Sabtu, 23 Juli 2016

GEOHISTORI: KAJIAN LETAK GEOGRAFIS KERAJAAN SRIWIJAYA


GEOHISTORI: KAJIAN LETAK GEOGRAFIS KERAJAAN SRIWIJAYA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sriwijaya merupakan salah satu Kerajaan besar di Indonesia pada masa Hindu Buddha. Namun, bukan berarti terdapat banyak catatan sejarah tentang Sriwijaya karena keterbatasan informasi secara tertulis di dalam negeri. Tahun 1918-an barulah ada seorang sejarawan Perancis yang bernama George Coedes yang menulis penemuannya dan mempublikasikannya dalam surat kabar. Selain itu juga ada penemuan Balai Arkeologi Palembang yang diperkirakan ada sejak kerajaan Sriwijaya berupa perahu kuno di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Penelitian terus dilakukan untuk menghasilkan temuan baru, diantaranya 6 prasasti yang tersebar di seluruh Sumatera Selatan dan Pulau Bangka ada Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Siddhayatra, Prasasti Telaga batu, Prasasti Kota Kapur, Prasasti Karang Brahi, dan Prasasti Palas Pasemah.
Menurut Poesponegoro dan Notosusanto (2010: 82), dari keterangan–keterangan yang terdapat dalam prasasti–prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa Sriwijaya telah meluaskan daerah kekuasaannya mulai daerah Melayu di sekitar Jambi sekarang sampai ke Pulau Bangka (Penaklukan Pulau Bangka diduga erat hubungannya dengan penguasaan perdagangan dan pelayaran Internasional di Selat Malaka) dan daerah Lampung selatan serta usaha menaklukan Pulau Jawa yang menjadi saingannya dalam bidang pelayaran dan perdagangan dengan luar negeri. Maka dari itu, Sriwijaya merupakan kerajaan maritim terbesar dan Berjaya di Nusantara kala itu.
Muljana (2008) di dalam peta sejarah Asia Tenggara Lama, nama Sriwijaya nyaris menjadi mitos dari sebuah kebesaran dan keagungan. Selain dikenal dengan potensi lautnya yang besar, nama Sriwijaya juga terdengar harum karena keterbukaannya kepada dunia luar, misalnya Cina (berdasarkan berita – berita Cina abad V) dan India (berdasarkan prasasti Nalanda). Oleh karena itu, untuk memenuhi tugas mata kuliah “Geohistori” kami akan mengaji lebih dalam mengenai sejarah Sriwijaya namun tidak hanya dari sudut pandang sejarah, akan tetapi kami juga akan membahas geografisnhya serta keterkaitannya antara lingkungan geografis dengan perkembangan Kerajaan Sriwijaya. Makalah ini kami beri judul, “Keterkaitan Lingkungan Geografis dengan Perkembangan Kerajaan Sriwijaya Abad ke-7”.

1.2  Rumusan Masalah
1)      Bagaimana kondisi geografis kerajaan Sriwijaya?
2)      Bagaimana perkembangan kerajaan Sriwijaya abad ke-7?
3)      Bagaimana keterkaitan lingkungan geografis dengan perkembangan kerajaan Sriwijaya Abad ke-7?

1.3  Tujuan Penulisan
1)      Menjelaskan kondisi geografis kerajaan Sriwijaya.
2)      Menjelaskan perkembangan kerajaan Sriwijaya abad ke-7.
3)      Menjelaskan keterkaitan lingkungan geografis dengan perkembangan kerajaan Sriwijaya abad ke-7.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Letak Geografi Sriwijaya
Sebelum membahas mengenai letak geografi Sriwijaya lebih rinci, maka terlebih dahulu akan menjelaskan mengenai Kerajaan Malayu. Karya I-tsing dan Sejarah Baru Dinasti T’ang disinggung tentang adanya Kerajaan Mo-lo-yu. Untuk menetapkan dimana letak Kerajaan Malayu, perlu dikumpulkan berita-berita tentang Malayu yang ditemukan dalam sumber sejarah cina. Beritanya yakni sebagai berikut:
1.      Sejarah Baru Dinasti T’ang mencatat kedatangan utusan dari Kerajaan Malayu yakni pada tahun 644/5 tentang sebab Kerajaan Malayu tidak lagi mengirim utusan ke negeri Cina, baru diketahui dari pernyataan I-tsing tentang nasib Kerajaan Malayu pada akhir abad ketujuh. Pada tahun 692 I-Tsing memberitahukan bahwa Kerajaan Malayu itu telah menjadi bagian Kerajaan Shih-li-fo-shih (Sriwijaya).
2.      Dalam perjalananya dari Sriwijaya ke Nalanda setelah menetap di Sriwijaya selama enam bulan, I-tsing singgah di Kerajaan Malayu.
3.      Pada waktu yang hampir bersamaan pendeta Wu-hing juga berangkat dari negeri Cina ke India melalui Sriwijaya dan Malayu. Dari pelayaran Wu-hing juga jelas bahwa Malayu terletak di suatu tempat di Selat Malaka antara Sriwijaya dan Kedah.
4.      Dalam penyebutan negara-negara di Laut Selatan yang memeluk agama Buddha, terutama aliran Buddha Himayana, I-tsing menyebut Kerajaan Malayu sebagai kekecualian. Negara-negara yang bersangkutan terhitung dari barat ialah: P’o-lu-shih, Malayu yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya, Shih-li-fo-shih (Sri-wijaya), Mo-ho-hsin, Ho-ling, Tan-tan, Pen-pen, P’o-li, Chueh-lun, Fo-shih-po-lo, O-shan, Mo-chia-man.
Dalam uraiannya tentang negara-negara di Laut Selatan I-tsing menggunakan kata chou artinya; daerah, negara. Dalam penyebutan negara-negara di Laut Selatan I-tsing menyebut Malayu sebelum Shih-li-fo-shih (Sriwijaya). Dengan kata lain Malayu terletak di sebelah barat/barat laut Sriwijaya. Dalam uraian itu I-tsing menjelaskan bahwa Malayu terletak antara P’o-lu-shih dan Shih-li-fo-shih. Tentang lokasi negara-negara yang disebut oleh I-tsing di atas, akan dibahas dalam bagian yang berikut.
5.      I-tsing juga menyebut negara Malayu dalam uraiannya tentang Ch’ang-min yang berlayar dari Ho-ling ke India. Ch’ang-min berlayar dengan kapal yang panjangnya 200 kaki dan dapat membawa penumpang 600 hingga 700 orang menuju Ho-ling. Dari sini ia menumpang perahu ke negeri Malayu dengan maksud untuk meneruskan pelayarannya ke India. Tetapi muatan kapal itu terlalu berat, sehingga karam tidak jauh dari pangkalannya. Ch’ang-min meninggal.
Jalan pelayaran dari Ho-ling ke India atau dari Cina ke India biasanya melaui selat Malaka. Demikianlah dari uraian di atas dapat juga diambil kesimpulan bahwa Malayu terletak di suatu tempat di Selat Malaka. Di mana letak Kerajaan Ho-ling akan dijelaskan dalam bagian berikut.
6.      I-tsing menguraikan pelayarannya dari Tampralipti ke Sriwijaya. Sebelum sampai di Sriwijaya, ia singgah di Malayu. Dari uraian I-tsing di atas jelas bahwa dalam abad ketujuh Malayu memegang peranan penting dalam lau-lintas pelayaran dari Kanton ke negara-negara di sebelah barat Selat Malaka. Oleh karena I-tsing juga pernah berlayar dari Sriwijaya ke Malaysia, maka Malayu juga mempunyai hubungan pelayaran dengan Sriwijaya. Dari pernyataan I-tsing pada No. 4 di atas, Sriwijaya terletak di sebelah timur Malayu. Jadi pelayaran dari Malayu ke Sriwijaya mengambil arah ke timur.
Letak Sriwijaya
Lokasi Malayu di  Jambi dijadikan pegangan untuk melokalisasikan Sriwijaya. Keterangan geografi yang ditemukan dalam karya-karya I-tsing cukup jelas untuk menetapkan lokasi Sriwijaya pada abad ketujuh. Sampai sekarang keterangan geografi itu kurang mendapat perhatian, padahal keterangan geografi itu memberikan penjelasan tentang lokasi Sriwijaya terhadap Malayu, dan berasal dari orang yang mengenal baik tempat-tempat yang bersangkutan itu sendiri.
Hingga sekarang toponim Shih-li-fo-shih dan toponim San-fo-tsi masih disamakan saja. Kedua-duanya dianggap sebagai transliterasi dari nama asli Sriwijaya, sedangkan ditinjau baik dari segi bunyi maupun dari segi kronologi, kedua kerajaan itu berbeda, meskipun menurut keterangan geografinya  kedua kerajaan itu terletak di pantai timur Sumatera Selatan. Pelayar dan ahli geografi Arab dari abad kesepuluh sering menyebut nama Sarbaza sebagai negara jajahan al-Zabaj, Nama Sribuza juga disamaratakan dengan San-fo-tsi. Baru tahun 1918 G. Coedes berhasil mengklasifikasikan nama Shih-li-fo-shih dengan nama asli Sriwijaya yang kedapatan pada prasasti Ligor dan melokalisasikannya di Palembang. Gagasan untuk lokalisasi Shih-li-fo-shih di Palembang berasal dari pemikiran Samuel Beal.
Lokalisasi Sriwijaya di Palembang tidak didasarkan atau keterangan geografi, tetapi semata-mata bersandar kepada pemikiran Samuel Boal, yang berdasarkan rabaan. Lokalisasi Malaiur di Palembang jelas tidak benar. Pernyataan I-tsing bahwa Malayu juga disebut Shih-lo-fo-shih bukanlah identifikasi, karena ungkapan itu harus ditafsirkan bahwa setelah ditundukkan oleh Shih-li-fo-shih. Dari keterangan geografi yang diberikan oleh I-tsing Sriwijaya terletak di sebelah timur/tenggara Malayu. Oleh karena itu kota pelabuhan Malayu ternyata terletak di pantai timur Sumatera dan dapat diidentifikasikan dengan Jambi, maka Sriwijaya kiranya juga terletak di pantai timur Sumatera Selatan. Jika di Muangthai Selatan di sebelah barat Chaiya ada tempat yang kiranya dapat diidentifikasikan dengan Malayu, baru Sriwijaya dapat dilokalisasikan di Chaiya. Menurut keterangan geografi di sebelah timur Sriwijaya terletak Kerajaan Mo-ho-hsin. Jika disebelah timur Chaiya di pantai timur Semenanjung kiranya ada tempat yang dapat diidentifikasikan dengan Mo-ho-hsin, Chaiya dapat menjadi lokasi Sriwijaya. Ternyata di sebelah timur Chaiya dapat menjadi lokasi Sriwijaya.
Menurut anggapan Moens, toponim Yava, Yavadvipa (laba-diou) dan Chopo mula-mula hanya dipergunakan untuk menyebut Semenanjung Malayu. Toponim Yawadipa dalam prasasti Canggal, 732, ialah nama kerajaan leluhur Sanjaya, yang berasal dari India Selatan. Mula-mula ia mendirikan kerajaan di Kedah di Semenanjung Malayu, kira-kira pada tahun 724/8 mereka diusir oleh raja Sriwijaya, kemudian mendirikan kerajaan di Pulau Jawa. Kerajaan di Pulau Jawa itu diperintah oleh Sanjaya. Palembang tidak pernah menjadi ibukota Kerajaan Sriwijaya, karena pada mulanya pusat Kerajaan sriwijaya ialah di pantai timur semenanjung. Setelah berhasil mengalahkan Palembang, ibukota kerajaan Malayu, pusat pemerintahan Sriwijaya dipindahkan ke Sumatera Tengah di Muara Takus. Dari segi arkeologinya tidak ada bahan yang dengan meyakinkan dapat menyekung pendapat (gak jelas) untuk melokalisasikan Sriwijaya di daerah Muara Takus.
Pendapat yang lain berasal dari Dr. Sukmono yang pada tahun 1954 megadakan penelitian geomorfologi di daerah Palembang dan Jambi. Dr. Sukmono mengambil kesimpulan, bahwa Jambi lebih tepat sebagai lokasi sriwijaya daripada Palembang. Argumentasinya memang meyakinkan. Hasil penelitian geomorfologi itu menutup kemungkinan Palembang sebagai lokasi Sriwijaya. Penelitian geomorfologi Dr. Sukmono dengan tujuan untuk menetapkan lokalisasi pusat kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu usaha untuk memecahkan persoalan sejarah Sriwijaya. Jambi ditetapkan sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya pada abad ketujuh. Ditambahkannya toponim al-Zabaj dari sumber sejarah Arab dengan Muara Sabak, dan toponim san-fo-tsi dengan Muara Tembesi di daerah Jambi untuk memperkuat lokalisasi Sriwijaya di Jambi.
Dalam perkembangannya Sriwijaya mengenal dua tahap. Tahap pertama meliputi jangka waktu lebih kurang satu abad yakni sejak pembentukannya di sekitar tahun 670 sampai pertengahan abad kedelapan, tepatnya pada tahun 742, ketika kerajaan itu dalam berita Cina disebut Shih-li-fo-shih. Shih-li-fo-shih jelas merupakan transliterasi Cina dari nama Sriwijaya (Sriwijay). Tahap kedua mulai pertengahan abad kesembilan, tepatnya pada tahun 853 sampai akhir abad keempat belas, tepatnya pada tahun 1397 ketika kerajaan itu disebut San-fo-tsi dalam berita Cina. Uraian dari Sukmono memberi kesan seolah-olah Kerajaan Sriwijaya itu dari abad ketujuh sampai abad keempat belas dan sejak awal perkembangannya sampai runtuhnya hanya beribukota di satu tempat saja yakni di Jambi. Pilihan ibukota Jambi terutama didasarkan letak pelabuhan Jambi yang sangat strategis, karena pelabuhan itu terlalu bagus dan dapat menguasai lalu lintas pelayaran di Selat Malaka.
Sriwijaya yang letaknya tersisih dari lalu lintas pelayaran di Selat Malaka merenggut Malayu untuk menguasai lalu litas pelayaran di Selat Malaka. Penundukan Malayu berlangsung antara tahun 671 dan 685, ketika I-tsing berlayar dari Tamralipti ke Malayu, ia terkejut melihat perubahan status Kerajaan Malayu. Setelah ditundukkan, pelabuhan Malayu tetap berfungsi sebagai pelabuhan, namun statusnya ialah milik Kerajaan Srwijaya, dan namanya tetap Malayu, seperti jelas dinyatakan oleh I-tsing. Pusat Kerajaan Sriwijaya tidak lalu dipindahkan ke Malayu, tetapi tetap di tempatnya semula. Untuk menetapkan Jambi sebagai lokasi pusat Kerajaa Sriwijaya, Sukmono atas perintah Menteri Pendidikan, Pengajarann dan Kebudayaan Muhammad Yamin mengadakan penelitian geomorfologi di pantai timur Pulau Sumatera, terutama di wilayah Palembang dan Jambi.
Dari hasil penelitian geologi Prof. Sartono dapat diketahui bahwa tiga belas abad yang lalu dekat Palembang ada tanjung. Di tanjung itu terdapat Bukit Siguntang, yang sekarang tingginya dua puluh enam meter. Sungai musi mengalir di sebelah utara tanjung merupakan teluk, yang baik untuk dijadikan pelabuhan. Sumber sejarah utama didapat dari tiga sumber prasasti yakni: prasasti Kedukan Bukit, 682, prasasti Talang Tuwo, 684, dan prasasti Telaga Batu, kira-kira 686.
Lokalisasi Sriwijaya di Palembang pada abad ketujuh juga mendapat sokongan dari Sejarah Dinasti Ming yang serba jelas mengatakan bahwa setelah San-fo-tsi jatuh pada tahun 1397 akibat serangan tentara Majapahit, ibukotanya dipindahkan ke Ku-Kang artinya: sungai lama. Yang dimaksud dengan Ku-Kang oleh orang-orang Cina hingga sekarang ialah Palembang. Ungkpan Ku-Kang yang berarti sungai/pelabuhan lama dan diidentifikasinya dengan Palembang memberikan saran bahwa Palembang sebelum timbulnya San-fo-tsi pada pertengahan abad kesembilan, ialah ibukota kerajaan. Ibukota itu terletak di muara Sungai Musi sekarang. Sebelum timbulnya San-fo-tsi, kerajaan yang ada di pantai timur Sumatera Selatan ialah Sriwijaya. Ibukotanya juga terletak di muara sungai, yang namanya menurut I-tsing juga sungai Sriwijaya. Demikianlah ibukota Kerajaan Sriwijaya yang dalam akhir abad ketujuh bernama Sriwijaya oleh I-tsing, dalam akhir abad keempat belas disebut Ku-kang atau Palembang oleh Sejarah Dinasti Ming (Muljana, 1981: 65). Untuk lokalisasi ibukota Kerajaan Sriwijaya dalam abad ketujuh tidak cukup hanya menerapkan satu disiplin ilmu saja. Oleh karena itu,  diperlukan penerapan pelbagai  disiplin ilmu diantaranya ialah: geografi, geomorfologi, arkeologi, filologi dan epigrafi.


2.2  Perkembangan Kerajaan Sriwijaya Abad ke-7
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada abad ke-7 dan ke-8. Raja yang terbesar pada masa Sriwijaya adalah Balaputradewa. Sejak pemerintahan Darmasetu Sriwijaya membangun kerajaan menjadi besar. Dengan armada lautnya yang kuat Sriwijaya menguasai jalur perdagangan. Hal ini dikarenakan letaknya strategis, Sriwijaya menguasai selat Malaka, Sunda, Semenanjung Malaka dan tanah genting sebagai pusat perdagangan, melimpahnya hasil bumi Sriwijaya (rempah-rempah dan emas). Kejayaan Sriwijaya terlihat pada bidang kehidupan politik kerajaan Sriwijaya dapat ditinjau dari raja-raja yang memerintah, wilayah kekuasaan, dan hubungannya dengan pihak luar negeri.
1.      Kehidupan Politik
a.       Raja yang memerintah (yang terkenal)
1)      Dapunta Hyang Sri Jayanasa
Beliau merupakan pendiri kerajaan Sriwijaya. Pada masa pemerintahannya, ia berhasil memperluas wilayah kekuasaan sampai wilayah Jambi dengan menduduki daerah Minangatamwan yang terletak di dekat jalur perhubungan pelayaran perdagangan di Selat Malaka. Sejak awal ia telah mencita-citakan agar Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
2)      Balaputera Dewa
Awalnya, Balaputra Dewa adalah raja di Kerajaan Syailendra. Ketika terjadi perang saudara antara Balaputra Dewa dan Pramodhawardani (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputra Dewa mengalami kekalahan. Akibatnya ia lari ke Kerajaan Sriwijaya, dimana Raja Dharma Setru (kakak dari ibu Raja Balaputra Dewa) tengah berkuasa. Karena ia tak mempunyai keturunan, ia mengangkat Balaputradewa sebagi raja.
Masa pemerintahan Balaputradewa diperkirakan dimulai pada tahun 850 M. Sriwijaya mengalami perkembangan pesat dengan meingkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan rakyat. Pada masa pemerintahannya pula, Sriwijaya mengadakan hubungan dengan Kerajaan Chola dan Benggala (Nalanda) dalam bidang pengembangan agama Buddha, bahkan menjadi pusat penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara.

3)      Sri SanggaramaWijayatunggawarman
Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya dikhianati dan diserang oleh kerajaan Chola. Sang raja ditawan dan baru dilepaskan pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I di Chola (Prasetyo, 2009: 102).
b.      Wilayah kekuasaan
Setelah berhasil menguasai Palembang, ibu kota Kerajaan Sriwijaya dipindahakan dari Muara Takus ke Palembang. Dari Palembang, Kerajaan Sriwijaya dengan mudah dapat menguasai daerah-daerah di sekitarnya seperti Pulau Bangka yang terletak di pertemuan jalan perdagangan internasional, Jambi Hulu yang terletak di tepi Sungai Batanghari dan mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara). Maka dalam abad ke-7 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai kunci-kunci jalan perdagangan yang penting seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat Malaka, dan Laut Jawa bagian barat.
Pada abad ke-8 M, perluasan Kerajaan Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu menduduki Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra. Pendudukan terhadap daerah Semenanjung Malaya bertujuan untuk menguasai daerah penghasil lada dan timah. Sedangkan pendudukan terhadap daerah Tanah Genting Kra bertujuan untuk menguasai lintas jalur perdagangan antara Cina dan India. Tanah Genting Kra sering dipergunakan oleh para pedagang untuk menyeberang dari perairan Lautan Hindia ke Laut Cina Selatan, untuk menghindari persinggahan di pusat Kerajaan Sriwijaya.
Daerah lain yang menjadi kekuasaan Sriwijaya diantaranyaTulang-Bawang yang terletak di daerah Lampung dan daerah Kedah yang terletak di pantai barat Semenanjung Melayu untuk mengembangkan usaha perdagagan dengan India. Selain itu, diketahui pula berdasarkan berita dari China, Sriwijaya menggusur kerajaan Kaling agar dapat mengusai pantai utara Jawa karena merupakan jalur perdagangan yang penting.
Pada akhir abad ke-8 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara, baik yang melalui Selat Malaka, Selat Karimata, dan Tanah Genting Kra.
Dengan kekuasaan wilayah itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan laut terbesar di seluruh Asia Tenggara.
c.       Hubungan dengan luar negeri
Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di luar wilayah Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan Pala/Nalanda di Benggala. Raja Nalanda, Dewapala Dewa menghadiahi sebidang tanah untuk pembuatan asrama bagi pelajar dari nusantara yang ingin menjadi ‘dharma’ yang dibiayai oleh Balaputradewa.
2.      Kehidupan Sosial
Letaknya yang strategis, membuat perkembangan perdagangan internasional di Sriwijaya sangat baik. Dengan banyaknya pedagang yang singgah di Sriwijaya memungkinkan masyarakatnya berkomunikasi dengan mereka, sehingga dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi masyarakat Sriwijaya. Kemungkinan bahasa Melayu Kuno telah digunakan sebagai bahasa pengantar terutama dengan para pedagang dari Jawa Barat, Bangka, Jambi dan Semenanjung Malaysia. Perdagangan internasional ini juga membuat kecenderungan masyarakat menjadi terbuka akan berbagai pengaruh dan budaya asing, salah satunya India.
Budaya India yang masuk berupa penggunaan nama-nama khas India, adat istiadat, dan juga agama Hindu-Buddha. I-tsing menerangkan bahwa banyak pendeta yang datang ke Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta dan menyalin kitab kitab suci agama Buddha. Guru besar yang sangat terkenal di massa itu adalah Sakyakirti yang mengarang buku Hastadandasastra (Kurnia&Irfan, 1983: 96).
3.      Kehidupan Ekonomi
Pada awalnya kehidupan ekonomi masyarakat Sriwijaya bertumpu pada bidang pertanian. Namun dikarenakan letaknya yang strategis, yaitu di persimpangan jalur perdagangan internasional, membuat hasil bumi menjadi modal utama untuk memulai kegiatan perdagangan dan pelayaran.
Karena letak yang strategis pula, para pedagang China yang akan ke India bongkarmuat di Sriwijaya, dan begitu juga dengan pedagang India yang akan ke China. Dengan demikian pelabuhan Sriwijaya semakin ramai hingga Sriwijaya menjadi pusat perdagangan se-Asia Tenggara. Perairan di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
4.      Kehidupan Agama
Kehidupan agama masyarakat Sriwijaya dipengaruhi oleh datangnya pedagang India. Pertama adalah agama Hindu, kemudian agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha, khususnya aliran Mahayana. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Nama Dharmapala dan Sakyakirti pun tak asing lagi. Dharmapala adalah seorang guru besar agama Budha dari Kerajaan Sriwijaya. Ia pernah mengajar agama Budha di Perguruan Tinggi Nalanda (Benggala). Sedangkan Sakyakirti adalah guru besar juga. Ia mengarang buku Hastadandasastra (Muljana: 2008: 36).
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
            Bukti-bukti kebenaran adanya kerajaan Sriwijaya salah satunya ditemukan prasasti-prasasti. Pertama, prasasti Kedukan Bukit (682 M). Prasasti ini ditemukan di kedukan bukit di tepi Sungai Tatang dekat Palembang. Isinya menceritakan bahwa pada tahun 682 M ada seorang yang bernama Dapunta Hiyang mengadakan perjanjian suci dengan membawa 20.000 tentara, berangkat dari Minanggatamwan dengan naik perahu sedangkan sebagian tentara lewat jalan darat. Datang di Melayu dan akhirnya kota Sriwijaya. Kedua, Prasasti Talang Tuo (684 M) Prasasti ini ditemukan di Talang Tuo dekat Palembang. Isinya menyebutkan bahwa atas perintah Dapunta Hiyang telah dibuat taman yang disebut Sriksetra untuk kemakmuran semua makhluk. Disamping itu juga ada doa-doa yang bersifat Budha Mahayana. Ketiga, Prasasti Palas Pasemah, prasasti ini ditemukan di Lampung selatan. Isinya menebutkan bahwa daerah Lampung selatan saat ini sudah di duduki Sriwijaya. Keempat, Prasasti Kota Kapur, prasasti ini di temukan di Bangka. Isinya yaitu tentang permohonan kepada dewa agar menjaga keamanan dan keselamatan bagi kerajaan Sriwijaya. Dalam parasasti ini juga dijelaskan bahwa keras memperluas kekuasaanya. Kelima, prasasti Rajendra Cola. Prasasti ini menceritakan masa keruntuhan Sriwijaya. Prasasti ini ada di India bagian selatan. Keenam, Prasasti Karang Berahi, prasasti ini ditemukan di Jambi. Isinya hampir sama dengan Prasasti Kota Kapur.

Masa Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya
Pad abad ke-11 M sampai abad ke-13, ibukota Sriwijaya berpindah dari Palembang ke Jambi. Sumber-sumber sejarah menyebutkan dalam bad ke-14, Sriwijaya sudah tidak disebutkan lagi, kecuali Malayu sebagi tempat bertahannya kebudayaan Hindu (Hall dalam Hamid, 2013: 63). Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan disebabkan oleh beberapa Faktor.
a.       Penyerangan Kerajaan Cola
Penyerangan Kerajaan Cōla pada tahun 1025 Masehi. Prasasti Rājendracōla dari Tañjore (1030/1031 Masehi) menyebutkan:
"(Rājendra) setelah mengirim banyak kapal ditengah laut
bergelombang dan setelah menawan Sańgramavijayottuńgavarman,
Raja Kadaram, bersama dengan gajah-gajah dalam pasukannya yang
perkasa (mengambil) tumpukan besar harta benda berharga, yang
telah dikumpulkan secara benar (oleh raja itu) dicekam oleh bunyi
ribut Vidhyadharatorana di pintu gerbang ibukotanya yang luas,
Śrīwijaya, dengan pintu gerbang kecil bertatahkan permata sangat
indah, dan pintu gerbang besar penuh permata; Pannai dengan air di
kolam mandi; Malaiyur dengan bukit yang kuat dengan bentengnya;
Mayirudingam yang dikelilingi laut dalam seperti oleh parit;
Ilangkasokam yang sangat berani dalam peperangan yang kejam;
Mappapalam penuh dengan air sebagai pertahanannya;
Mevilimbangan dijaga oleh tembok-tembok yang indah; Valaippanduru
.....; Talaittakkolam .....; Tamralingga yang mampu untuk
melakukan tindakan kuat dalam peperangan yang berbahaya;
Ilamuridesam kekuatannya yang dahsyat; Manakkavaram....; dan Kadaram
yang kekuatannya dahsyat, yang dilindungi oleh lautan
dalam"
Di antara tempat-tempat yang disebutkan, yaitu Sriwijaya, Pannai, Malaiyur dan Ilamuridesam, berada di wilayah Sumatera. Sriwijaya adalah Kadatuan Sriwijaya yang lokasinya di Palembang (di sekitar Sungai Musi), Pannai adalah Kerajaan Pannai yang lokasinya ada di wilayah Sumatera Utara (di sekitar Sungai Barumun, Batang Pane, dan Sungai Sirumambe), Malaiyur adalah Kerajaan Mālayu yang lokasinya di wilayah Jambi dan Sumatera Barat (di sekitar Batanghari), dan Ilamuridesam adalah Kerajaan Lamuri di Aceh. Beberapa pakar beranggapan bahwa raja-raja Cōla sering menjalin kerjasama dengan para saudagar Tamil yang telah mulai masuk ke daerah Asia Tenggara dan Tiongkok. Akibat dari kerjasama ini para penguasa Cōla bertindak sebagai pelindung dari para saudagar Tamil ini. Oleh sebab itu, mengapa Rajendracōla memerintahkan pasukannya untuk menyerang daerah-daerah tersebut, diduga karena alasan ekonomi. Mungkin pajak añcu-tunt-āyam yang ditarik dari para nahkoda kapal dan kēvi dipakai sebagai upeti dengan imbalan keamanan para saudagar selama di laut. Dengan membayar pajak/upeti ini Rājendracōla “berkewajiban” melindungi para saudagar/pelaut Tamil, kapal dan muatannya yang beroperasi di sepanjang jalur perdagangan/pelayaran.
Seperti telah diketahui, wilayah Selat Melaka dikuasai oleh Sriwijaya. Setiap kapal niaga yang melalui selat tersebut harus membayar cukai kepada penguasa selat yang pada masa itu adalah Sriwijaya. Dalam kasusnya dengan Kerajaan Cōla, Śrīwijaya mungkin mengutip cukai terlampau tinggi terhadap saudagar Tamil yang melewati Selat Melaka. Akibatnya, Kerajaan Cōla yang melindungi para saudagar Tamil ini mengambil tindakan dengan menyerang Sriwijaya. Setelah serangan tahun 1025 tersebut, Sriwijaya tidak lagi menguasai Selat Melaka seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Selain menyerang Sriwijaya, Kerajaan Cōla juga menyerang beberapa kerajaan lain di sekitar selat dan juga di kawasan Asia Tenggara (Budi U, 2008: 118). Akibatnya, ibukota Sriwijaya dipindahkan ke Jambi. Sejak saat itulh pengruh Cola di Selat Malaka cukup kuat sampai lima puluh tahun berikutnya dalam abad ke-11 (Dick Read dalam Hamid, 2013: 64).
b.      Perkembangan Politik di Jawa
Perdagangan yang semula berada di bawah pengawasan Sriwijaya, perlahan menjadi pudar. Peluang itu diambil alih oleh sebuah kerajaan di Jawa Timur, yaitu Majapahit. Selain mengontrol lalu lintas perdagangan di Laut Jawa, hegemoni Majapahit juga mencakup kawasan Semenanjung Melayu yang semula merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya. Dengan demikian, penguasaan atas laut dan perdagangan merupakan aspek penting yang mempengaruhi kelangsungan imperium laut awal Nusantara, Sriwijaya. Runtuhnya Sriwijaya menandai babak akhir imperium matritim Melayu (Hamid, 2013: 65). Dalam kakawin Nagarakertagama disebutkan beberapa negara yang berada di bawah pengaruh Majapahit. Hampir seluruh daerah dan kerajaan di Sumatera berada di bawah pengaruh Majapahit, lebih lagi Kerajaan Mālayu pada masa pemerintahan Ādityawarmman (sekitar pertengahan hingga akhir abad ke-14 Masehi). Pada waktu itu nama dan eksistensi Kerajaan Sriwijaya sudah tidak terdengar lagi (Budi U, 2008: 119).
c.       Pendangkalan sungai Musi dan menjauhnya garis pantai
Sebab yang satu juga merupakan factor kuat runtuhnya Sriwijaya. Penjelasannya seperti yang dipaparkan Daljoeni berikut ini. Daerah Sumatera ini merupakan daerah yang curah hujannya melebihi penguapannya. Hal ini mengakibatkan derasnya hujan membuat air meresap terlalu dalam hingga tidak dapat dijangkau oleh akar tumbuhan sekaligus melarutkan bahan-bahan kesuburan tanah.  Akibatnya tanahnya tandus, yang kemudian oleh Soebantardjo disebut pemiskinan tanah secara kimiawi. Selain itu, sebagain air hujan yang tidak ikut meresap ke dalam tanah tetapi mengalir di atsas permukaan tanah yang kemudian masuk ke sungai-sungai. Topsoil berisi humus menjadi hanyut sehingga daerah tersebut tidak subur. Bagian yang kedua ini disebut pencucian tanah secara fisis dan menurut Soebantardjo pencucian inilah yang terjadi pada wilayah pusat kerajaan Sriwijaya.
Peristiwa alam ini seolah menjadi vonis bahwa Sriwijaya tidak bisa berkutik lagi. Sriwijaya juga bukan Negara agraris yang memiliki pasokan makanan sendiri. Seperti yamg diketahui ketahui bahwa untuk memenuhi kebutuhan beras, kerajaan ini mengimpor dari pedalaman dan Jawa. Dengan demikian posisi Sriwijaya semakin tidak menentu. Belum lagi Sriwijaya harus menghadapi serangan dari kerajaan lain.
Ada pula sebab lain yakni masih berkaitan dengan air, terjadinya pendangkalan sungai Musi dan menjauhnya garis pantai yang berakibat tertutupnya akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan. Komoditas berharga dan sumber pangan yang semula datang dengan mudah menjadi terhambat dan berhenti.

2.3  Keterkaitan Lingkungan Geografis Dengan Perkembangan Kerajaan Sriwijaya Abad Ke-7
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai yang kekuatan ekonominya bertumpu pada perdagangan internasional. Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi pusat perdagangan di wilayah Indonesia Barat terutama setelah berhasil menguasai dan mengamankan jalur perdagangan di sekitar Selat Malaka (Iskandar. M, 2005: 176). Letak geografis Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka mempengaruhi perkembangan Kerajaan Sriwijaya dalam penguasaannya sebagai kerajaan berbasis perdagangan di selat tersebut. Coedes 1918 dalam Wolters (2011: 19), bahwa kekuasaan dan kemakmuran kerajaan ini disebabkan penguasaannya atas Selat Malaka, yang merupakan jalur laut terkenal dalam sejarah perdagangan. Kondisi seperti itu memunculkan kekuatan Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim dengan melakukan ekspansi politik ke sekitarnya sampai wilayah Bhumi Jawa tau pulau Jawa, kemungkinan kerajaan Tarumanegara, guna mengawasi perdagangan di perairan Selat Malaka demi keberlangsungan kehidupan ekonomi kerajaan. Lingkungan geografis Kerajaan Sriwijaya yang berada di perairan Selat Malaka menjelaskan variasi budaya dengan mengacu kepada penggunaan faktor lingkungan sebagai penjelasan mekanisme interaksi yang mempengaruhi jatuh bangunnya Kerajaan Sriwijaya (Kaplan & Manners,2012:104).
Pernyataan diatas diperkuat pula dari teori Ekologi Budaya yang dikemukakan oleh Jullian H.Steward, Vayda, dan Roy Rappaport lokasi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka mempengaruhi unsur tertentu dari kebudayaan terutama inti kebudayaan membentuk konfigurasi budaya seperti teknologi dan religi yakni tertampak pada Sriwijaya yang berada di jalur perdagangan internasional sudah memiliki hubungan dagang dengan negara lain pada pelabuhannya yang disinggahi oleh pedagang asing itu sehingga Raja Sriwijaya membangun atau memindahkan pusat kota ke pesisir pantai yang dibentuk menyesuaikan kondisi geografisnya yang berada di Selat Malaka.
            Uraian di atas memberikan informasi yang kuat tentang pentingnya Selat Malaka terhadap kegiatan perdagangan Sriwijaya dengan kerajaan-kerajaan di luar Nusantara seperti India dan Persia. Keberadaan Selat Malaka menjadi tonggak kejayaan dan kemakmuran Sriwijaya. Lebih dalam lagi, dilihat dari segi letak seluruh kekuasaan Sriwijaya sangat menguntungkan bagi jalannya perdagangan Internasional. Pulau Sumatera merupakan sebagian besar dari kekuasaan Sriwijaya dan bahkan letak dari pusat kerajaan. Meskipun masih terjadi perdebatan yang belum kunjung menemukan titik terang dikalangan sejarawan terkait letak pasti pusat kerajaan Sriwijaya, namun dari temuan-temuan arkeologi dan berita-berita yang berasal dari Cina menjadi acuan untuk menetapkan wilayah Sumatera khususnya Palembang dan Jambi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya.
            Sumatera merupakan salah satu pulau terbesar dan terluas di Indonesia bagian barat yang letaknya terdekat dengan daratan Asia Tenggara. Antara Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu, suatu jazirah yang merupakan bagian dari daratan Asia Tenggara, hanya terdapat sebuah selat yang tidak lebar yaitu Selat Malaka. Kedudukan Geografis ini merupakan suatu faktor yang besar pengaruhnya pada sejarah yang dialami oleh pulau tersebut (Kartodirjo, Poesponegoro, & Notosusanto, 1975: 66). Pelayaran ke Timur Jauh, semua kapal menuju pelabuhan Sumatera yang terletak agak ke Selatan Malaka dan tidak melewati jalur dekat Cina yang melintasi sekitar Singapura modern sekarang. Dugaan kuat bahwa Selat Malaka yang memberikan pintu jalan ke Nusantara dari India pada abad-abad awal masehi (Wolters, 2011: 20).
            Pesatnya perdagangan yang hebat di Nusantara bagian barat sepanjang pertengahan pertama abad ke-7 bukan semata-mata disebabkan para penghasil produk lokal mendapatkan kesempatan pasar luar biasa. Pasti terdapat keuntungan-keuntungan lain yang didapat dari perdgangan transit terkait barang-barang di Samudera Hindia. Beberapa utusan dari India telah datang pada periode ini (Wolters, 2011: 287)
            Dapat disimpulkan bahwa dari segi geografis penguasaan seluruh wilayah Sumatera oleh kerajaan Sriwijaya sangat menguntungkan. Pelayaran yang dilakukan oleh India dan Persia ke wilayah Timur Jauh harus melewati Selat Malaka. Begitu juga pelayaran yang dimaksudkan untuk berdagang dengan wilayah Nusantara maupun Cina harus melewati Selat Malaka pula. Sudah barang tentu, keuntungan dari segi geografis yang dimiliki oleh Sriwijaya akan membawa pada kejayaan bagi kerajaan dan juga menjadi pusat perdagangan Internasionl bagi wilayah Nusantara. Semakin ramai perdagangan yang melintasi wilayah Selat Malaka akan mempengaruhi perkembangan pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya. Pelabuhan yang semakin ramai menjadi tonggak kemakmuran kerajaan, karena banyak keuntungan yang di peroleh dari kegiatan perdagangan internasional tersebut.
             Dari segi keadaan geografis, pantai tenggara Sumatera tidak terlalu membanggakan, kecuali keberadaan pelabuhan-pelabuhannya, tempat-tempat berlabuh yang aman, dan jaringan sungai-sungai yang memungkinkannya berhubungan dengan daerah pedalaman. Hamparan paya-payanya yang jauh masuk kedalam juga memberikan perlindungan terhadap serangan dari dalam (Wolters, 2011: 268). Kondisi geografis yang disajikan oleh pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya yang terletak di pantai tenggara Sumatera memberikan kenyamanan bagi para pelaut yang singgah di wilayah ini. Kenyamanan dan keamanan yang disediakan oleh alam ini memberikan kesan yang baik bagi para pelaut yang singgah. Uraian tersebut merupakan salah satu alasan ramainya perdagangan di wilayah jalur laut Sriwijaya dan menjadi pusat perdgangan Internasional di Nusantara.
            Abad ke-5 dan ke-6 merupakan masa penting untuk hubungan perdagangan Samudera Hindia dan Cina, yaitu pada waktu dinasti-dinasti Cina selatan memerlukan hasil Bumi dan olahan Asia Barat. Hal ini telah meningkatkan kepeseatan perdagangan laut antar Asia. Pada zaman Sriwijaya, pantai di Malaka terus berperan sebagai penghubung antara Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan, sedangkan Selat Malaka tetap merupakan bagian dari perjalanan menuju Sumatera Selatan (Wolters, 2011: 269)
            Seperti yang telah dijelaskan pada uraian-uraian sebelumnya, letak wilayah kekuasaan Sriwijaya yang sangat strategis mendorong kerajaan tersebut memusatkan perhatiannya dalam memajukan kehidupan maritimnya. Semakin pesatnya laju perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya lambat laun membawa kejayaan bagi Sriwijaya dan menjadikan kerajaan ini sebagai kerajaan maritim terbesar di wilayah Asia Tenggara. Jelas sekali telah di uaraikan bagaimana dampak dari letak geografis kekuasaan Sriwijaya sangat memberikan keuntungan terutama sekali dalam bidang pelayaran dan perdagangan Internasional.
Kekuatan Pertahanan
            Keuntungan geografis yang diperoleh Sriwijaya melanggengkan penguasaannya atas jalur dagang laut di wilayah Asia Tenggara. Tentunya dengan wilayah kekuasaan yang sangat strategis jika di nilai dari segi geografis, tidak begitu saja mengalami kemakmuran tanpa adanya penguasaan khusus terhadap jalur laut itu sendiri oleh penguasa. Kondisi geografis yang sangat menguntungkan ini mengharuskan raja sedapat mungkin untuk menguasai secara penuh wilayah yang dikuasainya. Menurut Van Leur (1967) dalam Iskandar (2005: 176), pada masa kuno pengaruh raja sebagai kepala negara dalam dunia perdagangan cukup besar, mereka bertindak sebagai pengontrol keamanan, penarik pajak, dan pemegang saham.
            Sebagai kerajaan maritim terkuat di Asia Tenggara, Sriwijaya telah mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan jalur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan lautnya. Angkatan laut kerajaan Sriwijaya umumnya telah ditempatkan di berbagai pangkalan strategis dan mendapatkan tugas utama mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang yang berlabuh, memungut bea cukai, serta mencegah terjadinya pelanggaran laut di wilayah kedaulatan dan kekuasaannya (Pramono. D, 2005: 5)
            Dengan wilayah kekuasaan yang cukup luas dan pemusatannya pada jalur pelayaran mengharuskan Sriwijaya memiliki sebuah kesatuan prajurit yang kokoh untuk mengamankan wilayahnya. Armada yang disiapkan sudah barang tentu lebih terpusat pada kesatuan kelautan. Armada yang kuat tersebut menjadi alat politik bagi penguasa Sriwijaya dengan mengacu pada pemusatan pemerintahan pada bidang kemaritiman dan kondisi geografis wilayah kekuasaannya.
Menurut Muljana (1781: 79) dari prasasti Kedukan Bukit, ketika Sriwijaya masih merupakan negar kecil, Sriwijaya pada tahun 682 telah mempunyai tentara sebesar dua puluh ribu orang lebih. Dapat dibayangkan berapa besar tentara Sriwijaya pada akhir abad ketujuh setelah kerajaan itu meliputi wilayah yang terbentang dari Kedah sampai Taruma di Jawa Barat dan dari Malayu sampai Ligor di pantai timur Semenanjung Malayu. Untuk mengawasi negara-negara bawahan itu Sriwijaya memerlukan banyak kapal perang yang masing-masing dapat mengangkut beberapa ribu prajurit dan dapat bergerak cepat.
Sriwijaya memperkuat kontrol atas wilayah kekuasaannya di laut, dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang kuat dan berpengalaman di laut, baik sebagai pengembara maupun bajak laut, melalui hubungan kerjasama saling menguntungkan. Raja memberikan upeti dari hasil pajak yang ditarik dari kegiatan perdagangan dan kapal-kapal yang singgah (Munoz dalam Hamid, 2013: 55).
Menurut Dick Read dalam Hamid  (2013: 55) Raja Sriwijaya memanfaatkan orang laut, dengan sejumlah perahu mereka, di sepanjang pesisir di Kepulauan Riau di pintu masuk Selat Malaka, untuk menyerang target-target mereka di kawasan tersebut. Orang Bajau atau Bajo di Nusantara yang sejak dulu dikenal sebagai pengembara laut yang handal memiliki potensi lebih baik untuk menjadi angkatanlaut Sriwijaya. Orang Bajo ini mendiami daerah-daerah muara sungai dan hutan bakau di pantai timur Pulau Sumatera, Kepulauan Riau-Lingga, dan pantai barat Semenanjung Tanah Melayu sampai ke Muangthai selatan, serta muara-muara sungai di Kalimantan. Mereka hidup di rumah-rumah di atas perahu menjadikan mereka ‘orang laut’ dalam arti yang sesungguhnya (Budi U, 2008: 95). Kehadiran orang laut di muara sungai besar dan di selat yang merupakan alur pelayaran memberi kepada Sriwijaya suatu sarana pertahanan dan pengawasan laut yang cukup tangguh, sehingga penguasaan perairan dapat dilaksanakan dengan baik.
Politik Perluasan Wilayah
Pada tahun 671 ketika I-tsing berkunjung pertama kalinya ke Sriwijaya, negara ini dalam bidang kesehjateraan rakyat jauh ketinggalan dengan Malayu, karena letaknya tersisih dari lalu lintas pelayaran di Selat Malaka. Pada waktu itu lalu lintas perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka dikuasai sepenuhnya oleh pelabuhan Malayu. Salah satu jalan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat bagi Sriwijaya ialah menguasai lalu lintas perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka. Itulah kiranya salah satu sebab mengapa Sriwijaya merenggut Malayu (Muljana, 1981: 68).
            Penundukan Kerajaan Malayu bukan satu-satunya, karena Sriwijaya juga menerapkan politik perluasan wilayah terhadap negara tetangganya. Hal tersebut dilakukan sebagai pengamanan negara Sriwijaya dan perluasan kekuasaannya. Bangka merupakan daerah pertama yang ditundukkan, karena Bangka paling dekat letaknya dengan Sriwijaya dan strategis. Akhirnya, Sriwijaya berhasil menaklukkan keseluruhan negara Bangka termasuk penguasaan terhadap Selat Bangka, sehingga secara otomatis juga menguasai lalu lintas pelayarannya. Penundukan Bangka tersebut benar adanya, terbukti dari piagam persumpahan Kota Kapur, dari piagam tersebut secara tidak langsung juga menjelaskan bahwa penaklukkan negara Bangka dilakukan sebelum penundukan Malayu.
            Politik perluasan wilayah Sriwijaya setelah menundukkan Bangka yakni Kerajaan Malayu. Penguasan lalu lintas perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka merupakan motif yang paling kuat untuk penundukkan Malayu oleh Sriwijaya. Setelah menguasai sepenuhnya Malayu tetap berfungsi sebagai pelabuhan, namun statusnya menjadi negara bawahan Sriwijaya. Penundukan tersebut berkisar ditahun 672-682, kerena dalam prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Sriwijaya menyerbu dan melakukan penundukan daerah Minanga yang letaknya di sebelah barat laut Malayu.
            Menurut J.L Moens dalam Muljana (1981: 70) prasasti Kedukan Bukit dimaksudkan untuk memperingati kemenangan Sriwijaya terhadap Malayu. Oleh karena Moens yakin bahwa ibukota Kerajaan malayu ialah Palembang, maka kemenangan Sriwijaya terhadap Malayu ditafsirkan sebagai penguasaan Palembang oleh Sriwijaya. Sesudah menguasai Pelmbang, Sriwijaya yang semula berpusat di pantai timur Semenanjung pindah ke pantai timur Sumatera, tidak di Pelembang tetapi di Muara Takus yang berkisar antara tahun 683-685. Seandainya memang benar bahwa Palembang itu pusat Kerajaan Malayu, maka Palembang itu identik dengan Minanga Tamvan. Namun, kesulitannya terletak pada mengidentifikasi lokalisasi Minanga Tamvan.
Menurut Muljana (1981: 73) ada kemungkinan bahwa Tamvan merupakan kata biasa. Bunyi v/w dalam bahasa Melayu kuno sama dengan bunyi b, misalnya vulan=bulan. Kata tamva juga terdapat pada prasasti Telaga Batu. Sehingga, prasasti Kedukan Bukit bukan satu-satunya yang memuat kata tamva. Jadi kalimat itu berhenti pada kata Minanga, yang kemungkinan daerah yang dimaksud Binanga di tepi Sungai Barumun. Dapat diperkirakan bahwa tiga belas abad yang lalu Binanga terletak di tepi pantai, di muara Sungai barumun karena tanah kota Binanga samapai garis pantai merupakan tanah muda hasil endapan sungai-sungai yang mengalir di daerah itu. Jika memang demikian, berarti Kota Binanga dikuasai Sriwijaya tahun 682, penguasaan daerah tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa tempat itu terletak di tengah pelayaran antara Malayu dan Kedah. Sungai Barumun sendiri menghubungkan daerah pedalaman Sumatera Utara dengan Pantai Laut. Maka dari itu, Binanga baik untuk dijadikan pelabuhan karena letaknya di teluk Balay yang menguasai hasil bumi padalam Sumatera Utara untuk pasaran Internasional.
            Setelah menundukkan Minanga, tentara Sriwijaya bergerak ke arah utara menuju pantai barat Semenanjung untuk menundukkan Kedah. Kedah merupakan pusat lalu lintas pelayaran di Selat Malaka di ujung utara. Perahu-perahu yang berlayar dari Srilangka dan dari Tamralipti di Teluk Bengal, sebelum masuk Selat Malaka, singgah di Kedah terlebih dahulu begitupun sebaliknya. Dengan penguasaan atas Kedah dan Malayu serta Binanga, Sriwijaya menguasai sepenuhnya lalu lintas pelayaran Selat Malaka.
Tahun 686 tentara Sriwijaya melakukan penyerbuan ke Bhumi Jawa sebagaimana diuraikan dalam prasasti Kota Kapur. Namun sebelumnya, Sriwijaya telah melakukan penaklukkan Kerajaan Tulang Bawang di Muara Sungai Tulang bawang di Wilayah Lampung, dibuktikan dengan adanya Prasasti persumpahan di Palas Pasemah. Bhumi Jawa ditafsirkan Pulu Jawa, negara yang paling dekat letaknya dengan Sriwijaya ialah Tarumanegara, terbukti dengan Prasasti berbahasa Melayu di daerah Bogor. Ekspedisi tersebut berhasil gemilang (Muljana, 1981: 74-77). Politik perluasan wilayah juga diterapkan oleh Sriwijaya di pantai timur Semenanjung sampai di Ligor. Di tempat ini juga ditemukan prasasti yang berangka tahun 775. Untuk pelayaran dan perdagangan Ligor (Sitamarat) merupakan tempat yang strategis. Setiap perahu yang berlayar dari Kanton ke Selat Malaka dan kebalikannya singggah di Ligor.
            Penundukan negara-negara yang dilakukan oleh Sriwijaya, membuat Sriwijaya muncul sebagai kekuasaan besar di Asia Tenggara yang disegani oleh negara-negara tetangga. Dalam waktu beberapa puluh tahun saja, negara Sriwijaya yang semula tersisih dari lalu lintas pelayaran di Selat Malaka dan merupakan negara kecil, telah berubah menjadi negara maritime yang kuat. Dan setelah merebut Malayu dan Kedah, Sriwijaya sepenuhnya menguasai lalu lintas perdagangan dan pelayaran dari negara-negara barat ke Kanton dan sebaliknya, karena perahu-perahu asing itu semuanya berlayar melalui Selat Malaka yang telah dikuasai oleh Sriwijaya.
Budaya berlayar
             Kondisi geografis Nusantara meliputi berbagai macam pulau-pulau dari yang besar hingga yang kecil. Keadaan seperti ini juga berlaku untuk wilayah Nusantara bagian barat yang sejak awal abad ke-7 telah dikuasai oleh Sriwijaya, begitu juga jalur pelayaran dan perdagangannya menuju Cina maupun Nusantara sendiri. Kondisi geografis yang meliputi pulau-pulau  menumbuhkan suatu budaya berlayar bagi masyarakat Nusantara untuk dapat melakukan aktifitas dengan masyarakat diluar pulau. Sejak abad-abad awal tarikh masehi, pelaut-pelaut dari melayu merupakan golongan penghubung yang menghubungkan pedagang-pedagang dari India menuju Cina. Catatan-catatan Cina mencatat tentang kehadiran kapal-kapal Melayu di pelabuhan-pelabuhan tenggara Cina pada abad pertama dan kedua Masehi (Halimi, 2008: 18).
            Sriwijaya tumbuh sebagai kerajaan yang sangat mengandalkan kehidupan maritim tidak akan pernah bisa besar tanpa sekelompok masyarakat yang handal dalam berlayar. Bukan perkara gampang untuk dapat mengarungi jalur laut wilayah kekuasaan Sriwijaya. Seorang pelaut yang handal diperlukan untuk dapat selamat dalam pelayaran. Jalur laut yang dikuasai oleh Sriwijaya, secara geografis sangat mengandalkan kekuatan angin musim. Sudah barang tentu tumbuh para pelaut yang handal yang membawa Sriwijaya berinteraksi dengan kerajaan di luar Nusantara.
            Seorang ahli geografi pernah bertanya mengapa Sriwijaya di Sumatera Selatan dapat menjadi pusat perdagangan yang begitu penting. Menurutnya letak negeri itu berada di luar jalur perdagangan yang utama antara India dan Cina. Secara geografi Palembang dan Jambi sudah pasti terletak agak keselatan selat, tetapi pelabuhan-pelabuhan itu menjadi makmur bukan karena letak geografis semata, namun penduduknya yang pergi berlayar. Masuknya Jambi dan Palembang ke jalur perdagangan menuju Cina bagi seorang ahli geografi kelihatan sebagai pemanjangan perjalanan yang tidak wajar. Namun para pelaut dari abad ke-9 tidak sejalan dengan pendapat itu. Mereka menganggap pantai ini tidak terlalu jauh ke selatan dengan selat Malaka, tetapi dekat dengan Cina (Wolters, 2011: 269).
            Kondisi geografis yang mempengaruhi kehidupan kemaritiman Sriwijaya juga menumbuhkan suatu masyarakat pelayar. Jauh sebelum Sriwijaya muncul sebagai kerajaan besar, budaya berlayar sudah ada sejak tarikh pertama masehi untuk penghubung pelayar dari India dengan berbagai kepentingannya menuju ke Cina. Sriwijaya yang muncul sekitar abad ke-7 Masehi, sudah barang tentu telah mewarisi budaya tersebut dan mengantarkan kemakmuran bagi masyarakat Sriwijaya yang juga berperan serta dalam kemajuan perdagangan di wilayah kekuasaan Sriwijaya.
Perluasaan Tanah di Pusat Kerajaan (Palembang dan Jambi)
            Coedes 1918 dalam Soekmono. R (1972: 28) menyatakan bahwa pusat kerajaan Sriwijaya terletak di Palembang. Pendapat Coedes menemui banyak penolakan dari para ahli sejarah. salah satu ahli yang menolak teori Coedes yaitu Moens. Moens, dalam (8-9) mengugkapkan pendapatnya berdasarkan pengetahuan geografi dari Cina dan Arab, Sriwijaya tidak pernah berpusat di Palembang. Pada mulanya, pusat kerajaan itu terletak di pantai timur Malaya, kemudian berpindah ke Sumatera Tengah dekat Muara Takus. Soekmono dalam (Poesponegoro. M., D. & Notosusanto. N, 2008: 104) menentang Pendapat Moens dengan pernyataan teorinya bahwa dari segi Arkeologinya tidak ada bahan yang dapat meyakinkan dapat menyokong pendapat Moens. Menurutnya letak pusat kerajaan Sriwijaya berada di garis katulistiwa yang di duga kuat berada di Jambi.
            Meskipun sampai saat ini masih terjadi perbedaan pendapat diantara kalangan sejarawan tentang lokasi pusat kerajaan Sriwijaya, berpedoman dengan temuan-temuan arkelogi dan berita-berita dari Cina dapatlah di perkuat bahwa letak pusat Sriwijaya berada di sekitar Palembang dan Jambi. Suatu kajian yang penting yang harus dikekmukakan yaitu tentang pengkajian geografis letak garis pantai Palembang dan Jambi. Sebagai wilayah yang di duga kuat sebagai letak pusat Kerajaan Sriwijaya sangat penting kiranya dilakukan kajian geografis untuk mengetahui perkembangan wilayah ini.
            Palembang dan Jambi terletak di tepi laut, Palembang pada ujung jazirah yang berpangkal di sekayu, dan Jambi pada sebauah teluk yang menjorok kedalam sampai di Muara Tambesi. Pelebaran pantai baru di mulai pada awal tarikh Masehi, akibat pengendapan yang begitu signifikan dari Sungai Musi yang membawa endapan lumpur dari daerah pedalam. Selama tujuh abad lamanya wilayah Palembang dan Jambi mengalami perubahan yang sangat signifikan (Soekmono. R, 1972: 31-34)
            Teori diatas diperkuat dengan penelitian yang telah dilakukan di Situs Karanganyar. Situs Karanganyar terletak pada dataran alluvial bertanah lunak akibat proses pengendapan lumpur Sungai Musi yang terjadi berabad-abad lamanya, tepatnya berada pada sebuah kelokan (meander) di depan muara Sungai Keramasan. Belahan utara Sungai Musi sudah sejak lama diketahui sebagai lokasi sejumlah situs arkeologi yang berasal dari abad VII s.d XV Masehi, di antaranya adalah situs Kambang Uglen, Padangkapas. Ladangsirap, dan Bukit Seguntang yang letaknya berdekatan dengan situs Karanganyar (Soekanto. T., W, 1993: 27)
            Selama kekuasaan Sriwijaya berlangsung, tujuh abad lamanya Palembang dan Jambi yang diduga kuat sebagai pusat kerajaan mengalami perluasan tanah. Perluasan ini disebabkan kejadian alam dimana telah terjadi pengendapan lumpur yang dibawa oleh Sungai Musi dari pedalaman menuju arah pesisir. Hasil endapan tersebut semakin tinggi dan melebar menjadi suatu daratan dengan tanah alluvial. Jambi yang semula berbentuk cekungan lambat laun melebar menjorok ke arah timur dan menghilangkan bentuk cekung tersebut akibat perluasan tanah yang terjadi.
            Namun, lama-kelamaan terjadinya pendangkalan sungai Musi dan menjauhnya garis pantai, berakibat tertutupnya akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan. Komoditas berharga dan sumber pangan yang semula datang dengan mudah menjadi terhambat dan berhenti. Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang di sebarkan oleh pedagang-pedagang Arab dan India. Dengan demikian berdasarkan teori Determinisme Lingkungan yang menyatakan lingkungan geografis Kerajaan Sriwijaya sangat tergantung pada kondisi geografis di Selat Malaka dalam mempengaruhi perkembangan dan kejatuhan kerajaan terlihat ketika Selat Malaka yang telah dikuasai oleh Kerajaan Cola setelah penyerangan awal abad ke-11 menyebabkan perekonomian Sriwijaya sulit berkembang karena daerah-daerah vassal Kerajaan Sriwijaya seperti Kedah di Semenanjung Malaka mulai melepaskan diri sebagai negara merdeka, memanfaatkan peluang kemerosotan Sriwijaya dengan membuka kembali rute laut-darat laut melintasi Tanah Genting Kra (Hamid, 2013: 64).
Tahun 1178, terjadi perubahan dalam kerajaan Sriwijaya. Kekuasaan di Sumatra diambil alih oleh raja Malayu, demikian juga negeri-negeri bawahannya (vassal). Raja tersebut yaitu Trailokyaraj Maulibushanawarmadewa, dengan gelar maharaja crimat (perpaduan antara gelar raja Sriwijaya, maharaja dan gelar raja melayu, crimat). Padahal sejak tahun 683, Malayu merupakan negeri bawahanSriwijaya. Tetapi tahun 1225, Malayu sudah merdeka. Bahkan menggantikan kedudukan Sriwijaya di Palembang. Palembangpun menjadi negara bawahan (Muljana, 2006: 289).



BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Lokasi Malayu di Jambi dijadikan pegangan untuk melokalisasikan Sriwijaya. Keterangan geografi yang ditemukan dalam karya-karya I-tsing cukup jelas untuk menetapkan lokasi Sriwijaya pada abad ketujuh. Sampai sekarang keterangan geografi itu kurang mendapat perhatian, padahal keterangan geografi itu memberikan penjelasan tentang lokasi Sriwijaya terhadap Malayu, dan berasal dari orang yang mengenal baik tempat-tempat yang bersangkutan itu sendiri. Menurut I-tsing Sriwijaya terletak di sebelah timur/tenggara Malayu.
            Dalam perkembangannya Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada abad ke-7 dan ke-8. Raja yang terbesar pada masa Sriwijaya adalah Balaputradewa. Sejak pemerintahan Darmasetu Sriwijaya membangun kerajaan menjadi besar. Dengan armada lautnya yang kuat Sriwijaya menguasai jalur perdagangan. Hal ini dikarenakan letaknya strategis, Sriwijaya menguasai selat Malaka, Sunda, Semenanjung Malaka dan tanah genting sebagai pusat perdagangan, melimpahnya hasil bumi Sriwijaya. Kejayaan Sriwijaya terlihat pada bidang kehidupan politik, sosial, dan ekonominya.
Letak geografis Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka mempengaruhi perkembangan Kerajaan Banten seperti diadakannya aneksasi (invasi) kepada negara-negara atau daerah-daerah yang berada di Selat Malaka untuk menguasai lalu lintas perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka dan juga sebagai pengamanan negara Sriwijaya. Namun, kondisi geografis di Selat Malaka juga merupakan salah satu factor yang mempengaruhi kejatuhan kerajaan terlihat ketika Selat Malaka yang telah dikuasai oleh Kerajaan Cola setelah penyerangan awal abad ke-11 menyebabkan perekonomian Sriwijaya sulit berkembang. Dan banyak negara bawahan yang melepaskan diri, sehingga Sriwijaya mengalami kemunduran.
3.2  Saran
Pemerintah seharusnya lebih memberikan perhatian kepada tempat-tempat yang bernilai historis, tidak hanya tempat tetapi juga segala hal yang berbau sejarah. Bung Karno pernah berkata, “JAS MERAH”!
DAFTAR RUJUKAN
Budi U, Bambang. 2008. Belajar Dari Datu Sriwijaya: Bangkitlah Kembali Bangsa Bahari. Makalah yang disampaikan pada Seminar Satu Abad Kebangkitan Nasional pada tanggal 27-29 Mei 2008 di Auditorium Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jl. Salemba Raya 28 A, Jakarta Pusat.

Deni Prasetyo. 2009. Mengenal Kerajaan Kerajaan Nusantara. Jakarta: Angkasa.

Halimi. A., J. 2008. Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu. Kuala Lumpur: Utusan            Publication.

Hamid, Abd. Rahman. 2013. Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Iskandar. M. 2005. Wacana Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya. Dalam -- (Ed.), Nusantara dalam Era Niaga sebelum Abad ke-19 (hlm. 175-190). Jakarta: Yayasan Obor    Indonesia.

Kaplan, David. & Robert A. Manners. 2012. Teori Budaya. Pengantar: P.M. Laksono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kartodirjo, Poesponegoro, & Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indonesia II. --: P.T. Grafitas.

Kurnia, Nia. & Irfan, Sholihat. 1983. Kerajaan Sriwijaya: Pusat Pemerintahannya dan perkembangannya. Jakarta: PN  Balai Pustaka.

Muljana, Selamet. 2006. Sriwijaya. Jakarta: PN Yayasan Idayu.

Muljana, Slamet. 1981. Kuntala, Sriwijaya & Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu.

Muljana, Slamet. 2008. Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS.

Poesponegoro. M., D. & Notosusanto. N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno.           Jakarta: PT Balai Pustaka.

Pramono. D. 2005. Budaya Bahari. Jakarta: Gramedia Pusataka Utama.

Soekanto. T., W. 1993. Induk taman Purbakala Sriwijaya di Karanganyar, Palembang.     Jakarta: Proyek Pelestarian atau Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dana Purbakala.

Soekmono. R. --. Criwijaya, Cailendra dan Sanjaya. Dalam -- (Ed.), Tentang Lokasi Sriwijaya  (hlm. 28-41). --:--.

Wolters. 2011. Kemahrajaan Maritim Sriwijaya & Perniagaan Dunia: Abad III – Abad VII. Jakarta: Komunitas Bambu.

Tidak ada komentar: