke India untuk bergabung dengan gerakan kemerdekaan disana. Sebab, meskipun ia mengimpikan Bangladesh yang merdeka, ia ngeri melihat kekejaman perang dan mulai bekerja sebagai sukarelawan di kamp-kamp pengusi di Benggala Barat, India. Di sini ia bertanggung jawab atas penyaluran bahan makanan pokok an a sendiri hidup dalam kondisi yang teramat sederhana. Hanya dengan selembar tikar untuk alas tidur dan sehelai pakaian ia merasa bebas dan puas. Sebelum perang kemerdekaan berakhir, pemuda berumur delapan belas tahun itu pulang, karena rindu pada ibunya.”
Dari pengakuan seorang tokoh Giasuddin ini, dapat di ketahui bagaimana gambaran kekerasan yang terjadi selama berlangsungnya perang kemerdekaan dan peran India lewat campurtangannya India dalam peperangan yang lebih memihak Pakistan timur, membawa angin segar bagi Pakistan Timur untuk utuk merebut kemerdekaan penuh.
            Pada tanggal 24 Mei 1971 PM Indira Gandi mengatakan bahwa Negara-negara besar tidak bersedia menekn Pakistan untuk menghentikan kekerasan di Pakistan Timur. Awal bulan Mei, India melatih dan mempersenjatai orang-orang Bangladesh, mendukung pemerintahan sementara Bangladesh dan Mukti Bahini (Brigade Pembebasan) di tempatkan di bawah komando (colonel Purnawirawan) MAG. Osmani. Ketika krisis di Pakistan Timur sedang marak, India mulai melangkah ke politik Konfrontasi. Berikutnya Ny. Indira Gandhi mulai lawatan ke berbagai Negara Barat untuk menginformasikan posisi kritis India dan membantu menyiapkan opini buat intervensi militer di Pakistan Timur. Ny. Gandhi berhasil meyakinkan pemimpin AS untuk menghentikan pengiriman senjata, meski hanya sebagian ke Pakistan.  Para pemimpin India sudah berhasil menggaet Uni Soviet ke pihak India, dan telah member tahu kepada Penguasa Barat mengenai situasi yang di di ahadapi India, serta telah berusaha mengubah opini pemerintah AS dan menggagalkan dukungan Cina bagi Pakistan. Selain itu India telah memper baiki latihan Mukti Bahini dan melengkapinya (Musidi, B. 2012: 193-196).
            Politik luar Negeri Ny. Indira Gandhi yang mendukung Pakistan Timur itu sebenarnya di tentang oleh RRC dan AS. Namun Indira Ghandi Jalan terus dan akhirnya Berhasil (Munif, A. 2007: 73). Jelas, dari uraian sebelumnya didapati bahwa peran India dalam memperjuangkan kemerdekaan Bangladesh sangat kuat, khususnya peran dari Ny. Indira Gandhi. Dengan diplomasi yang di lakukannya ke berbagai Negara Barat mampu mengambil simpati dari berbagai Negara Adi jaya yang memiliki pengaruh besar dalam proses terjadinya perang di asia Selatan. Diplomasi yang di lakukan oleh Indira Gandhi dapat melumpuhkan kekuatan Pakistan yang semula di sokong oleh Negara-negara Adi Jaya. Melemahnya kekuatan Pakistan, berarti mempermudah jalannya bagi kemerdekaan Bangladesh seutuhnya dan terlepas dari jeratan Pakistan Barat.
            Hanya dalam waktu sekitar satu bulan, tentara Pakistan berhasil di lumpuhkan oleh kekuatan gabungan tentara India dan kaum Nasionalis Benggali. Pada 16 Desember 1971, tentara Pakistan, tentara Pakistan terpaksa menyerah kepada tentara gabungan tersebut. Hal ini berakibat pemerintahan rezim Yahya Khan di Pakistan jatuh dan Bangladesh menjadi Negara tersendiri, yang merdeka dan berdaulat. Setelah keadaan menjadi agak reda, dimana sejak akhir Desember 1971, Zulfiqar Ali Bhutto menjadi PM Pakistan dan segera membebaskan Mujibur Rahman dan para takoh partai Liga Awami. Mujibur Rahaman kemudian menjadi presiden Bangladesh hingga akhir hayatnya pada 1975 (Suwarno. 2012: 196-197). Kemerdekaan Bangladesh membuktikan kegagalan atas penyatuan dua bangsa dengan berlandaskan satu ideologi agama. Pada dasarnya Pakistan Barat dan timur memiliki perbedaan budaya yang mendasar dan semua itu sulit bila tetap di usahakan penyatuan atas dasar ideologi agama yang sama. Selain itu jarak yang terlampau jauh menyulitkan terjadinya konsolidasi yang utuh antar kedua provinsi tersebut dan dominasi politik yang di lakukan oleh orang-orang Pakistan Barat menguatkan keinginan rakyat Benggali untuk merdeka.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
            Sebagai Negara yang baru merdeka, Pakistan masih belum sepenuhnya memiliki kekuatan dalam mengelola Negara, terlebih lagi Negara yang terbentuk merupakan gabungan dari dua bangsa yang memilki idiologi agama yang sama. Terbentuknya Negara Pakistan atasdasar ideologi yang sama Nampak tidak mampu mengaspirasi keinginan rakyat Benggali dan pemerintah Pakistan yang di dominasi oleh orang-orang Pakistan Barat mencerminkan ketidak adilan yang nyata. Dari awal kepemimpinan Ali Jinnah Sampai Yahya Khan aspirasi  yang di lancarkan oleh tokoh-tokoh Benggali (Mujibur Rahman) tidak mampu di realisasikan, oleh karena itu terjadilah konflik-konflik hingga terjadilah perang saudara di Benggali antara tentara Pakistan dengan pendukung Liga Awami yang di bantu oleh India. Peran India dalam menuju kemerdekaan Bengladesh begitu kuat, mulai dari bantuan tentara dan pelatihan berperang untuk rakyat Benggali, hingga politik luar negeri yang di lancarkan oleh Ny. Indira Ghandi untuk mendukung kemerdekaan Bangladesh yang pada akhirnya membuahkan hasil, melemahkan kekatan Pakistan. Dalam waktu satu bulan tentara Pakistan dapat di taklukan oleh tentara gabungan yang menyebabkan Yahya Khan harus mengundurkan diri dari jabatan presiden dan di gantikan oleh Bhutto. Setelah Bhutto menggantikan posisi Yahya Khan giliran Mujibur Rahman di keluarkan dari penjara oleh Bhutto. Setelah keluar dari penjara Mujib mengukuhkan kemerdekaan Bangladesh dengan jabatannya sebagai presiden pada tahun 1971.
3.2  Saran
            Agar dalam proses penggalian pengetahuan tetang sejarah Asia selatan khusunya Konflik-konflik yang terjadi di Asia Selatan, alangkah lebih baik bila pengadaan sumber-sumber Buku yang menuliskan tentang kaitannya dengan sejarah Asia Selatan semakin di tingkatkan. Sumber-sumber yang ada lebih di dominasi dengan Buku-buku yang berbahasa asing, sehingga menyulitkan dalam usaha memperdalam pengetahuana tentang Konflik-konflik yang terjadi di Asia Selatan. Memperdalam pengetahuan pengetahuan tentang konflik-konflik yang terjadi di Asia Selatan sangat penting, agar siapapun dapat membandingkan dengan konflik-konflik yang terjadi di negeri sendiri dan agar dapat memaknai konflik-konflik sehingga juga dapat di implementasikan dalam kehidupan nyata sipa saja yang memperdalamnya.  Seperti yang di ketahui bahwasannya konflik yang terjadi di Asia Selatan Kususnya Konflik antara Pakistan Barat dan Timur yang membawa kemerdekaan bagi Bangladesh, memiliki banyak nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, Z. 2008. Tragedi Benazir Bhutto. Jakarta: PT Buku Kita.
Berndt, H. 2006. Agama Yang Bertindak; “kesaksian hidup dari berbagai tradisi.” (Penerjemah: A. Widya Martaya( di terjemahkan dari buku Hagen Berndt, non-violence in the world religions. SCM Press, London, 2000. Judul asli: Gewaltfreit in den weltreligion). Yogyakarta: Kanisius.
Budiardjo, M. 1978. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Easwaran, E. 2008. Badshah Khan; “kisah pejuang muslim anti kekerasan yang terlupakan.” (di terjemahkan oleh Nonviolent of Islam Terbitan Nilgiri Proses). Yogyakarta: PT Bentag Pustaka.
Esposito, J. L., & Magahed, D. 2008. Saatnya Muslim Bicara. Bandung: PT Nizam Pustaka.
Munif, A. 2007. Tokoh Politik Legendaris Dunia. Jakarta: PT Buku Kita.
Musidi, B. 2012. India:” sejarah ringkas dari prasejarah sampai terbentuknya Bangladesh.” Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Musidi, B._ _. Pakistan: “dari era Ayub Khan sampai Era Bhutto.” (Artikel). _ _: _ _.
Nasrin, T. 2003. Lajja. Yogyakarta: Pustaka Sastra.
Suwarno. 2012. Dinamika Sejarah Asia Selatan. Yogykarta: Penerbit Ombak. 

Tidak ada komentar: