GEOHISTORI: KAJIAN LETAK GEOGRAFIS KERAJAAN SRIWIJAYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sriwijaya
merupakan salah satu Kerajaan besar di Indonesia pada masa Hindu Buddha. Namun,
bukan berarti terdapat banyak catatan sejarah tentang Sriwijaya karena
keterbatasan informasi secara tertulis di dalam negeri. Tahun 1918-an barulah ada seorang
sejarawan Perancis yang bernama George Coedes yang menulis penemuannya dan
mempublikasikannya dalam surat kabar. Selain itu juga ada penemuan Balai
Arkeologi Palembang yang diperkirakan ada sejak kerajaan Sriwijaya berupa perahu
kuno di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Penelitian terus dilakukan untuk
menghasilkan temuan baru, diantaranya 6 prasasti yang tersebar di seluruh
Sumatera Selatan dan Pulau Bangka ada Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti
Siddhayatra, Prasasti Telaga batu, Prasasti Kota Kapur, Prasasti Karang Brahi,
dan Prasasti Palas Pasemah.
Menurut Poesponegoro dan
Notosusanto (2010: 82), dari keterangan–keterangan yang terdapat dalam
prasasti–prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa Sriwijaya telah meluaskan
daerah kekuasaannya mulai daerah Melayu di sekitar Jambi sekarang sampai ke
Pulau Bangka (Penaklukan Pulau Bangka diduga erat hubungannya dengan penguasaan
perdagangan dan pelayaran Internasional di Selat Malaka) dan daerah Lampung
selatan serta usaha menaklukan Pulau Jawa yang menjadi saingannya dalam bidang
pelayaran dan perdagangan dengan luar negeri. Maka dari itu, Sriwijaya
merupakan kerajaan maritim terbesar dan Berjaya di Nusantara kala itu.
Muljana (2008)
di dalam peta sejarah Asia Tenggara Lama, nama Sriwijaya nyaris menjadi mitos
dari sebuah kebesaran dan keagungan. Selain dikenal dengan potensi lautnya yang
besar, nama Sriwijaya juga terdengar harum karena keterbukaannya kepada dunia
luar, misalnya Cina (berdasarkan berita – berita Cina abad V) dan India
(berdasarkan prasasti Nalanda). Oleh karena itu, untuk memenuhi tugas mata
kuliah “Geohistori” kami akan mengaji lebih dalam mengenai sejarah Sriwijaya
namun tidak hanya dari sudut pandang sejarah, akan tetapi kami juga akan
membahas geografisnhya serta keterkaitannya antara lingkungan geografis dengan
perkembangan Kerajaan Sriwijaya. Makalah ini kami beri judul, “Keterkaitan
Lingkungan Geografis dengan Perkembangan Kerajaan Sriwijaya Abad ke-7”.
1.2 Rumusan
Masalah
1)
Bagaimana
kondisi geografis kerajaan Sriwijaya?
2)
Bagaimana
perkembangan kerajaan Sriwijaya abad ke-7?
3)
Bagaimana
keterkaitan lingkungan geografis dengan perkembangan kerajaan Sriwijaya Abad
ke-7?
1.3 Tujuan
Penulisan
1)
Menjelaskan
kondisi geografis kerajaan Sriwijaya.
2)
Menjelaskan
perkembangan kerajaan Sriwijaya abad ke-7.
3)
Menjelaskan
keterkaitan lingkungan geografis dengan perkembangan kerajaan Sriwijaya abad
ke-7.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Letak
Geografi Sriwijaya
Sebelum membahas
mengenai letak geografi Sriwijaya lebih rinci, maka terlebih dahulu akan
menjelaskan mengenai Kerajaan Malayu. Karya I-tsing dan Sejarah Baru Dinasti
T’ang disinggung tentang adanya Kerajaan Mo-lo-yu. Untuk menetapkan dimana
letak Kerajaan Malayu, perlu dikumpulkan berita-berita tentang Malayu yang
ditemukan dalam sumber sejarah cina. Beritanya yakni sebagai berikut:
1. Sejarah
Baru Dinasti T’ang mencatat kedatangan utusan dari Kerajaan Malayu yakni pada
tahun 644/5 tentang sebab Kerajaan
Malayu tidak lagi mengirim utusan ke negeri Cina, baru diketahui dari
pernyataan I-tsing tentang nasib Kerajaan Malayu pada akhir abad ketujuh. Pada
tahun 692 I-Tsing
memberitahukan bahwa Kerajaan Malayu itu telah menjadi bagian Kerajaan Shih-li-fo-shih (Sriwijaya).
2. Dalam
perjalananya dari Sriwijaya ke Nalanda setelah menetap di Sriwijaya selama enam
bulan, I-tsing singgah di Kerajaan Malayu.
3. Pada
waktu yang hampir bersamaan pendeta Wu-hing juga berangkat dari negeri Cina ke
India melalui Sriwijaya dan Malayu. Dari pelayaran Wu-hing juga jelas bahwa
Malayu terletak di suatu tempat di Selat Malaka antara Sriwijaya dan Kedah.
4. Dalam
penyebutan negara-negara di Laut Selatan yang memeluk agama Buddha, terutama
aliran Buddha Himayana, I-tsing menyebut Kerajaan Malayu sebagai kekecualian. Negara-negara yang
bersangkutan terhitung dari
barat ialah: P’o-lu-shih, Malayu yang
sekarang menjadi bagian Sriwijaya, Shih-li-fo-shih (Sri-wijaya), Mo-ho-hsin,
Ho-ling, Tan-tan, Pen-pen, P’o-li, Chueh-lun, Fo-shih-po-lo, O-shan,
Mo-chia-man.
Dalam uraiannya tentang negara-negara di
Laut Selatan I-tsing menggunakan kata chou
artinya; daerah, negara. Dalam penyebutan negara-negara di Laut Selatan I-tsing
menyebut Malayu sebelum Shih-li-fo-shih
(Sriwijaya). Dengan kata lain Malayu terletak di sebelah barat/barat laut
Sriwijaya. Dalam uraian itu I-tsing menjelaskan bahwa Malayu terletak antara P’o-lu-shih dan Shih-li-fo-shih. Tentang lokasi
negara-negara yang disebut oleh I-tsing di atas, akan dibahas dalam bagian yang
berikut.
5. I-tsing
juga menyebut negara Malayu dalam uraiannya tentang Ch’ang-min yang berlayar
dari Ho-ling ke India. Ch’ang-min berlayar dengan kapal yang panjangnya 200
kaki dan dapat membawa penumpang 600 hingga 700 orang menuju Ho-ling. Dari sini
ia menumpang perahu ke negeri Malayu dengan maksud untuk meneruskan
pelayarannya ke India. Tetapi muatan kapal itu terlalu berat, sehingga karam
tidak jauh dari pangkalannya. Ch’ang-min meninggal.
Jalan pelayaran dari Ho-ling ke India
atau dari Cina ke India biasanya melaui selat Malaka. Demikianlah dari uraian
di atas dapat juga diambil kesimpulan bahwa Malayu terletak di suatu tempat di
Selat Malaka. Di mana letak Kerajaan Ho-ling akan dijelaskan dalam bagian
berikut.
6. I-tsing
menguraikan pelayarannya dari Tampralipti ke
Sriwijaya. Sebelum sampai di Sriwijaya, ia singgah di Malayu. Dari uraian
I-tsing di atas jelas bahwa dalam abad ketujuh Malayu memegang peranan penting
dalam lau-lintas pelayaran dari Kanton ke negara-negara di sebelah barat Selat
Malaka. Oleh karena I-tsing juga pernah berlayar dari Sriwijaya ke Malaysia,
maka Malayu juga mempunyai hubungan pelayaran dengan Sriwijaya. Dari pernyataan
I-tsing pada No. 4 di atas, Sriwijaya terletak di sebelah timur Malayu. Jadi
pelayaran dari Malayu ke Sriwijaya mengambil arah ke timur.
Letak
Sriwijaya
Lokasi Malayu
di Jambi dijadikan pegangan untuk
melokalisasikan Sriwijaya.
Keterangan geografi yang ditemukan dalam karya-karya I-tsing cukup jelas untuk
menetapkan lokasi Sriwijaya pada abad ketujuh. Sampai sekarang keterangan
geografi itu kurang mendapat perhatian, padahal keterangan geografi itu
memberikan penjelasan tentang lokasi Sriwijaya terhadap Malayu, dan berasal
dari orang yang mengenal baik tempat-tempat yang bersangkutan itu sendiri.
Hingga
sekarang toponim Shih-li-fo-shih dan toponim San-fo-tsi masih disamakan saja.
Kedua-duanya dianggap sebagai transliterasi dari nama asli Sriwijaya, sedangkan
ditinjau baik dari segi bunyi maupun dari segi kronologi, kedua kerajaan itu
berbeda, meskipun menurut keterangan geografinya kedua kerajaan itu terletak di pantai timur
Sumatera Selatan. Pelayar dan ahli geografi Arab dari abad kesepuluh sering
menyebut nama Sarbaza sebagai negara jajahan al-Zabaj, Nama Sribuza juga
disamaratakan dengan San-fo-tsi. Baru tahun 1918 G. Coedes berhasil
mengklasifikasikan nama Shih-li-fo-shih dengan nama asli Sriwijaya yang
kedapatan pada prasasti Ligor dan melokalisasikannya di Palembang. Gagasan
untuk lokalisasi Shih-li-fo-shih di Palembang berasal dari pemikiran Samuel
Beal.
Lokalisasi
Sriwijaya di Palembang tidak didasarkan atau keterangan geografi, tetapi
semata-mata bersandar kepada pemikiran Samuel Boal, yang berdasarkan rabaan.
Lokalisasi Malaiur di Palembang jelas tidak benar. Pernyataan I-tsing bahwa
Malayu juga disebut Shih-lo-fo-shih bukanlah identifikasi, karena ungkapan itu
harus ditafsirkan bahwa setelah ditundukkan oleh Shih-li-fo-shih. Dari
keterangan geografi yang diberikan oleh I-tsing Sriwijaya terletak di sebelah
timur/tenggara Malayu. Oleh karena itu kota pelabuhan Malayu ternyata terletak
di pantai timur Sumatera dan dapat diidentifikasikan dengan Jambi, maka
Sriwijaya kiranya juga terletak di pantai timur Sumatera Selatan. Jika di
Muangthai Selatan di sebelah barat Chaiya ada tempat yang kiranya dapat
diidentifikasikan dengan Malayu, baru Sriwijaya dapat dilokalisasikan di
Chaiya. Menurut keterangan geografi di sebelah timur Sriwijaya terletak
Kerajaan Mo-ho-hsin. Jika disebelah timur Chaiya di pantai timur Semenanjung
kiranya ada tempat yang dapat diidentifikasikan dengan Mo-ho-hsin, Chaiya dapat
menjadi lokasi Sriwijaya. Ternyata di sebelah timur Chaiya dapat menjadi lokasi
Sriwijaya.
Menurut
anggapan Moens, toponim Yava, Yavadvipa (laba-diou) dan Chopo mula-mula hanya
dipergunakan untuk menyebut Semenanjung Malayu. Toponim Yawadipa dalam prasasti
Canggal, 732, ialah nama kerajaan leluhur Sanjaya, yang berasal dari India
Selatan. Mula-mula ia mendirikan kerajaan di Kedah di Semenanjung Malayu,
kira-kira pada tahun 724/8 mereka diusir oleh raja Sriwijaya, kemudian
mendirikan kerajaan di Pulau Jawa. Kerajaan di Pulau Jawa itu diperintah oleh
Sanjaya. Palembang tidak pernah menjadi ibukota Kerajaan Sriwijaya, karena pada
mulanya pusat Kerajaan sriwijaya ialah di pantai timur semenanjung. Setelah berhasil
mengalahkan Palembang, ibukota kerajaan Malayu, pusat pemerintahan Sriwijaya
dipindahkan ke Sumatera Tengah di Muara Takus. Dari segi arkeologinya tidak ada
bahan yang dengan meyakinkan dapat menyekung pendapat (gak jelas) untuk
melokalisasikan Sriwijaya di daerah Muara Takus.
Pendapat
yang lain berasal dari Dr. Sukmono yang pada tahun 1954 megadakan penelitian
geomorfologi di daerah Palembang dan Jambi. Dr. Sukmono mengambil kesimpulan,
bahwa Jambi lebih tepat sebagai lokasi sriwijaya daripada Palembang.
Argumentasinya memang meyakinkan. Hasil penelitian geomorfologi itu menutup
kemungkinan Palembang sebagai lokasi Sriwijaya. Penelitian geomorfologi Dr.
Sukmono dengan tujuan untuk menetapkan lokalisasi pusat kerajaan Sriwijaya
merupakan salah satu usaha untuk memecahkan persoalan sejarah Sriwijaya. Jambi
ditetapkan sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya pada abad ketujuh. Ditambahkannya
toponim al-Zabaj dari sumber sejarah Arab dengan Muara Sabak, dan toponim
san-fo-tsi dengan Muara Tembesi di daerah Jambi untuk memperkuat lokalisasi
Sriwijaya di Jambi.
Dalam
perkembangannya Sriwijaya mengenal dua tahap. Tahap pertama meliputi jangka waktu lebih kurang satu abad yakni
sejak pembentukannya di sekitar tahun 670 sampai pertengahan abad kedelapan,
tepatnya pada tahun 742, ketika kerajaan itu dalam berita Cina disebut
Shih-li-fo-shih. Shih-li-fo-shih jelas merupakan transliterasi Cina dari nama
Sriwijaya (Sriwijay). Tahap kedua mulai pertengahan abad
kesembilan, tepatnya pada tahun 853 sampai akhir abad keempat belas, tepatnya
pada tahun 1397 ketika kerajaan itu disebut San-fo-tsi dalam berita Cina.
Uraian dari Sukmono memberi kesan seolah-olah Kerajaan Sriwijaya itu dari abad
ketujuh sampai abad keempat belas dan sejak awal perkembangannya sampai
runtuhnya hanya beribukota di satu tempat saja yakni di Jambi. Pilihan ibukota
Jambi terutama didasarkan letak pelabuhan Jambi yang sangat strategis, karena
pelabuhan itu terlalu bagus dan dapat menguasai lalu lintas pelayaran di Selat
Malaka.
Sriwijaya
yang letaknya tersisih dari lalu lintas pelayaran di Selat Malaka merenggut
Malayu untuk menguasai lalu litas pelayaran di Selat Malaka. Penundukan Malayu
berlangsung antara tahun 671 dan 685, ketika I-tsing berlayar dari Tamralipti
ke Malayu, ia terkejut melihat perubahan status Kerajaan Malayu. Setelah
ditundukkan, pelabuhan Malayu tetap berfungsi sebagai pelabuhan, namun statusnya
ialah milik Kerajaan Srwijaya, dan namanya tetap Malayu, seperti jelas
dinyatakan oleh I-tsing. Pusat Kerajaan Sriwijaya tidak lalu dipindahkan ke
Malayu, tetapi tetap di tempatnya semula. Untuk menetapkan Jambi sebagai lokasi
pusat Kerajaa Sriwijaya, Sukmono atas perintah Menteri Pendidikan, Pengajarann
dan Kebudayaan Muhammad Yamin mengadakan penelitian geomorfologi di pantai
timur Pulau Sumatera, terutama di wilayah Palembang dan Jambi.
Dari
hasil penelitian geologi Prof. Sartono dapat diketahui bahwa tiga belas abad
yang lalu dekat Palembang ada tanjung. Di tanjung itu terdapat Bukit Siguntang,
yang sekarang tingginya dua puluh enam meter. Sungai musi mengalir di sebelah
utara tanjung merupakan teluk, yang baik untuk dijadikan pelabuhan. Sumber
sejarah utama didapat dari tiga sumber prasasti yakni: prasasti Kedukan Bukit,
682, prasasti Talang Tuwo, 684, dan prasasti Telaga Batu, kira-kira 686.
Lokalisasi
Sriwijaya di Palembang pada abad ketujuh juga mendapat sokongan dari Sejarah Dinasti Ming yang serba jelas
mengatakan bahwa setelah San-fo-tsi jatuh pada tahun 1397 akibat serangan
tentara Majapahit, ibukotanya dipindahkan ke Ku-Kang artinya: sungai lama. Yang
dimaksud dengan Ku-Kang oleh orang-orang Cina hingga sekarang ialah Palembang.
Ungkpan Ku-Kang yang berarti sungai/pelabuhan lama dan diidentifikasinya dengan
Palembang memberikan saran bahwa Palembang sebelum timbulnya San-fo-tsi pada
pertengahan abad kesembilan, ialah ibukota kerajaan. Ibukota itu terletak di
muara Sungai Musi sekarang. Sebelum timbulnya San-fo-tsi, kerajaan yang ada di
pantai timur Sumatera Selatan ialah Sriwijaya. Ibukotanya juga terletak di
muara sungai, yang namanya menurut I-tsing juga sungai Sriwijaya. Demikianlah
ibukota Kerajaan Sriwijaya yang dalam akhir abad ketujuh bernama Sriwijaya oleh
I-tsing, dalam akhir abad keempat belas disebut Ku-kang atau Palembang oleh Sejarah Dinasti Ming
(Muljana, 1981: 65). Untuk lokalisasi
ibukota Kerajaan Sriwijaya dalam abad ketujuh tidak cukup hanya menerapkan satu
disiplin ilmu saja. Oleh karena itu, diperlukan
penerapan pelbagai disiplin ilmu
diantaranya ialah: geografi, geomorfologi, arkeologi, filologi dan epigrafi.
2.2 Perkembangan
Kerajaan Sriwijaya Abad ke-7
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak
kejayaan pada abad ke-7 dan ke-8. Raja yang terbesar pada masa Sriwijaya
adalah Balaputradewa. Sejak pemerintahan Darmasetu Sriwijaya membangun kerajaan
menjadi besar. Dengan armada lautnya yang kuat Sriwijaya menguasai jalur perdagangan.
Hal ini dikarenakan letaknya strategis, Sriwijaya menguasai selat Malaka,
Sunda, Semenanjung Malaka dan tanah genting sebagai pusat perdagangan, melimpahnya
hasil bumi Sriwijaya (rempah-rempah dan emas). Kejayaan Sriwijaya terlihat pada
bidang kehidupan politik kerajaan Sriwijaya dapat
ditinjau dari raja-raja yang memerintah, wilayah kekuasaan, dan hubungannya
dengan pihak luar negeri.
1.
Kehidupan Politik
a.
Raja yang memerintah
(yang terkenal)
1)
Dapunta Hyang Sri Jayanasa
Beliau merupakan pendiri
kerajaan Sriwijaya. Pada masa pemerintahannya, ia berhasil memperluas wilayah
kekuasaan sampai wilayah Jambi dengan menduduki daerah Minangatamwan yang
terletak di dekat jalur perhubungan pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
Sejak awal ia telah mencita-citakan agar Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
2)
Balaputera Dewa
Awalnya, Balaputra Dewa
adalah raja di Kerajaan Syailendra. Ketika terjadi perang saudara antara
Balaputra Dewa dan Pramodhawardani (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai Pikatan
(Dinasti Sanjaya), Balaputra Dewa mengalami kekalahan. Akibatnya ia lari ke
Kerajaan Sriwijaya, dimana Raja Dharma Setru (kakak dari ibu Raja Balaputra
Dewa) tengah berkuasa. Karena ia tak mempunyai keturunan, ia mengangkat
Balaputradewa sebagi raja.
Masa pemerintahan
Balaputradewa diperkirakan dimulai pada tahun 850 M. Sriwijaya mengalami
perkembangan pesat dengan meingkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan
rakyat. Pada masa pemerintahannya pula, Sriwijaya mengadakan hubungan dengan
Kerajaan Chola dan Benggala (Nalanda) dalam bidang pengembangan agama Buddha,
bahkan menjadi pusat penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara.
3)
Sri
SanggaramaWijayatunggawarman
Pada masa
pemerintahannya, Sriwijaya dikhianati dan diserang oleh kerajaan Chola. Sang
raja ditawan dan baru dilepaskan pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I di
Chola (Prasetyo, 2009: 102).
b.
Wilayah kekuasaan
Setelah berhasil
menguasai Palembang, ibu kota Kerajaan Sriwijaya dipindahakan dari Muara Takus
ke Palembang. Dari Palembang, Kerajaan Sriwijaya dengan mudah dapat menguasai
daerah-daerah di sekitarnya seperti Pulau Bangka yang terletak di pertemuan
jalan perdagangan internasional, Jambi Hulu yang terletak di tepi Sungai
Batanghari dan mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara). Maka dalam abad ke-7 M,
Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai kunci-kunci jalan perdagangan yang
penting seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat Malaka, dan Laut Jawa bagian
barat.
Pada abad ke-8 M,
perluasan Kerajaan Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu menduduki
Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra. Pendudukan terhadap daerah
Semenanjung Malaya bertujuan untuk menguasai daerah penghasil lada dan timah.
Sedangkan pendudukan terhadap daerah Tanah Genting Kra bertujuan untuk
menguasai lintas jalur perdagangan antara Cina dan India. Tanah Genting Kra
sering dipergunakan oleh para pedagang untuk menyeberang dari perairan Lautan
Hindia ke Laut Cina Selatan, untuk menghindari persinggahan di pusat Kerajaan
Sriwijaya.
Daerah lain yang menjadi
kekuasaan Sriwijaya diantaranyaTulang-Bawang yang terletak di daerah Lampung
dan daerah Kedah yang terletak di pantai barat Semenanjung Melayu untuk
mengembangkan usaha perdagagan dengan India. Selain itu, diketahui pula
berdasarkan berita dari China, Sriwijaya menggusur kerajaan Kaling agar dapat
mengusai pantai utara Jawa karena merupakan jalur perdagangan yang penting.
Pada akhir abad ke-8 M,
Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia
Tenggara, baik yang melalui Selat Malaka, Selat Karimata, dan Tanah Genting
Kra.
Dengan kekuasaan wilayah
itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan laut terbesar di seluruh Asia
Tenggara.
c.
Hubungan dengan luar
negeri
Kerajaan Sriwijaya
menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di luar wilayah Indonesia,
terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan
Pala/Nalanda di Benggala. Raja Nalanda, Dewapala Dewa menghadiahi sebidang
tanah untuk pembuatan asrama bagi pelajar dari nusantara yang ingin menjadi
‘dharma’ yang dibiayai oleh Balaputradewa.
2.
Kehidupan Sosial
Letaknya yang strategis,
membuat perkembangan perdagangan internasional di Sriwijaya sangat baik. Dengan
banyaknya pedagang yang singgah di Sriwijaya memungkinkan masyarakatnya
berkomunikasi dengan mereka, sehingga dapat mengembangkan kemampuan
berkomunikasi masyarakat Sriwijaya. Kemungkinan bahasa Melayu Kuno telah
digunakan sebagai bahasa pengantar terutama dengan para pedagang dari Jawa
Barat, Bangka, Jambi dan Semenanjung Malaysia. Perdagangan internasional ini
juga membuat kecenderungan masyarakat menjadi terbuka akan berbagai pengaruh
dan budaya asing, salah satunya India.
Budaya India yang masuk
berupa penggunaan nama-nama khas India, adat istiadat, dan juga agama
Hindu-Buddha. I-tsing menerangkan bahwa banyak pendeta yang datang ke Sriwijaya
untuk belajar bahasa Sanskerta dan menyalin kitab kitab suci agama Buddha. Guru
besar yang sangat terkenal di massa itu adalah Sakyakirti yang mengarang buku
Hastadandasastra (Kurnia&Irfan, 1983: 96).
3.
Kehidupan Ekonomi
Pada awalnya kehidupan ekonomi
masyarakat Sriwijaya bertumpu pada bidang pertanian. Namun dikarenakan letaknya
yang strategis, yaitu di persimpangan jalur perdagangan internasional, membuat
hasil bumi menjadi modal utama untuk memulai kegiatan perdagangan dan
pelayaran.
Karena letak yang
strategis pula, para pedagang China yang akan ke India bongkarmuat di
Sriwijaya, dan begitu juga dengan pedagang India yang akan ke China. Dengan
demikian pelabuhan Sriwijaya semakin ramai hingga Sriwijaya menjadi pusat
perdagangan se-Asia Tenggara. Perairan di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat
Sunda, dan Laut Jawa berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
4.
Kehidupan Agama
Kehidupan agama
masyarakat Sriwijaya dipengaruhi oleh datangnya pedagang India. Pertama adalah
agama Hindu, kemudian agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya
pada tahun 425 Masehi. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi
sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha, khususnya
aliran Mahayana. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana juga turut
berkembang di Sriwijaya. Nama Dharmapala dan Sakyakirti pun tak asing lagi.
Dharmapala adalah seorang guru besar agama Budha dari Kerajaan Sriwijaya. Ia
pernah mengajar agama Budha di Perguruan Tinggi Nalanda (Benggala). Sedangkan
Sakyakirti adalah guru besar juga. Ia mengarang buku Hastadandasastra (Muljana:
2008: 36).
Sangat dimungkinkan
bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia
Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur
Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya,
kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak,
disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Bukti-bukti
kebenaran adanya kerajaan Sriwijaya salah satunya ditemukan prasasti-prasasti. Pertama, prasasti Kedukan Bukit (682 M). Prasasti ini ditemukan di kedukan
bukit di tepi Sungai Tatang dekat Palembang. Isinya menceritakan bahwa pada
tahun 682 M ada seorang yang bernama Dapunta Hiyang mengadakan perjanjian suci
dengan membawa 20.000 tentara, berangkat dari Minanggatamwan dengan naik perahu
sedangkan sebagian tentara lewat jalan darat. Datang di Melayu dan
akhirnya kota Sriwijaya. Kedua, Prasasti Talang Tuo (684 M) Prasasti ini
ditemukan di Talang Tuo dekat Palembang. Isinya menyebutkan bahwa atas perintah
Dapunta Hiyang telah dibuat taman yang disebut Sriksetra untuk kemakmuran semua
makhluk. Disamping itu juga ada doa-doa yang bersifat Budha Mahayana. Ketiga,
Prasasti Palas Pasemah, prasasti ini ditemukan di Lampung selatan. Isinya
menebutkan bahwa daerah Lampung selatan saat ini sudah di duduki Sriwijaya.
Keempat, Prasasti Kota Kapur, prasasti ini di temukan di Bangka. Isinya yaitu
tentang permohonan kepada dewa agar menjaga keamanan dan keselamatan bagi
kerajaan Sriwijaya. Dalam parasasti ini juga dijelaskan bahwa keras
memperluas kekuasaanya. Kelima, prasasti Rajendra Cola. Prasasti ini
menceritakan masa keruntuhan Sriwijaya. Prasasti ini ada di India bagian
selatan. Keenam, Prasasti Karang Berahi, prasasti ini ditemukan di Jambi.
Isinya hampir sama dengan Prasasti Kota Kapur.
Masa
Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya
Pad
abad ke-11 M sampai abad ke-13, ibukota Sriwijaya berpindah dari Palembang ke
Jambi. Sumber-sumber sejarah menyebutkan dalam bad ke-14, Sriwijaya sudah tidak
disebutkan lagi, kecuali Malayu sebagi tempat bertahannya kebudayaan Hindu (Hall
dalam Hamid, 2013: 63). Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan disebabkan oleh
beberapa Faktor.
a. Penyerangan Kerajaan Cola
Penyerangan
Kerajaan Cōla pada tahun 1025 Masehi. Prasasti Rājendracōla dari Tañjore
(1030/1031 Masehi) menyebutkan:
"(Rājendra)
setelah mengirim banyak kapal ditengah laut
bergelombang
dan setelah menawan Sańgramavijayottuńgavarman,
Raja
Kadaram, bersama dengan gajah-gajah dalam pasukannya yang
perkasa
(mengambil) tumpukan besar harta benda berharga, yang
telah
dikumpulkan secara benar (oleh raja itu) dicekam oleh bunyi
ribut
Vidhyadharatorana di pintu gerbang ibukotanya yang luas,
Śrīwijaya,
dengan pintu gerbang kecil bertatahkan permata sangat
indah, dan
pintu gerbang besar penuh permata; Pannai dengan air di
kolam mandi;
Malaiyur dengan bukit yang kuat dengan bentengnya;
Mayirudingam
yang dikelilingi laut dalam seperti oleh parit;
Ilangkasokam
yang sangat berani dalam peperangan yang kejam;
Mappapalam
penuh dengan air sebagai pertahanannya;
Mevilimbangan
dijaga oleh tembok-tembok yang indah; Valaippanduru
.....;
Talaittakkolam .....; Tamralingga yang mampu untuk
melakukan
tindakan kuat dalam peperangan yang berbahaya;
Ilamuridesam
kekuatannya yang dahsyat; Manakkavaram....; dan Kadaram
yang
kekuatannya dahsyat, yang dilindungi oleh lautan
dalam"
Di antara tempat-tempat yang disebutkan,
yaitu Sriwijaya,
Pannai, Malaiyur dan Ilamuridesam,
berada di wilayah Sumatera. Sriwijaya adalah Kadatuan Sriwijaya
yang lokasinya di Palembang (di sekitar Sungai Musi), Pannai adalah Kerajaan
Pannai yang lokasinya ada di wilayah Sumatera Utara (di sekitar Sungai
Barumun, Batang Pane, dan Sungai Sirumambe), Malaiyur adalah Kerajaan
Mālayu yang lokasinya di wilayah Jambi dan Sumatera Barat (di sekitar
Batanghari), dan Ilamuridesam
adalah Kerajaan Lamuri di Aceh. Beberapa
pakar beranggapan bahwa raja-raja Cōla sering menjalin kerjasama dengan para
saudagar Tamil yang telah mulai masuk ke daerah Asia Tenggara dan Tiongkok.
Akibat dari kerjasama ini para penguasa Cōla bertindak sebagai pelindung dari
para saudagar Tamil ini. Oleh sebab itu, mengapa Rajendracōla memerintahkan
pasukannya untuk menyerang daerah-daerah tersebut, diduga karena alasan
ekonomi. Mungkin pajak añcu-tunt-āyam yang ditarik
dari para nahkoda kapal dan kēvi dipakai sebagai upeti
dengan imbalan keamanan para saudagar selama di laut. Dengan membayar
pajak/upeti ini Rājendracōla “berkewajiban” melindungi para saudagar/pelaut
Tamil, kapal dan muatannya yang beroperasi di sepanjang jalur
perdagangan/pelayaran.
Seperti telah diketahui, wilayah Selat
Melaka dikuasai oleh Sriwijaya. Setiap kapal niaga yang melalui selat tersebut
harus membayar cukai kepada penguasa selat yang pada masa itu adalah Sriwijaya.
Dalam kasusnya dengan Kerajaan Cōla, Śrīwijaya mungkin mengutip cukai terlampau
tinggi terhadap saudagar Tamil yang melewati Selat Melaka. Akibatnya, Kerajaan
Cōla yang melindungi para saudagar Tamil ini mengambil tindakan dengan
menyerang Sriwijaya. Setelah serangan tahun 1025 tersebut, Sriwijaya tidak lagi
menguasai Selat Melaka seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Selain menyerang
Sriwijaya, Kerajaan Cōla juga menyerang beberapa kerajaan lain di sekitar selat
dan juga di kawasan Asia Tenggara (Budi U, 2008: 118). Akibatnya, ibukota
Sriwijaya dipindahkan ke Jambi. Sejak saat itulh pengruh Cola di Selat Malaka
cukup kuat sampai lima puluh tahun berikutnya dalam abad ke-11 (Dick Read dalam
Hamid, 2013: 64).
b. Perkembangan
Politik di Jawa
Perdagangan yang semula berada di bawah
pengawasan Sriwijaya, perlahan menjadi pudar. Peluang itu diambil alih oleh
sebuah kerajaan di Jawa Timur, yaitu Majapahit. Selain mengontrol lalu lintas
perdagangan di Laut Jawa, hegemoni Majapahit juga mencakup kawasan Semenanjung
Melayu yang semula merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya. Dengan demikian, penguasaan
atas laut dan perdagangan merupakan aspek penting yang mempengaruhi
kelangsungan imperium laut awal Nusantara, Sriwijaya. Runtuhnya Sriwijaya
menandai babak akhir imperium matritim Melayu (Hamid, 2013: 65). Dalam kakawin Nagarakertagama disebutkan
beberapa negara yang berada di bawah pengaruh Majapahit. Hampir seluruh daerah
dan kerajaan di Sumatera berada di bawah pengaruh Majapahit, lebih lagi
Kerajaan Mālayu pada masa pemerintahan Ādityawarmman (sekitar pertengahan
hingga akhir abad ke-14 Masehi). Pada waktu itu nama dan eksistensi Kerajaan Sriwijaya
sudah tidak terdengar lagi (Budi U, 2008: 119).
c. Pendangkalan sungai Musi dan
menjauhnya garis pantai
Sebab yang satu juga merupakan factor kuat runtuhnya
Sriwijaya. Penjelasannya seperti yang dipaparkan Daljoeni berikut ini. Daerah
Sumatera ini merupakan daerah yang curah hujannya melebihi penguapannya. Hal
ini mengakibatkan derasnya hujan membuat air meresap terlalu dalam hingga tidak
dapat dijangkau oleh akar tumbuhan sekaligus melarutkan bahan-bahan kesuburan
tanah. Akibatnya tanahnya tandus, yang kemudian oleh Soebantardjo disebut
pemiskinan tanah secara kimiawi. Selain itu, sebagain air hujan yang tidak ikut
meresap ke dalam tanah tetapi mengalir di atsas permukaan tanah yang kemudian
masuk ke sungai-sungai. Topsoil berisi humus menjadi hanyut sehingga daerah
tersebut tidak subur. Bagian yang kedua ini disebut pencucian tanah secara
fisis dan menurut Soebantardjo pencucian inilah yang terjadi pada wilayah pusat
kerajaan Sriwijaya.
Peristiwa alam ini seolah menjadi vonis bahwa Sriwijaya tidak
bisa berkutik lagi. Sriwijaya juga bukan Negara agraris yang memiliki pasokan
makanan sendiri. Seperti yamg diketahui ketahui bahwa untuk memenuhi kebutuhan
beras, kerajaan ini mengimpor dari pedalaman dan Jawa. Dengan demikian posisi
Sriwijaya semakin tidak menentu. Belum lagi Sriwijaya harus menghadapi serangan
dari kerajaan lain.
Ada pula sebab lain yakni masih berkaitan dengan air, terjadinya
pendangkalan sungai Musi dan menjauhnya garis pantai yang berakibat tertutupnya
akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan
kerajaan. Komoditas berharga dan sumber pangan yang semula datang dengan mudah
menjadi terhambat dan berhenti.
2.3 Keterkaitan
Lingkungan Geografis Dengan Perkembangan Kerajaan Sriwijaya Abad Ke-7
Kerajaan
Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai yang kekuatan ekonominya
bertumpu pada perdagangan internasional. Sriwijaya tumbuh dan berkembang
menjadi pusat perdagangan di wilayah Indonesia Barat terutama setelah berhasil
menguasai dan mengamankan jalur perdagangan di sekitar Selat Malaka (Iskandar.
M, 2005: 176). Letak geografis
Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka mempengaruhi perkembangan Kerajaan Sriwijaya
dalam penguasaannya sebagai kerajaan berbasis perdagangan di selat tersebut. Coedes
1918 dalam Wolters (2011: 19), bahwa kekuasaan dan kemakmuran kerajaan ini
disebabkan penguasaannya atas Selat Malaka, yang merupakan jalur laut terkenal
dalam sejarah perdagangan. Kondisi
seperti itu memunculkan kekuatan Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim
dengan melakukan ekspansi politik ke sekitarnya sampai wilayah Bhumi Jawa tau
pulau Jawa, kemungkinan kerajaan Tarumanegara, guna mengawasi perdagangan di
perairan Selat Malaka demi keberlangsungan kehidupan ekonomi kerajaan.
Lingkungan geografis Kerajaan Sriwijaya yang berada di perairan Selat Malaka
menjelaskan variasi budaya dengan mengacu kepada penggunaan faktor lingkungan
sebagai penjelasan mekanisme interaksi yang mempengaruhi jatuh bangunnya
Kerajaan Sriwijaya (Kaplan & Manners,2012:104).
Pernyataan
diatas diperkuat pula dari teori Ekologi Budaya yang dikemukakan oleh Jullian
H.Steward, Vayda, dan Roy Rappaport lokasi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka
mempengaruhi unsur tertentu dari kebudayaan terutama inti kebudayaan membentuk
konfigurasi budaya seperti teknologi dan religi yakni tertampak pada Sriwijaya
yang berada di jalur perdagangan internasional sudah memiliki hubungan dagang
dengan negara lain pada pelabuhannya yang disinggahi oleh pedagang asing itu
sehingga Raja Sriwijaya membangun atau memindahkan pusat kota ke pesisir pantai
yang dibentuk menyesuaikan kondisi geografisnya yang berada di Selat Malaka.
Uraian
di atas memberikan informasi yang kuat tentang pentingnya Selat Malaka terhadap
kegiatan perdagangan Sriwijaya dengan kerajaan-kerajaan di luar Nusantara
seperti India dan Persia. Keberadaan Selat Malaka menjadi tonggak kejayaan dan
kemakmuran Sriwijaya. Lebih dalam lagi, dilihat dari segi letak seluruh
kekuasaan Sriwijaya sangat menguntungkan bagi jalannya perdagangan
Internasional. Pulau Sumatera merupakan sebagian besar dari kekuasaan Sriwijaya
dan bahkan letak dari pusat kerajaan. Meskipun masih terjadi perdebatan yang
belum kunjung menemukan titik terang dikalangan sejarawan terkait letak pasti
pusat kerajaan Sriwijaya, namun dari temuan-temuan arkeologi dan
berita-berita yang berasal dari Cina menjadi acuan untuk menetapkan wilayah
Sumatera khususnya Palembang dan Jambi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya.
Sumatera
merupakan salah satu pulau terbesar dan terluas di Indonesia bagian barat yang
letaknya terdekat dengan daratan Asia Tenggara. Antara Sumatera dan Semenanjung
Tanah Melayu, suatu jazirah yang merupakan bagian dari daratan Asia Tenggara,
hanya terdapat sebuah selat yang tidak lebar yaitu Selat Malaka. Kedudukan
Geografis ini merupakan suatu faktor yang besar pengaruhnya pada sejarah yang
dialami oleh pulau tersebut (Kartodirjo, Poesponegoro, & Notosusanto, 1975:
66). Pelayaran ke Timur Jauh, semua kapal menuju pelabuhan Sumatera yang
terletak agak ke Selatan Malaka dan tidak melewati jalur dekat Cina yang
melintasi sekitar Singapura modern sekarang. Dugaan kuat bahwa Selat Malaka
yang memberikan pintu jalan ke Nusantara dari India pada abad-abad awal masehi
(Wolters, 2011: 20).
Pesatnya
perdagangan yang hebat di Nusantara bagian barat sepanjang pertengahan pertama
abad ke-7 bukan semata-mata disebabkan para penghasil produk lokal mendapatkan
kesempatan pasar luar biasa. Pasti terdapat keuntungan-keuntungan lain yang
didapat dari perdgangan transit terkait barang-barang di Samudera Hindia.
Beberapa utusan dari India telah datang pada periode ini (Wolters, 2011: 287)
Dapat
disimpulkan bahwa dari segi geografis penguasaan seluruh wilayah Sumatera oleh
kerajaan Sriwijaya sangat menguntungkan. Pelayaran yang dilakukan oleh India
dan Persia ke wilayah Timur Jauh harus melewati Selat Malaka. Begitu juga
pelayaran yang dimaksudkan untuk berdagang dengan wilayah Nusantara maupun Cina
harus melewati Selat Malaka pula. Sudah barang tentu, keuntungan dari segi
geografis yang dimiliki oleh Sriwijaya akan membawa pada kejayaan bagi kerajaan
dan juga menjadi pusat perdagangan Internasionl bagi wilayah Nusantara. Semakin
ramai perdagangan yang melintasi wilayah Selat Malaka akan mempengaruhi
perkembangan pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya. Pelabuhan yang semakin ramai
menjadi tonggak kemakmuran kerajaan, karena banyak keuntungan yang di peroleh
dari kegiatan perdagangan internasional tersebut.
Dari segi keadaan geografis, pantai tenggara
Sumatera tidak terlalu membanggakan, kecuali keberadaan pelabuhan-pelabuhannya,
tempat-tempat berlabuh yang aman, dan jaringan sungai-sungai yang
memungkinkannya berhubungan dengan daerah pedalaman. Hamparan paya-payanya yang
jauh masuk kedalam juga memberikan perlindungan terhadap serangan dari dalam
(Wolters, 2011: 268). Kondisi geografis yang disajikan oleh pelabuhan-pelabuhan
Sriwijaya yang terletak di pantai tenggara Sumatera memberikan kenyamanan bagi
para pelaut yang singgah di wilayah ini. Kenyamanan dan keamanan yang
disediakan oleh alam ini memberikan kesan yang baik bagi para pelaut yang
singgah. Uraian tersebut merupakan salah satu alasan ramainya perdagangan di
wilayah jalur laut Sriwijaya dan menjadi pusat perdgangan Internasional di
Nusantara.
Abad
ke-5 dan ke-6 merupakan masa penting untuk hubungan perdagangan Samudera Hindia
dan Cina, yaitu pada waktu dinasti-dinasti Cina selatan memerlukan hasil Bumi
dan olahan Asia Barat. Hal ini telah meningkatkan kepeseatan perdagangan laut
antar Asia. Pada zaman Sriwijaya, pantai di Malaka terus berperan sebagai
penghubung antara Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan, sedangkan Selat Malaka
tetap merupakan bagian dari perjalanan menuju Sumatera Selatan (Wolters, 2011:
269)
Seperti
yang telah dijelaskan pada uraian-uraian sebelumnya, letak wilayah kekuasaan
Sriwijaya yang sangat strategis mendorong kerajaan tersebut memusatkan
perhatiannya dalam memajukan kehidupan maritimnya. Semakin pesatnya laju
perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya lambat laun membawa kejayaan bagi
Sriwijaya dan menjadikan kerajaan ini sebagai kerajaan maritim terbesar di
wilayah Asia Tenggara. Jelas sekali telah di uaraikan bagaimana dampak dari
letak geografis kekuasaan Sriwijaya sangat memberikan keuntungan terutama sekali dalam bidang
pelayaran dan perdagangan Internasional.
Kekuatan
Pertahanan
Keuntungan
geografis yang diperoleh Sriwijaya melanggengkan penguasaannya atas jalur
dagang laut di wilayah Asia Tenggara. Tentunya dengan wilayah kekuasaan yang
sangat strategis jika di nilai dari segi geografis, tidak begitu saja mengalami
kemakmuran tanpa adanya penguasaan khusus terhadap jalur laut itu sendiri oleh
penguasa. Kondisi geografis yang sangat menguntungkan ini mengharuskan raja sedapat
mungkin untuk menguasai secara penuh wilayah yang dikuasainya. Menurut Van Leur
(1967) dalam Iskandar (2005: 176), pada masa kuno pengaruh raja sebagai kepala
negara dalam dunia perdagangan cukup besar, mereka bertindak sebagai pengontrol
keamanan, penarik pajak, dan pemegang saham.
Sebagai
kerajaan maritim terkuat di Asia Tenggara, Sriwijaya telah mendasarkan politik
kerajaannya pada penguasaan jalur pelayaran dan jalur perdagangan serta
menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan
lautnya. Angkatan laut kerajaan Sriwijaya umumnya telah ditempatkan di berbagai
pangkalan strategis dan mendapatkan tugas utama mengawasi, melindungi
kapal-kapal dagang yang berlabuh, memungut bea cukai, serta mencegah terjadinya
pelanggaran laut di wilayah kedaulatan dan kekuasaannya (Pramono. D, 2005: 5)
Dengan
wilayah kekuasaan yang cukup luas dan pemusatannya pada jalur pelayaran
mengharuskan Sriwijaya memiliki sebuah kesatuan prajurit yang kokoh untuk
mengamankan wilayahnya. Armada yang disiapkan sudah barang tentu lebih terpusat
pada kesatuan kelautan. Armada yang kuat tersebut menjadi alat politik bagi
penguasa Sriwijaya dengan mengacu pada pemusatan pemerintahan pada bidang
kemaritiman dan kondisi geografis wilayah kekuasaannya.
Menurut Muljana
(1781: 79) dari prasasti Kedukan Bukit, ketika Sriwijaya masih merupakan negar
kecil, Sriwijaya pada tahun 682 telah mempunyai tentara sebesar dua puluh ribu
orang lebih. Dapat dibayangkan berapa besar tentara Sriwijaya pada akhir abad
ketujuh setelah kerajaan itu meliputi wilayah yang terbentang dari Kedah sampai
Taruma di Jawa Barat dan dari Malayu sampai Ligor di pantai timur Semenanjung
Malayu. Untuk mengawasi negara-negara bawahan itu Sriwijaya memerlukan banyak
kapal perang yang masing-masing dapat mengangkut beberapa ribu prajurit dan
dapat bergerak cepat.
Sriwijaya
memperkuat kontrol atas wilayah kekuasaannya di laut, dengan memanfaatkan
sumber daya manusia yang kuat dan berpengalaman di laut, baik sebagai
pengembara maupun bajak laut, melalui hubungan kerjasama saling menguntungkan.
Raja memberikan upeti dari hasil pajak yang ditarik dari kegiatan perdagangan
dan kapal-kapal yang singgah (Munoz dalam Hamid, 2013: 55).
Menurut Dick
Read dalam Hamid (2013: 55) Raja
Sriwijaya memanfaatkan orang laut, dengan sejumlah perahu mereka, di sepanjang
pesisir di Kepulauan Riau di pintu masuk Selat Malaka, untuk menyerang
target-target mereka di kawasan tersebut. Orang Bajau atau Bajo di Nusantara
yang sejak dulu dikenal sebagai pengembara laut yang handal memiliki potensi
lebih baik untuk menjadi angkatanlaut Sriwijaya. Orang Bajo ini mendiami
daerah-daerah muara sungai dan hutan bakau di pantai timur Pulau Sumatera,
Kepulauan Riau-Lingga, dan pantai barat Semenanjung Tanah Melayu sampai ke Muangthai
selatan, serta muara-muara sungai di Kalimantan.
Mereka hidup di rumah-rumah di atas perahu
menjadikan mereka ‘orang laut’ dalam arti yang sesungguhnya (Budi U, 2008: 95).
Kehadiran orang laut di muara sungai besar dan di selat yang merupakan alur
pelayaran memberi kepada Sriwijaya suatu sarana pertahanan dan pengawasan laut
yang cukup tangguh, sehingga penguasaan perairan dapat dilaksanakan dengan
baik.
Politik
Perluasan Wilayah
Pada tahun 671
ketika I-tsing berkunjung pertama kalinya ke Sriwijaya, negara ini dalam bidang
kesehjateraan rakyat jauh ketinggalan dengan Malayu, karena letaknya tersisih
dari lalu lintas pelayaran di Selat Malaka. Pada waktu itu lalu lintas
perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka dikuasai sepenuhnya oleh pelabuhan
Malayu. Salah satu jalan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat bagi Sriwijaya
ialah menguasai lalu lintas perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka. Itulah
kiranya salah satu sebab mengapa Sriwijaya merenggut Malayu (Muljana, 1981:
68).
Penundukan
Kerajaan Malayu bukan satu-satunya, karena Sriwijaya juga menerapkan politik
perluasan wilayah terhadap negara tetangganya. Hal tersebut dilakukan sebagai
pengamanan negara Sriwijaya dan perluasan kekuasaannya. Bangka merupakan daerah
pertama yang ditundukkan, karena Bangka paling dekat letaknya dengan Sriwijaya
dan strategis. Akhirnya, Sriwijaya berhasil menaklukkan keseluruhan negara
Bangka termasuk penguasaan terhadap Selat Bangka, sehingga secara otomatis juga
menguasai lalu lintas pelayarannya. Penundukan Bangka tersebut benar adanya,
terbukti dari piagam persumpahan Kota Kapur, dari piagam tersebut secara tidak
langsung juga menjelaskan bahwa penaklukkan negara Bangka dilakukan sebelum penundukan
Malayu.
Politik
perluasan wilayah Sriwijaya setelah menundukkan Bangka yakni Kerajaan Malayu.
Penguasan lalu lintas perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka merupakan motif
yang paling kuat untuk penundukkan Malayu oleh Sriwijaya. Setelah menguasai
sepenuhnya Malayu tetap berfungsi sebagai pelabuhan, namun statusnya menjadi
negara bawahan Sriwijaya. Penundukan tersebut berkisar ditahun 672-682, kerena
dalam prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Sriwijaya menyerbu dan melakukan
penundukan daerah Minanga yang letaknya di sebelah barat laut Malayu.
Menurut
J.L Moens dalam Muljana (1981: 70) prasasti Kedukan Bukit dimaksudkan untuk
memperingati kemenangan Sriwijaya terhadap Malayu. Oleh karena Moens yakin
bahwa ibukota Kerajaan malayu ialah Palembang, maka kemenangan Sriwijaya
terhadap Malayu ditafsirkan sebagai penguasaan Palembang oleh Sriwijaya.
Sesudah menguasai Pelmbang, Sriwijaya yang semula berpusat di pantai timur
Semenanjung pindah ke pantai timur Sumatera, tidak di Pelembang tetapi di Muara
Takus yang berkisar antara tahun 683-685. Seandainya memang benar bahwa
Palembang itu pusat Kerajaan Malayu, maka Palembang itu identik dengan Minanga
Tamvan. Namun, kesulitannya terletak pada mengidentifikasi lokalisasi Minanga
Tamvan.
Menurut Muljana
(1981: 73) ada kemungkinan bahwa Tamvan
merupakan kata biasa. Bunyi v/w dalam bahasa Melayu kuno sama dengan bunyi b,
misalnya vulan=bulan. Kata tamva juga terdapat pada prasasti Telaga
Batu. Sehingga, prasasti Kedukan Bukit bukan satu-satunya yang memuat kata tamva. Jadi kalimat itu berhenti pada
kata Minanga, yang kemungkinan daerah
yang dimaksud Binanga di tepi Sungai Barumun. Dapat diperkirakan bahwa tiga
belas abad yang lalu Binanga terletak di tepi pantai, di muara Sungai barumun
karena tanah kota Binanga samapai garis pantai merupakan tanah muda hasil
endapan sungai-sungai yang mengalir di daerah itu. Jika memang demikian,
berarti Kota Binanga dikuasai Sriwijaya tahun 682, penguasaan daerah tersebut
dilakukan dengan pertimbangan bahwa tempat itu terletak di tengah pelayaran
antara Malayu dan Kedah. Sungai Barumun sendiri menghubungkan daerah pedalaman
Sumatera Utara dengan Pantai Laut. Maka dari itu, Binanga baik untuk dijadikan
pelabuhan karena letaknya di teluk Balay yang menguasai hasil bumi padalam
Sumatera Utara untuk pasaran Internasional.
Setelah
menundukkan Minanga, tentara Sriwijaya bergerak ke arah utara menuju pantai
barat Semenanjung untuk menundukkan Kedah. Kedah merupakan pusat lalu lintas
pelayaran di Selat Malaka di ujung utara. Perahu-perahu yang berlayar dari
Srilangka dan dari Tamralipti di Teluk Bengal, sebelum masuk Selat Malaka,
singgah di Kedah terlebih dahulu begitupun sebaliknya. Dengan penguasaan atas
Kedah dan Malayu serta Binanga, Sriwijaya menguasai sepenuhnya lalu lintas
pelayaran Selat Malaka.
Tahun 686
tentara Sriwijaya melakukan penyerbuan ke Bhumi Jawa sebagaimana diuraikan
dalam prasasti Kota Kapur. Namun sebelumnya, Sriwijaya telah melakukan
penaklukkan Kerajaan Tulang Bawang di Muara Sungai Tulang bawang di Wilayah
Lampung, dibuktikan dengan adanya Prasasti persumpahan di Palas Pasemah. Bhumi
Jawa ditafsirkan Pulu Jawa, negara yang paling dekat letaknya dengan Sriwijaya
ialah Tarumanegara, terbukti dengan Prasasti berbahasa Melayu di daerah Bogor.
Ekspedisi tersebut berhasil gemilang (Muljana, 1981: 74-77). Politik perluasan
wilayah juga diterapkan oleh Sriwijaya di pantai timur Semenanjung sampai di
Ligor. Di tempat ini juga ditemukan prasasti yang berangka tahun 775. Untuk
pelayaran dan perdagangan Ligor (Sitamarat) merupakan tempat yang strategis.
Setiap perahu yang berlayar dari Kanton ke Selat Malaka dan kebalikannya
singggah di Ligor.
Penundukan
negara-negara yang dilakukan oleh Sriwijaya, membuat Sriwijaya muncul sebagai
kekuasaan besar di Asia Tenggara yang disegani oleh negara-negara tetangga.
Dalam waktu beberapa puluh tahun saja, negara Sriwijaya yang semula tersisih
dari lalu lintas pelayaran di Selat Malaka dan merupakan negara kecil, telah
berubah menjadi negara maritime yang kuat. Dan setelah merebut Malayu dan Kedah,
Sriwijaya sepenuhnya menguasai lalu lintas perdagangan dan pelayaran dari
negara-negara barat ke Kanton dan sebaliknya, karena perahu-perahu asing itu
semuanya berlayar melalui Selat Malaka yang telah dikuasai oleh Sriwijaya.
Budaya
berlayar
Kondisi geografis Nusantara meliputi berbagai
macam pulau-pulau dari yang besar hingga yang kecil. Keadaan seperti ini juga
berlaku untuk wilayah Nusantara bagian barat yang sejak awal abad ke-7 telah
dikuasai oleh Sriwijaya, begitu juga jalur pelayaran dan perdagangannya menuju
Cina maupun Nusantara sendiri. Kondisi geografis yang meliputi pulau-pulau menumbuhkan suatu budaya berlayar bagi
masyarakat Nusantara untuk dapat melakukan aktifitas dengan masyarakat diluar
pulau. Sejak abad-abad awal tarikh masehi, pelaut-pelaut dari melayu merupakan
golongan penghubung yang menghubungkan pedagang-pedagang dari India menuju
Cina. Catatan-catatan Cina mencatat tentang kehadiran kapal-kapal Melayu di
pelabuhan-pelabuhan tenggara Cina pada abad pertama dan kedua Masehi (Halimi,
2008: 18).
Sriwijaya
tumbuh sebagai kerajaan
yang sangat mengandalkan kehidupan maritim tidak akan pernah bisa besar tanpa
sekelompok masyarakat yang handal dalam berlayar. Bukan perkara gampang untuk
dapat mengarungi jalur laut wilayah kekuasaan Sriwijaya. Seorang pelaut yang
handal diperlukan untuk dapat selamat dalam pelayaran. Jalur laut yang dikuasai
oleh Sriwijaya, secara geografis sangat mengandalkan kekuatan angin musim.
Sudah barang tentu tumbuh para pelaut yang handal yang membawa Sriwijaya
berinteraksi dengan kerajaan di luar Nusantara.
Seorang
ahli geografi pernah bertanya mengapa Sriwijaya di Sumatera Selatan dapat
menjadi pusat perdagangan yang begitu penting. Menurutnya letak negeri itu
berada di luar jalur perdagangan yang utama antara India dan Cina. Secara
geografi Palembang dan Jambi sudah pasti terletak agak keselatan selat, tetapi
pelabuhan-pelabuhan itu menjadi makmur bukan karena letak geografis semata,
namun penduduknya yang pergi berlayar. Masuknya Jambi dan Palembang ke jalur
perdagangan menuju Cina bagi seorang ahli geografi kelihatan sebagai
pemanjangan perjalanan yang tidak wajar. Namun para pelaut dari abad ke-9 tidak
sejalan dengan pendapat itu. Mereka menganggap pantai ini tidak terlalu jauh ke
selatan dengan selat Malaka, tetapi dekat dengan Cina (Wolters, 2011: 269).
Kondisi
geografis yang mempengaruhi kehidupan kemaritiman Sriwijaya juga menumbuhkan
suatu masyarakat pelayar. Jauh sebelum Sriwijaya muncul sebagai kerajaan besar,
budaya berlayar sudah ada sejak tarikh pertama masehi untuk penghubung pelayar
dari India dengan berbagai kepentingannya menuju ke Cina. Sriwijaya yang muncul
sekitar abad ke-7 Masehi, sudah barang tentu telah mewarisi budaya tersebut dan
mengantarkan kemakmuran bagi masyarakat Sriwijaya yang juga berperan serta
dalam kemajuan perdagangan di wilayah kekuasaan Sriwijaya.
Perluasaan
Tanah di Pusat Kerajaan (Palembang dan Jambi)
Coedes
1918 dalam Soekmono. R (1972: 28) menyatakan bahwa pusat kerajaan Sriwijaya
terletak di Palembang. Pendapat Coedes menemui banyak penolakan dari para ahli
sejarah. salah satu ahli yang menolak teori Coedes yaitu Moens. Moens, dalam
(8-9) mengugkapkan pendapatnya
berdasarkan pengetahuan geografi dari Cina dan Arab, Sriwijaya tidak pernah
berpusat di Palembang. Pada mulanya, pusat kerajaan itu terletak di pantai
timur Malaya, kemudian berpindah ke Sumatera Tengah dekat Muara Takus. Soekmono
dalam (Poesponegoro. M., D. & Notosusanto. N, 2008: 104) menentang Pendapat
Moens dengan pernyataan teorinya bahwa dari segi Arkeologinya tidak ada bahan
yang dapat meyakinkan dapat menyokong pendapat Moens. Menurutnya letak pusat
kerajaan Sriwijaya berada di garis katulistiwa yang di duga kuat berada di
Jambi.
Meskipun
sampai saat ini masih terjadi perbedaan pendapat diantara kalangan sejarawan
tentang lokasi pusat kerajaan Sriwijaya, berpedoman dengan temuan-temuan
arkelogi dan berita-berita dari Cina dapatlah di perkuat bahwa letak pusat
Sriwijaya berada di sekitar Palembang dan Jambi. Suatu kajian yang penting yang
harus dikekmukakan yaitu tentang pengkajian geografis letak garis pantai
Palembang dan Jambi. Sebagai wilayah yang di duga kuat sebagai letak pusat
Kerajaan Sriwijaya sangat penting kiranya dilakukan kajian geografis untuk
mengetahui perkembangan wilayah ini.
Palembang
dan Jambi terletak di tepi laut, Palembang pada ujung jazirah yang berpangkal
di sekayu, dan Jambi pada sebauah teluk yang menjorok kedalam sampai di Muara
Tambesi. Pelebaran pantai baru di mulai pada awal tarikh Masehi, akibat
pengendapan yang begitu signifikan dari Sungai Musi yang membawa endapan lumpur
dari daerah pedalam. Selama tujuh abad lamanya wilayah Palembang dan Jambi
mengalami perubahan yang sangat signifikan (Soekmono. R, 1972: 31-34)
Teori
diatas diperkuat dengan penelitian yang telah dilakukan di Situs Karanganyar.
Situs Karanganyar terletak pada dataran alluvial bertanah lunak akibat proses
pengendapan lumpur Sungai Musi yang terjadi berabad-abad lamanya, tepatnya
berada pada sebuah kelokan (meander) di depan muara Sungai Keramasan. Belahan
utara Sungai Musi sudah sejak lama diketahui sebagai lokasi sejumlah situs
arkeologi yang berasal dari abad VII s.d XV Masehi, di antaranya adalah situs
Kambang Uglen, Padangkapas. Ladangsirap, dan Bukit Seguntang yang letaknya
berdekatan dengan situs Karanganyar (Soekanto. T., W, 1993: 27)
Selama
kekuasaan Sriwijaya berlangsung, tujuh abad lamanya Palembang dan Jambi yang
diduga kuat sebagai pusat kerajaan mengalami perluasan tanah. Perluasan ini
disebabkan kejadian alam dimana telah terjadi pengendapan lumpur yang dibawa
oleh Sungai Musi dari pedalaman menuju arah pesisir. Hasil endapan tersebut
semakin tinggi dan melebar menjadi suatu daratan dengan tanah alluvial. Jambi
yang semula berbentuk cekungan lambat laun melebar menjorok ke arah timur dan
menghilangkan bentuk cekung tersebut akibat perluasan tanah yang terjadi.
Namun,
lama-kelamaan terjadinya
pendangkalan sungai Musi dan menjauhnya garis pantai, berakibat tertutupnya akses
pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan.
Komoditas berharga dan sumber pangan yang semula datang dengan mudah menjadi terhambat dan
berhenti. Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh
yang di sebarkan oleh pedagang-pedagang Arab dan India. Dengan
demikian berdasarkan teori Determinisme Lingkungan yang menyatakan lingkungan
geografis Kerajaan Sriwijaya sangat tergantung pada kondisi geografis di Selat Malaka
dalam mempengaruhi perkembangan dan kejatuhan kerajaan terlihat ketika Selat Malaka
yang telah dikuasai oleh Kerajaan Cola setelah penyerangan awal abad ke-11
menyebabkan perekonomian Sriwijaya sulit berkembang karena daerah-daerah vassal Kerajaan Sriwijaya seperti Kedah
di Semenanjung Malaka mulai melepaskan diri sebagai negara merdeka,
memanfaatkan peluang kemerosotan Sriwijaya dengan membuka kembali rute
laut-darat laut melintasi Tanah Genting Kra (Hamid, 2013: 64).
Tahun 1178,
terjadi perubahan dalam kerajaan Sriwijaya. Kekuasaan di Sumatra diambil alih
oleh raja Malayu, demikian juga negeri-negeri bawahannya (vassal). Raja tersebut yaitu Trailokyaraj Maulibushanawarmadewa,
dengan gelar maharaja crimat (perpaduan antara gelar raja Sriwijaya, maharaja
dan gelar raja melayu, crimat). Padahal sejak tahun 683, Malayu merupakan
negeri bawahanSriwijaya. Tetapi tahun 1225, Malayu sudah merdeka. Bahkan
menggantikan kedudukan Sriwijaya di Palembang. Palembangpun menjadi negara
bawahan (Muljana, 2006: 289).
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Lokasi Malayu di
Jambi dijadikan pegangan untuk melokalisasikan Sriwijaya. Keterangan geografi yang ditemukan dalam karya-karya I-tsing
cukup jelas untuk menetapkan lokasi Sriwijaya pada abad ketujuh. Sampai
sekarang keterangan geografi itu kurang mendapat perhatian, padahal keterangan
geografi itu memberikan penjelasan tentang lokasi Sriwijaya terhadap Malayu,
dan berasal dari orang yang mengenal baik tempat-tempat yang bersangkutan itu
sendiri. Menurut I-tsing Sriwijaya terletak di sebelah timur/tenggara Malayu.
Dalam
perkembangannya Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak
kejayaan pada abad ke-7 dan ke-8. Raja yang terbesar pada masa Sriwijaya
adalah Balaputradewa. Sejak pemerintahan Darmasetu Sriwijaya membangun kerajaan
menjadi besar. Dengan armada lautnya yang kuat Sriwijaya menguasai jalur perdagangan.
Hal ini dikarenakan letaknya strategis, Sriwijaya menguasai selat Malaka,
Sunda, Semenanjung Malaka dan tanah genting sebagai pusat perdagangan, melimpahnya
hasil bumi Sriwijaya. Kejayaan Sriwijaya terlihat pada bidang kehidupan politik, sosial, dan ekonominya.
Letak geografis Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka
mempengaruhi perkembangan Kerajaan Banten seperti diadakannya aneksasi (invasi)
kepada negara-negara atau daerah-daerah yang berada di Selat Malaka untuk menguasai
lalu lintas perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka dan juga sebagai
pengamanan negara Sriwijaya. Namun, kondisi geografis di
Selat Malaka juga merupakan salah satu factor yang mempengaruhi kejatuhan
kerajaan terlihat ketika Selat Malaka yang telah dikuasai oleh Kerajaan Cola
setelah penyerangan awal abad ke-11 menyebabkan perekonomian Sriwijaya sulit
berkembang. Dan banyak negara bawahan yang melepaskan diri, sehingga Sriwijaya
mengalami kemunduran.
3.2
Saran
Pemerintah seharusnya lebih
memberikan perhatian kepada tempat-tempat yang bernilai historis, tidak hanya
tempat tetapi juga segala hal yang berbau sejarah. Bung Karno pernah berkata,
“JAS MERAH”!
DAFTAR
RUJUKAN
Budi U, Bambang.
2008. Belajar Dari Datu Sriwijaya:
Bangkitlah Kembali Bangsa Bahari. Makalah yang disampaikan pada Seminar Satu Abad Kebangkitan Nasional pada
tanggal 27-29 Mei 2008 di Auditorium Perpustakaan Nasional Republik Indonesia,
Jl. Salemba Raya 28 A, Jakarta Pusat.
Deni Prasetyo.
2009. Mengenal Kerajaan Kerajaan
Nusantara. Jakarta: Angkasa.
Halimi. A., J.
2008. Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu.
Kuala Lumpur: Utusan Publication.
Hamid, Abd.
Rahman. 2013. Sejarah Maritim Indonesia.
Yogyakarta: Ombak.
Iskandar. M.
2005. Wacana Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya. Dalam -- (Ed.), Nusantara dalam Era Niaga sebelum Abad ke-19
(hlm. 175-190). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kaplan, David.
& Robert A. Manners. 2012. Teori
Budaya. Pengantar: P.M. Laksono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartodirjo,
Poesponegoro, & Notosusanto. 1975. Sejarah
Nasional Indonesia II. --: P.T. Grafitas.
Kurnia, Nia.
& Irfan, Sholihat. 1983. Kerajaan
Sriwijaya: Pusat Pemerintahannya dan perkembangannya. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Muljana,
Selamet. 2006. Sriwijaya. Jakarta: PN Yayasan Idayu.
Muljana, Slamet.
1981. Kuntala, Sriwijaya &
Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu.
Muljana, Slamet.
2008. Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS.
Poesponegoro.
M., D. & Notosusanto. N. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia: Zaman Kuno. Jakarta:
PT Balai Pustaka.
Pramono. D.
2005. Budaya Bahari. Jakarta:
Gramedia Pusataka Utama.
Soekanto. T., W.
1993. Induk taman Purbakala Sriwijaya di
Karanganyar, Palembang. Jakarta:
Proyek Pelestarian atau Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dana Purbakala.
Soekmono. R. --.
Criwijaya, Cailendra dan Sanjaya.
Dalam -- (Ed.), Tentang Lokasi Sriwijaya (hlm. 28-41). --:--.
Wolters. 2011. Kemahrajaan Maritim Sriwijaya &
Perniagaan Dunia: Abad III – Abad VII. Jakarta: Komunitas Bambu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar