KONFLIK
ANTARA PAKISTAN BARAT DENGAN PAKISTAN TIMUR DARI TAHUN 1951 SAMPAI 1971
TERBENTUKNYA NEGARA BANGLADESH
Oleh:
Slamet Rohman
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama
beberapa abad banyak kaum muslim yang hidup di bawah penguasa kolonial Eropa.
Asia Selatan merupakan salah satu wilayah benua di Asia yang berkembang pesat
peradaban agama Islam dan Hindu. Kedatangan kolonial Inggris di Asia Selatan,
mengombang-ambingkan kedua peradaban tersebut. Setelah lama berkuasa di wilayah
Anak Benua India ini, pada pertengahan abad ke-20 sebelum meninggalkan wilayah
koloninya, Inggris membagi Asia Selatan kepada bangsa India dan Pakistan. India
menguasai wilayah berpenduduk yang mayoritas Hindu, namun masih ada juga kaum
minoritas muslim yang berada di wilayah kekuasaan India, sedangkan Pakistan
menguasai wilayah yang mayoritas berpenduduk muslim. Pembagian wilayah tersebut
menimbulkan konflik antara India dengan Pakistan dan akirnya timbul konflik
sipil antara Pakistan Barat dengan Pakistan Timur.
Negara
bagian Khasmir yang berpenduduk mayoritas muslim, menjadi bagian dari wilayah
India. Akibat pembagian ini peperangan antara Hindu dan muslim terjadi.
Peperangan tersebut mengakibatkan banyaknya orang-orang muslim di India mengusi
ke Pakistan. Setelah perang antara Hindu dan muslim, timbul konflik baru yang
datang dari Pakistan, yaitu antara Pakistan Barat dan Timur yang akhirnya
mengarah keterbentuknya Negara Bangladesh (Esposito, J. L. & Magahed, D
2008: 64). Terbentuknya Negara Bangladesh juga sangat di pengaruhi oleh
beberapa Negara yang campur tangan dalam masalah konflik Pakistan Barat dan
Timur. Untuk itu makalah ini, akan membahas tentang awal terjadinya konflik
Pakistan Barat dan Timur, hingga terbentuknya Negara Bangladesh, yang berjudul “Konflik Antara Pakistan Barat Dengan
Pakistan Timur Dari Tahun 1951 Sampai 1971 Terbentuknya Negara Bangladesh.” Guna
menambah wawasan dan pengetahuan tentang konflik-konflik yang terjadi di Asia
Selatan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana
awal mula terjadinya konflik antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur?
1.2.2 Bagaimana
proses terjadinya konflik 1966 hingga berdirinya Negara Bangladesh?
1.3
Tujuan
1.3.1 Mengetahui
awal mula terjadinya konflik antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur.
1.3.2 Mengetahui
proses terjadinya konflik hingga berdirinya Negara Bangladesh.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Awal Mula Terjadinya Konflik Antara Pakistan
Barat dan Pakistan Timur
2.1.1 Permasalahan
Penggunaan Bahasa Nasional
Sebagai Negara yang baru terbebas
dari dominasi Hindu- India, Pakistan harus melalui masa-masa sulit sejak awal
berdirinya. Jutaan Muslim India mengalir ke Pakistan, rehabilitasi masalah
pengusi merupakan salah satu agenda utama yang di tangani Pemerintah Pakistan.
Muhammad Ali Jinnah memindahkan markas besarnya ke Lahore, untuk memantau
langsung kondisi para pengusi. Organisasi-organisasi Sosial didirikan sebagai
sarana untuk menyalurkan dana bantuan. Dalam situasi yang sangat parah, Ali
Jinnah menyampaikan pidato yang mengobarkan semangat para pengusi (Ali, Z.
2008: 79-80). Usaha Ali Jinnah sebagai pemegang kekusaan Pakistan, terselimuti
dengan perasaan Nasionalisme yang tinggi meliputi seluruh rakyat Pakistan dan
khususnya Para pengusi yang baru menata hidup di Pakistan. Hal ini, berdampak
positif terhadap sisi psikologis Masyarakat Pakistan Barat maupun Timur. Meskipun
keadaan konflik semakin memanas antara Pakistan yang mengatas namakan persatuan
umat muslim dan India atas nama Agama Hindu, dengan wibawa dan kebesaran Ali Jinnah,
rakyat Pakistan tetap bersatu tanpa ada perpecahan.
Pakistan pada awalnya mampu
mengintegrasikan suatu ikatan yang sama antara Muslim di Punjab dan di Benggali
(Pakistan Timur). Tetapi oarang-orang Benggali yang Muslim maupun Hindu segera
menyadari kesia-siaan teori dua Bangsa sejak mereka gagal membuat kesepakatan
penting dengan kaum Muslim di Pakistan (Nasrin, T. 2003:13). Benih-benih
ketidak puasan mulai timbul akibat kesepakatan-kesepakatan terhadap
permasalahan-permasalahan menegenai kesatuan Nasionalisme Pakistan Barat dan
Timur yang seharusnya dapat di relisasikan oleh pemerintah pusat Pakistan,
tidak dapat di wujudkan karena permasalahan politik yang mengharuskan wilayah Benggali
menjadi wilayah bagian Timur Pakistan tunduk patuh terhadap apa yang di
kehendaki pemerintah pusat yang berada di Pakistan Barat. Tindakan pemerintah
pusat yang mengatasnamakan penyatuan dua Bangsa, tidak sejalan dengan apa yang di
inginkan oleh bangsa Benggali. Hal tersebut mengakibatkan ketidak puasan
terhadap masyarakat Benggali yang berada di bawah bendera kesatuan Pakistan.
Ketidak pusasan yang yang timbul, berdampak negatif dengan terjadinya
pemberontakan yang di lakukan oleh masyarakat benggali terhadap
kesewenang-wenangan Pemerintah pusat.
Ketika Pakistan sedang berbenah
untuk mengukuhkan posisinya di kancah politik Dunia, Ali Jinnah meninggal dunia
pada September 1948. Liaquat Ali Khan menggantikan posisi Ali Jinnah sebagai
perdana mentri pertama Pakistan. Ali Khan adalah sosok berwibawa yang meiliki
dedikasih tinggi terhadap perjuangan bangsa. Namun konspirasi dikalangan elit
politik waktu itu telah menyebabkan Ali Khan terbunuh pada tahun1951. Sejak
awal berdirinya, Pakistan Telah menjadi korban dari serangkaian pengkianatan
yang tidak hanya berdampak negatif terhadap kehidupan sosial-ekonomi Negara
tapi juga terhadap laju pertumbuhan Demokrasi. Kesatuan dan Persatuan Pakistan yang
meliputi wilayah Pakistan Barat dan Timur mulai di dorong dengan gerakan
spartisme akibat ketimpangan kehidupan sosial-ekonomi, diskriminasi politik dan
minimnya akomodasi aspirasi masyarakat Pakistan Timur (Ali, Z. 2008: 80-81).
Pada tahun 1952, di jalan-jalan Daka
pada waktu itu, terjadi aksi yang meluap-luap karena orang Benggali berusaha
menggunakan bahasa Benggali sebagai bahasa Nasional. (Nasrin, T. 2003: 11). Perbedaan
bahasa yang mencolok antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur, menimbulkan
aksi-aksi yang keras dari masyarakat Benggali yang menginginkan Bahasa Benggali
sebagai Bahasa Nasional. Oleh karena Pemerintah pusat Pakistan tidak
merealisasikan keinginan masyarakat Benggali, timbulah aksi-aksi keras tersebut
sebagai bentuk ketidak puasan dari masyarakat Benggali. Peristiwa ini
berpengaruh terhadap kesatuan dan persatuan Demokrasi Pakistan yang semula
dapat di pertahankan atas dasar Nasionalisme kehidupan Berbangsa dan
ber-Negara. Polemik penggunaan bahasa menjadi penghalang terjadinya Demokrasi
yang baik di Pakistan dan hal ini akan berpengaruh ke masa-masa yang akan
datang.
Masalah bahasa yang menjadi
perdebatan antara Pakistan Barat dan Timur merupakan bahasan yang sudah lama di
persengketakan. Sejak Masa Muhammad Ali Jinnah masih hidup, (tahun 1948),
bahasa Urdu telah di tetapkan sebagai bahasa resmi Negara dan yang menentang
ketetapan ini dianggap sebagai musuh Negara Pakistan. Memang pada 1954, Majelis
Konstituante Pakistan merevisi ketetapan tersebut dengan keputusan bahasa Urdu
dan bahasa Benggali, keduannya akan menjadi bahasa Nasional Pakistan. Tetapi
keputusan ini tidak mengurangi kesenjangan antara orang-orang Pakistan Barat dan
Timur (Suwarno. 2012: 194). Kesenjangan yang terus berlangsung meskipun telah
diadakan kesepakatan penggunaan bahsa Nasional yang saling berkeadilan di
antara kedua wilayah tersebut, nampaknya bukan salah satu jalan untuk dapat
menghentikan kesenjangan. Ketidak puasan antara kedua wilayah tersebut terus
berlangsung sampai terjadinya pemberontaan-pemberontakan yang lebih keras dan
merusak kesatuan dan persatuan Demokrasi Pakistan.
Bahasa
Urdu dan Benggali mempunyai perbedaan, meskipun sama-sama berakar dari bahsa
Sansekerta. Bahasa Urdu yang di tulis dalam huruf Arab, sebagian besar
kosakatanya di sumbang oleh bahasa Arab dab Persia. Sebaliknya bahasa Benggali
yang di tulis dalam huruf Prakrit, kosa kata yang dominan tetap bahasa Sansekerta
(Suwarno. 2012: 194). Perbedaan bahasa yang mencolok inilah yang menjadi awal
dari kesenjangan yang terjadi seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya.
Kebiasaan penggunaan bahasa yang berbeda, jelas akan sulit di satukan dengan
satu bahasa, diantara dua bahsa tersebut, karena kedua wilayah yang berbeda
bahasa tersebut sudah sejak lama menggunakan bahasa tersebut dan sudah mengakar
didalam kehidupan masyarakat Punjab maupun Benggali. Kedua bahasa tersebut
merupakan sebagai wujud ciri khas kebudayaan dari kedua wilayah Pakistan dewasa
ini. Mempersatukan kedua wilayah yang memiliki keunikan Budaya tersendiri bukan
perkara yang mudah, meskipun persatuan di landaskan atas dasar ideologi agama
yang sama. Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya penyatuan dua bangsa di
Pakistan dengan dasar satu ideologi agama yang sama banyak di pandang oleh
tokoh-tokoh Pakistan Timur suatu hal yang sia-sia.
2.1.2 Kesenjangan
yang Terus Berlangsung
Setelah
revisi yang dilakukan Majelis Konstituante atas penggunaan bahasa Nasional
dapat di selesaikan dengan hasil penggunaan dua bahasa Nasional yaitu Urdu dan
Benggali, tidak menyurutkan kesenjangan antara Pakistan Barat dan Timur. Usaha
Pemerintah Pusat Pakistan untuk menyatukan kedua bangsa tersebut mengalami
hambatan. Sebagai Negara yang baru merdeka dan masih muda, kondisi seperti ini
merupakan tantangan yang besar bagi Pemerintah Pakistan. Ideologi yang di
gadang-gandangkan pada awal berdirinya Negara Pakistan hanya mampu menyatukan
Masyarakat Pakistan Barat dan Timur saat usaha menuju kemerdekaannya saja. Pada
kenyataannya banyak terjadi ketimpangan antara Pakistan Barat dan Timur dengan
berbagai sebab. Kesenjangan-kesenjangan terus terjadi sejalan dengan usaha
Pemerintah Pakistan dalam menyatukan kedua bangsa tersebut.
Jarak
yang terlalu jauh antara Pakistan Barat denagan Pakistan Timur (lebih dari
1.000 mil atau 1600 km), juga merupakan kendala yang berat bagi kedua Provinsi
itu. Karena jarak yang teralampau jauh itu tidak saja mempersulit hubungan
kedua Provinsi, tetapi lebih jauh menyulitkan di jalinnya komunikasi politik
yang lebih erat antara orang-orang Pakistan Timur dengan Pakistan Barat
(Suwarno. 2012: 195). Jarak yang terlampau jauh, menjadi faktor penghambat
terjadinya konsolidasi yang baik antar kedua Provinsi tersebut. Jika di
analisis lebih mendalam kendala tersebut merupakan keuntungan bagi Pakistan
Barat yang memegang segala segi tumpu kekuasaan tidak termasuk Pakistan Timur
yang di dominasi oleh orang-orang Pakistan Barat.
Selain
soal bahasa dan jarak, banyak orang Pakistan Barat yang menuduh orang Pakistan
Timur sebagai kurang Islami karena tradisi Hindu sebagian Masih di pakai. Juga
soal pakaian kaum wanita Benggali yang relatif kurang memakai kerudung atau
lebih longgar, sering menjadi bahan kritikan di Pakistan Barat (Suwarno. 2012:
195). Perbedaan Pakistan Timur sering kali di jadikan bahan untuk menjatuhkan
bagi Pakistan Barat. Pakistan Barat menganggap bahwasannya kebudayaan Pakistan Timur tidak mencerminkan ideologi
Islam yang sebnarnya. Jelas perbedaan antara Pakistan Barat dan Timur sangat
mencolok. Dominasi politik yang di lakukan Pakistan Barat, memperkuat lajunya
kesenjangan yang terjadi. Oleh karena Pakistan Timur tidak tinggala diam atas
tindakan Pakistan Barat.
Dominasi
politik orang-orang Pakistan Barat juga merambah dalam bidang administrasi atau
pemerintahan, dimana terdapat ketidak seimbangan proporsi yang menjadi pejabat
sipil, militer, dan keanggotaan parlemen. Pejabat militer angkatan bersenjata
Pakistan yang berasal dari orang-orang benggali, hingga akhir 1960-an, hanya
berjumlah sekitar 6%. Hampir seluruh pejabat tinggi yang ada di Pakistan Timur
berasal dari Pakistan Barat (Suwarno. 2012: 193). Keadaan seperti ini jelas
akan membawa kepermasalahan kesenjangan yang lebih menguat. Ketidak adilan
jelas terjadi oleh kesewenang-wenangan orang-orang Pakistan Barat yang merasa
lebih pantas dalam memegang tumpuk kekuasaan di segala bidang. Dominasi yang
terjadi, menimbulkan kebencian yang semakin kuat dari kalangan oarang-orang
Benggali, hingga pada akhirya akan memperkuat tekad orang-orang Benggali dalam
menuntut hak otonomi sepenuhnya.
Dalam
segi ekonomi, hingga akhir pertengahan 1960-an, ekspor Pakistan (antara lain
komoditi jute, kain katun, hasil-hasil pertanian dan manu faktur) sebagian
besar di sumbangkan oleh Pakistan Timur. Akan tetapi alokasi pembangunan
berfokus di Pakistan Barat. Ini berarti, Pakistan Timur menjadi tulang punggung
perekonomian Pakistan, namun kurang terdapat pemerataan hasil-hasil pembangunan
karena sebagian terbesar dana terserap di Pakistan Barat. Ketidak adilan
ekonomi ini juga melanda bidang Industri, investasi, dan perbankan. Sebagai
missal, dana bantuan luar negeri sekitar 70% dipusatkan untuk pembangunan
Pakistan Barat, sementara Pakistan Timur yang penduduknya lebih padat hanya
mendapat sisanya (Suwarno. 2012: 193-194). Tindakan Pakistan Barat Nampak
seperti hanya memanfaatkan potensi yang terdapat di Pakistan Timur.
Pembangunan-pembangunan yang terpusat di Pakistan Barat menunjukan dimana tidak
terdapat keadilan yang sesungguhnya. Pakistan Timur hanya menjadi ladang bagi
Pakistan Barat untuk membangun segala segi tatanan yang ada. Sebab inilah yang
membuat Pakistan Barat untuk mempertahankan Pakistan Timur, karena sangat
menguntungkan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan.
Ketidak
puasan orang-orang Benggali juga muncul ketika pemimpin Parati Liga Muslim
benggala sebelum merdeka, yaitu Husain Haheed suhrawardy, tidak dipilih sebagai
ketua menteri Provinsi Pakistan Timur. Justru yang diangkat adalah Khwaja
Nazimuddin, orang Pakistan Barat yang berbahasa Urdu. Suhrawardy kemudian
keluar dari partai Liga Muslim dan pada 1949 mendirikan Partai Liga Awami.
Partai ini segera menjadi popular di kalangan rakyat Pakistan Timur karena
memperjuangkan nasionalisme orang-orang Benggali (Suwarno. 2012: 192).
Perjuangan Partai Liga Awami tidak begitu mudah, karena pada waktu yang lebih
maju Partai ini mendapat perlawanan dari Parati yang didirikan oleh Badshah
Khan. Saat di luara penjara khan, dan tiga pemimpin lainya mendirikan nasional
Awami Party “Partai Rakyat Nasional”, Partai sosial Demokrat pertama di
Pakistan yang berperan sebagai partai oposisi kuat selama periode enam puluhan
dan tujuh puluh dengan Putra Khan, wali sebagai pemimpinnya di wilayah
perbatasan(Easwaran, E. 2008: 242).
2.2 Proses Terjadinya Konflik 1966 Hingga
Berdirinya Negara Bangladesh
2.2.1 Kegagalan
Akomodasi Aspirasi Mayoritas Rakyat Pakistan Timur
Sisitem politik Ayub Khan memiliki
sejumlah fleksibilitas yang cukup elastik untuk mengakomodasi kelompok-kelompok
yang mendapat untung dari kemajuan ekonomi dan melanjutkannya sampai ambil
bagian dalam keputusan politik. Lembaga Demokrasi Dasar member system Ayub
banyak elastisitasnya. Fleksibilits ini menjadi lenyap ketika Ayub mulai
mencari dukungan dari Demokrasi Dasar dan berpaling lagi ketika sudah
mengerjakannya selama tahun pertama pemerintahannya, ke birokrasi sipil yang
tetap elitis, tidak hanya dalam komposisinya tetapi juga dalam pandangannya (Musidi,
B._ _:_ _)
Antara tahun 1966-1970, para
pemimpin Pakistan Barat gagal mengakomodasi aspirasi mayoritas rakyat Pakistan
Timur. Antara kedua sayap Pakistan diluar ikatan agama ada perbedaan yang
mendasar, baik etnik maupun bahasa yang di gunakan berbeda. Paling awal pada
bulan Pebruari 1966 Mujibur Rahman menuntut otonomi regional yang di kenal
dengan Program Enam Butir, yaitu: (1) pembentukan pemerintahan federal
parlementer lewat pemilu yang bebas dan teratur; (2) pemerintah federal hanya
mengawasi hubungan luar negeri dan pertahanan; (3) politik keuangan yang
terpisah dan pengawasan pemindahan modal dari timur kebarat; (4) perpajakan di
urus oleh propinsi dan pemerintah federal memperoleh dana dari propinsi; (5)
setiap propinsi dapat mengadakan perjanjian perdagangan dengan Negara-negara
lain dan mengawasi alokasi pendapatan valuta asing; (6) setiap Propinsi dapat
merekrut tentaranya sendiri (Baxter, 1987 (dalam Musidi, B. 2012: 188)).
Gagalnya akomodasi, di manfaatkan
oleh Mujibur dengan menuntut otonomi regional. Tutuntan tersebut mempersulit
posisi pemerintah Pusat Pakistan. Pada tanggal 7 Januari1968 Mujib dengan 28
orang lainnya di tuduh mengilhami pemisahan Pakistan Timur termasuk P.N Ojha,
wakil komisaris Tinggi India di Dacca di jebloskan ke dalam penjara. Karena
gagal di buktikan para tertuduh justru menjadi pahlawan dan pejuang hak-hak
Pakistan Timur (Musidi, B. 2012: 188). Penangkapan Mujibur beserta 28 orang
lainya ini mewujudkan suatu ketidak setujuan dari pihak pemerintah pusat
Pakistan akan tuntutan yang di layangkan oleh Mujibur. Kedaan seperti ini
semakin memperkeruh proses Demokrasi di Pakistan dan semakin memperkuat
keinginan masyarakat Benggali untuk dapat lepas dari kekangan pemerintah pusat
Pakistan yang tumpuk kuasanya di dominasi oleh oarang-orang Pakistan Timur.
Kekuatan untuk menjadi wilayah yang merdeka bagi Bangsa Benggali semakin
menyemarak, di dukung dengan usaha dari tokoh-tokoh besar Benggali yang tak
henti-hentinya menyuarakan otonomi yang utuh dari masyarakat Benggali.
Bhutto, Wali Khan (putra Khan Abdul
Khan) berusaha mengambil keuntungan dari ketidak puasan yang sedang tumbuh.
Tetapi langkah mereka di hadang Ayub dengan Penerapan Peraturan Pertahanan
Pakistan. Ayub khan terpaksa membetalkan Argatala
Conspirasi, pembebasan Sheikh Mujibur Rahman dan penyelenggaraan Konperensi
Meja Bundar pada Bulan Mei 1968. Konperensi setuju kebentuk pemerintahan
parlementer, tetapi gagal menyokong Program Enam Butir Mujibur Rahman (Musidi,
B. 2012: 188-189). Terlihat jelas bahwa resim Ayub Khan dengan segala cara
ingin menggagalkan usaha-usaha siapa saja yang ingin mendukung akan terjadinya
otonomi bagi rakyat Benggali. Langkah politik Ayub Khan dinilai hanya
menguntungkan bagi orang-orang Pakistan Barat, untuk itulah arus perpecahan
sangat menguat dengan dukungan dari usaha para tokoh yang peduli dengan nasib
orang-orang Benggali.
Ternyata
siasat Presiden Ayub Khan untuk menyusun suatu orde politik baru dan membimbing
emansipasi rakyatnya tidak menemui sasaran. Tetapi di bidang ekonomi pembaruan
presiden Ayub Khan lebih berhasil, kalau dilihat dari sudut GNP. Tetapi
kemakmuran hanya dirasakan sekelompok kecil Pakistan Barat saja. Kemudian
timbul oposisi terhadap korupsi yang merebak dan terhadap sistim Demokrasi
Dasar yang dianggap kurang Demokratis. Sesudah terjadi kerusuhan maka dalam
tahun 1968 Ayub Khan menyerahkan kekuasaan kepada Jendral Yahya Khan
(Budiardjo, M. 1978: 68). Kebijakan politik yang disusun oleh Ayub Khan
mewujudkan korupsi yang meraja-lela. Satu persatu kepincangan dalam berpolitik
di jalani oleh ayub Khan yang merasa politik yang di usungnnya akan dapat
mengatasi permasalahan-permasalahan yang sedang di hadapi Pakistan. Usaha
tersebut menemui ujungnnya dengan keuntungan yang dapat dirasakan oleh
orang-orang Pakistan Barat, korupsi yang merebak, dan pada ujungnya Ayub Khan
harus menyerahkan kekuasaan kepada Jederal Yahya Khan. Pergantian Presiden yang
di jabat oleh Yahyakan, membuka lembaran baru akan peristiwa-peristiwa
pemberontakan yang lebih kuat lagi.
2.2.2 Perundingan yang Gagal
Presiden
baru menjanjikan akan menghidupkan kembali sistim parlementer dan mengadakan
pemilihan umum akhir tahun 1970. Tetapi ternyata dua partai besar yaitu Partai
Rakyat di Pakistan Barat dan Partai Awami Nasional di Pakistan Timur tidak
dapat mencapai basis yang cukup kuat untuk merundingkan suatu undang-undang
dasar baru, sehingga Jenderal yahya Khan mengambil alih pimpinan Negara
(Budiardjo, M. 1978: 68-69). Pengambil alihan pimpinan ini membuka permasalahan
yang lebih rumit dan mempersulit gerak dari Mujibur Rahman dalam memperjuangkan
hak otonomi bagi rakyat Benggali. Mujibur tidak berpangku tangan begitu saja
dan segera mencari solusi untuk terus memperjuangkan aspirasi rakyat Benggali.
Pemilu
7 Desember 1970 memberi Liga Awami perolehan kusi 160 (74, 9%) dari 162 kursi
yang di sediakan, sementara Bhutto memperoleh 81 kursi dari 138 kursi yang
tersedia. Menghadapi hasil pemilu yang tidak di harapkan, resim Bhutto harus
mencari akal untuk mempertahankan supremasi mereka dalam perpolitikan Pakistan.
Resim Yahya bersama Bhutto memutuskan untuk menunda Sidang Dewan Nasional. Menghadapi
tidakan Yahya, Mujibur Rahman pada tanggal 4 Mei melancarkan hartal. Pembalasan
Mujib ini menunjukan ketidak mampuan pemerintah pusat untuk mengendalikan
situasi di Pakistan Timur. Tanggal 7 Maret Yahya Kha mengumumkan bahwa Dewan
Nasional tidak akan bersidang seperti yang di rencanakan yaitu pada tanggal 25
Maret, menanggapi hal itu Mujib mengajukan tuntutan baru: (1) pencabutan
keadaan darurat; (2) pemindahan kekuasaan kepada para wakil terpilih; (3) menarik
kembali pasukan ke barak-barak mereka; (4) suatu penyelidikan atas penembakan
polisi. Selanjutnya Mujib melancarkan nonkooperasi secara serentak di seluruh
negeri dan berhasil (Musidi, B. 2012:
190-192).
Bergabungnya
Bhutto dengan resim Yahya, menyulitkan jalan Mujib dalam memperjuangkan
aspirasi rakyat Benggali. Dengan usaha yang gigih dari Mujib, tuntutan barupun
di lontarkan olehnya, sehingga dengan segala cara resim Yahya mencari jalan
untuk menghalangi perjuangan Mujibur Rahaman. Jelas, bahwa resim Yahya tidak
ingin kehilangan dominasinya dan menolak untuk menyerahkan kekuasaan kepada
wakil terpilih. Hal tersebut akan merugikan pemerintah Pakistan, khususnya
oarang- orang Pakistan Barat. Tidakan Yahya Khan dalam mempertahankan
dominasinnya menimbulkan dampak yang tidak baik di dalam keutuhan keamanan
Pakistan Khusunya di Benggali. Kerusuhan merebak antara tentara Pakistan denga
pendukung Liga Awmi. Pertumpahan darah antara dua sodarapun terjadi akibat dari
gagalnya perundingan yang tetap di tujukan untuk keuntungan Pakistan Barat.
Satu persatu darah berjatuhan di tanah Benggali yang terampas hak-haknya
sebagai daerah yang seharusnya dapat memegang otonomi daerahnya secara utuh,
namun karena ke serakahan Pemerintahan Pakistan hak-hak tersebut tidak dapat
terealisasikan. Hal ini membuktikan bahwasanya ide penyatuan dua bangsa yang di
gagaskan oleh Ali Jinnah adalah suatu kebohongan untuk mencari untung atas
potensi yang terdapat di wilayah Benggali untuk memakmurkan orang-orang
Pakistan Barat.
Akibat
selanjutya, timbul kerusuhan dalam skala luas sejak awal Maret 1971 di Pakistan
Timur. Pertempuran mulai pecah antara tentara Pakistan dengan para pendukung
Liga Awami, terutama setelah para pemimpin Liga Awami (termasuk Mujibur Rahman)
di tangkap oleh tentara Pakistan dan di penjarakan. Dalam suasan itu, seorang
perwira Pakistan yang membelot, Mayor Ziaur Rahman, menyatakan kemerdekaan
Bangladesh pada 26 Maret 1971 di Chittagong (Baxter. 1987:241(dalam Suwarno.
2012:196)).
2.2.3 Peran India Menuju
Kemerdekaan Bangladesh
Jalannya
perang saudara di Pakistan Timur berubah ketika India ikut campur tangan dengan
mengirim pasukan untuk membantu kaum nasionalis Benggali, pada November 1971.
Hal tersebut di lakukan oleh India karena sejak awal kemerdekaan Pakistan
merupakan musuh bebuyutan, India berharap bahwa dengan berdirinya Bangladesh
kekuatan Pakistan akan makin melemah. Selain itu, karena jutaan pengusi
Benggali yang mengalir ke India harus menghentikan arus pengusian (Suwarno.2012:
196-197). Dengan campur tangan dari pihak India, berdampak pada arus jalannya
peperangan yang semakin keras. Bahkan dalam bukunya yang berisi tentang
kesaksian-kesaksian dari tokoh-tokoh yang mengalami langsung kejadian
peperangan khususnya perang yang terjadi di Benggali, (Berndt, H. 2006: 12-13),
merangkum kesaksian dari seorang tokoh Benggali bernama Giasuddin Ahmed, yang
mengalami kekejaman perang pada saat itu:
“Pada tahun 1970 Giasuddin Ahmed menghentikan studi
yang barusaja di mulainya karena pecah perang kemerdekaan melawan Pakistan.
Giasuddin melarikan diri ke India untuk bergabung dengan gerakan kemerdekaan
disana. Sebab, meskipun ia mengimpikan Bangladesh yang merdeka, ia ngeri
melihat kekejaman perang dan mulai bekerja sebagai sukarelawan di kamp-kamp
pengusi di Benggala Barat, India. Di sini ia bertanggung jawab atas penyaluran
bahan makanan pokok an a sendiri hidup dalam kondisi yang teramat sederhana.
Hanya dengan selembar tikar untuk alas tidur dan sehelai pakaian ia merasa
bebas dan puas. Sebelum perang kemerdekaan berakhir, pemuda berumur delapan
belas tahun itu pulang, karena rindu pada ibunya.”
Dari pengakuan seorang tokoh
Giasuddin ini, dapat di ketahui bagaimana gambaran kekerasan yang terjadi
selama berlangsungnya perang kemerdekaan dan peran India lewat campurtangannya
India dalam peperangan yang lebih memihak Pakistan timur, membawa angin segar
bagi Pakistan Timur untuk utuk merebut kemerdekaan penuh.
Pada
tanggal 24 Mei 1971 PM Indira Gandi mengatakan bahwa Negara-negara besar tidak
bersedia menekn Pakistan untuk menghentikan kekerasan di Pakistan Timur. Awal
bulan Mei, India melatih dan mempersenjatai orang-orang Bangladesh, mendukung
pemerintahan sementara Bangladesh dan Mukti Bahini (Brigade Pembebasan) di
tempatkan di bawah komando (colonel Purnawirawan) MAG. Osmani. Ketika krisis di
Pakistan Timur sedang marak, India mulai melangkah ke politik Konfrontasi.
Berikutnya Ny. Indira Gandhi mulai lawatan ke berbagai Negara Barat untuk
menginformasikan posisi kritis India dan membantu menyiapkan opini buat
intervensi militer di Pakistan Timur. Ny. Gandhi berhasil meyakinkan pemimpin
AS untuk menghentikan pengiriman senjata, meski hanya sebagian ke Pakistan. Para pemimpin India sudah berhasil menggaet
Uni Soviet ke pihak India, dan telah member tahu kepada Penguasa Barat mengenai
situasi yang di di ahadapi India, serta telah berusaha mengubah opini
pemerintah AS dan menggagalkan dukungan Cina bagi Pakistan. Selain itu India
telah memper baiki latihan Mukti Bahini dan melengkapinya (Musidi, B. 2012:
193-196).
Politik
luar Negeri Ny. Indira Gandhi yang mendukung Pakistan Timur itu sebenarnya di tentang
oleh RRC dan AS. Namun Indira Ghandi Jalan terus dan akhirnya Berhasil (Munif,
A. 2007: 73). Jelas, dari uraian sebelumnya didapati bahwa peran India dalam
memperjuangkan kemerdekaan Bangladesh sangat kuat, khususnya peran dari Ny.
Indira Gandhi. Dengan diplomasi yang di lakukannya ke berbagai Negara Barat
mampu mengambil simpati dari berbagai Negara Adi jaya yang memiliki pengaruh
besar dalam proses terjadinya perang di asia Selatan. Diplomasi yang di lakukan
oleh Indira Gandhi dapat melumpuhkan kekuatan Pakistan yang semula di sokong
oleh Negara-negara Adi Jaya. Melemahnya kekuatan Pakistan, berarti mempermudah
jalannya bagi kemerdekaan Bangladesh seutuhnya dan terlepas dari jeratan
Pakistan Barat.
Hanya
dalam waktu sekitar satu bulan, tentara Pakistan berhasil di lumpuhkan oleh
kekuatan gabungan tentara India dan kaum Nasionalis Benggali. Pada 16 Desember
1971, tentara Pakistan, tentara Pakistan terpaksa menyerah kepada tentara
gabungan tersebut. Hal ini berakibat pemerintahan rezim Yahya Khan di Pakistan
jatuh dan Bangladesh menjadi Negara tersendiri, yang merdeka dan berdaulat.
Setelah keadaan menjadi agak reda, dimana sejak akhir Desember 1971, Zulfiqar
Ali Bhutto menjadi PM Pakistan dan segera membebaskan Mujibur Rahman dan para
takoh partai Liga Awami. Mujibur Rahaman kemudian menjadi presiden Bangladesh
hingga akhir hayatnya pada 1975 (Suwarno. 2012: 196-197). Kemerdekaan
Bangladesh membuktikan kegagalan atas penyatuan dua bangsa dengan berlandaskan
satu ideologi agama. Pada dasarnya Pakistan Barat dan timur memiliki perbedaan
budaya yang mendasar dan semua itu sulit bila tetap di usahakan penyatuan atas
dasar ideologi agama yang sama. Selain itu jarak yang terlampau jauh
menyulitkan terjadinya konsolidasi yang utuh antar kedua provinsi tersebut dan
dominasi politik yang di lakukan oleh orang-orang Pakistan Barat menguatkan
keinginan rakyat Benggali untuk merdeka.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai
Negara yang baru merdeka, Pakistan masih belum sepenuhnya memiliki kekuatan
dalam mengelola Negara, terlebih lagi Negara yang terbentuk merupakan gabungan
dari dua bangsa yang memilki idiologi agama yang sama. Terbentuknya Negara
Pakistan atasdasar ideologi yang sama Nampak tidak mampu mengaspirasi keinginan
rakyat Benggali dan pemerintah Pakistan yang di dominasi oleh orang-orang
Pakistan Barat mencerminkan ketidak adilan yang nyata. Dari awal kepemimpinan
Ali Jinnah Sampai Yahya Khan aspirasi
yang di lancarkan oleh tokoh-tokoh Benggali (Mujibur Rahman) tidak mampu
di realisasikan, oleh karena itu terjadilah konflik-konflik hingga terjadilah
perang saudara di Benggali antara tentara Pakistan dengan pendukung Liga Awami
yang di bantu oleh India. Peran India dalam menuju kemerdekaan Bengladesh
begitu kuat, mulai dari bantuan tentara dan pelatihan berperang untuk rakyat
Benggali, hingga politik luar negeri yang di lancarkan oleh Ny. Indira Ghandi
untuk mendukung kemerdekaan Bangladesh yang pada akhirnya membuahkan hasil,
melemahkan kekatan Pakistan. Dalam waktu satu bulan tentara Pakistan dapat di
taklukan oleh tentara gabungan yang menyebabkan Yahya Khan harus mengundurkan
diri dari jabatan presiden dan di gantikan oleh Bhutto. Setelah Bhutto menggantikan
posisi Yahya Khan giliran Mujibur Rahman di keluarkan dari penjara oleh Bhutto.
Setelah keluar dari penjara Mujib mengukuhkan kemerdekaan Bangladesh dengan
jabatannya sebagai presiden pada tahun 1971.
3.2 Saran
Agar
dalam proses penggalian pengetahuan tetang sejarah Asia selatan khusunya
Konflik-konflik yang terjadi di Asia Selatan, alangkah lebih baik bila
pengadaan sumber-sumber Buku yang menuliskan tentang kaitannya dengan sejarah
Asia Selatan semakin di tingkatkan. Sumber-sumber yang ada lebih di dominasi
dengan Buku-buku yang berbahasa asing, sehingga menyulitkan dalam usaha
memperdalam pengetahuana tentang Konflik-konflik yang terjadi di Asia Selatan.
Memperdalam pengetahuan pengetahuan tentang konflik-konflik yang terjadi di
Asia Selatan sangat penting, agar siapapun dapat membandingkan dengan
konflik-konflik yang terjadi di negeri sendiri dan agar dapat memaknai
konflik-konflik sehingga juga dapat di implementasikan dalam kehidupan nyata
sipa saja yang memperdalamnya. Seperti
yang di ketahui bahwasannya konflik yang terjadi di Asia Selatan Kususnya
Konflik antara Pakistan Barat dan Timur yang membawa kemerdekaan bagi
Bangladesh, memiliki banyak nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
DAFTAR
RUJUKAN
Ali, Z. 2008. Tragedi Benazir Bhutto. Jakarta: PT Buku
Kita.
Berndt, H. 2006. Agama Yang Bertindak; “kesaksian hidup dari
berbagai tradisi.” (Penerjemah: A. Widya Martaya( di terjemahkan dari buku
Hagen Berndt, non-violence in the world religions. SCM Press, London, 2000. Judul
asli: Gewaltfreit in den weltreligion). Yogyakarta: Kanisius.
Budiardjo, M.
1978. Dasar-dasar Ilmu Politik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Easwaran, E. 2008. Badshah Khan; “kisah pejuang muslim anti
kekerasan yang terlupakan.” (di terjemahkan oleh Nonviolent of Islam
Terbitan Nilgiri Proses). Yogyakarta: PT Bentag Pustaka.
Esposito, J. L.,
& Magahed, D. 2008. Saatnya Muslim
Bicara. Bandung: PT Nizam Pustaka.
Munif, A. 2007. Tokoh Politik Legendaris Dunia. Jakarta:
PT Buku Kita.
Musidi, B. 2012. India:” sejarah ringkas dari prasejarah
sampai terbentuknya Bangladesh.” Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata
Dharma.
Musidi, B._ _. Pakistan: “dari era Ayub Khan sampai Era
Bhutto.” (Artikel). _ _: _ _.
Nasrin, T. 2003.
Lajja. Yogyakarta: Pustaka Sastra.
Suwarno. 2012. Dinamika Sejarah Asia Selatan.
Yogykarta: Penerbit Ombak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar