Selasa, 26 Juli 2016

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN GRESIK SEBAGAI KOTA PELABUHAN PESISIR UTARA PULAU JAWA


PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN GRESIK SEBAGAI KOTA PELABUHAN PESISIR UTARA PULAU JAWA

Oleh:
Slamet Rohman         120731400288


A. Jejak Awal Peradaban Islam di Gresik
1.      Jejak Awal Penyebaran Islam di Nusantara Hingga ke Jawa
Kehadiran Islam di berbagai daerah di Nusantara tidak bersamaan. Islam masuk ke Nusantara melalui jalur pelayaran dan perdagangan Internasional yang sudah di mulai sejak awal berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara terutama Sriwijaya dan Majapahit, sebelum Islam masuk ke Nusantara terlebih dahulu dua kerajaan besar tersebut telah menguasai hampir seluruh bagian Nusantara beserta wilayah pelayaran dan perdagangannya. Kemunculan kerajaan Sriwijaya berkisar pada abad ke-7 Masehi[1]. Mulai permulaan abad ke-15 muncul beberapa kerajaan Islam di bagian Utara Pulau Sumatra dan semenanjung Tanah Melayu.[2]
Mengetahui lebih awal tentang masuknya islam sebelum terbentuknya sebuah kerajaan islam seperti yang di jelaskan pada uaraian sebelumnya, berdasarkan prasasti lingor 775, kekuasaan Sriwijaya telah sampai ke daerah kedah. Sekitar abad ke-9 terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh petani-petani Cina Selatan terhadap kekuasaan T’ang masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889) di mana Orang-orang Muslim turut serta dalam pemberontakan tersebut dan mengakibatkan banyak orang Muslim yang di bunuh dan akhirnya mereka mencari perlindungan ke kedah yang telah menjadi kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya yang pada keuasaanya sampai ke Kedah melakukan perlindungan terhada Orang-orang Muslim tersebut.[3] Uraian berikut memberi bukti kedatangan Islam di wilayah Nusantara pada masa Sriwijaya di awali dari Katon lalu berpindah ke Kedah menuju Palembang dan sekaligus menjadi awal Islamisasi di Sumatra sekaligus di Nusantara yang menyebabkan berdirinya sebuah kerajaan Islam Nusantara yang pertama di pesisir laut timur, Lhok Seumawe yaitu Samudra Pasai sekitar abad ke-13 dan akibat dari Islamisasi di daerah-daerah pesisir utara pulau Sumatra yang telah di lewati oleh para pedagang Islam dan melemahnya Kerajaan Sriwijaya karena adanya ekspedisi pamalayu yang dilakukan oleh Kerajaan yang berada di pulau Jawa yaitu Singhasari-Majapahit.
Bedasarkan uraian-uraian diatas jelas di sebutkan Kerajaan Islam yang pertama adalah Samudra Pasai yang berada di Aceh Utara akibat dari keruntuhan Sriwijaya dari Kerajaan Majapahit. Keruntuhan Sriwijaya di gantikan oleh Majapahit yang menjadi penguasa sesudah Sriwijaya dan Majapahit menguasai hampir semua yang telah di kuasai oleh Sriwijaya sebelumnya, termasuk Samudra Pasai. Akibat dari kekacauan yang terjadi akibat perebutan-perebutan kekuasaan di kalangan raja-raja. Kekacauan tersebut mengakibatkan melemahnya pemantauan terhadap daerah kekuasaan yang jauh dari pusat ibu kota dan berdampak pada keberhasilan Samudra Pasai dan Malaka dalam mencapai puncak kejayaan hingga abad ke-16.[4]
Sebelum kemunduran Kerajaan Majapahit terjadi telah terlebih dahulu ada hubungan perdagangan yang terjadi di Pesisir Utara Pulau Jawa dengan pedagang Islam terutama dari kerajaan Samudra Pasai.[5] Uraian berikut memberikan bukti bahwa pada masa kekuasaan Majapahit telah ada hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Muslim yang memungkinkan adanya Islamisasi di Utara Pulau Jawa pada saat Majapahit masi berkuasa, seperti yang pernah terjadi sebelumnya yaitu Islamisasi yang terjadi di Utara Pulau Sumatra pada masa kekuasaan Sriwijaya. Kemungkinan atas analisis tersebut masih belum cukup dapat menguatkan akan pendapat bahwa Islamisasi yang terjadi di Pulau Jawa yaitu di awali pada masa-masa Majapahit Masih Berkuasa, sebab saat Majapahit masih berkuasa Hindu masih kental melekat di masyrakat Jawa kususnya Jawa Timur, adapun kemungkinanan sangat kecil. Bukti peninggalan bahwa terjadi kontak dengan Islam yaitu batu Nisan Kubur Fatimah binti Maimun di leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H (1082 M)[6]. Bukti tersebut tidak dapat di jadikan landasan sebagai anggapan bahwa telah terjadi Islamisasi di pulau jawa, karena jelas bukti tersebut menuliskan angka tahun sekitar abad ke-11dan pada tahun ini Majapahit jelas masih menguasai dan masih berada pada kejayaanya, akan tetapi bukti tesebut dapat membuktikan bahwa pada masa kejayaan Majapahit wilayah Gresik merupakan daerah yang sangat berarti bagi Majapahit maupun pedagang Islam tersebut. Bukti tersebut juga memberikan informasi yang penting untuk menganalisis orang beraliran apakah yang datang ke Pulau jawa kususnya Gresik sebagai tempat penemuan bukti arkeologi tersebut.
Menganalisis nisan tersebut, tulisan yang terdapat pada nisan tersebut adalah tulusisan Arab yang bergaya kufi. Besar kemungkinan pedagang n Islam yang berdatangan  dipulau jawa umumnya adalah beraliran sufi.[7]

2.      Proses Islamisasi di Gresik

Uaraian sebelum telah di jelaskan bukti kedatangan Islam di jawa adalah di kota Gresik. Bukti tersebut tidak dapat di jadikan sebagai acuan terhadap proses Islamisasi di pulau Jawa Kususnya pelabuhan utara pulau Jawa. Beberapa bukti yang lebih dapat untuk di jadi acuan diantaranya yaitu penemuan beberapa puluh nisan kubur di Troloyo, Trowulan, dan Gresik pada sekitaran abad ke-13. [8]Bukti tersebut bisa di jadikan sebagai acuan awal mulainya ada proses Islamisasi yang terjadi di jawa Timur kususnya kota Gresik. Bukti tersebut menerangkan angka tahun sekitar abad ke-13 yaitu, Majapahit saat itu masih Berjaya dan masih menguasai seluruh nusantara dengan baik, namun tetap bukti tersebut dapat di jadikan acuan bahwa pada abad tersebut mulai terjadi Islamisasi di kota Gresik meskipun tidak terlalu siknifikan di bandingkan dengan masa yang mendatang karena jelas bahwa Majapahit masih menguasai daerah Gresik dan daerah sekitarnya maupun Nusantara.
Berita Ma-huan tahun 1416 yang menceritakan orang-orang Muslim yang bertempat tinggal di Gresik, mebuktikan bahwa baik di pusat kerajaan Majapahit maupun di pesisir, terutama di kota-kota pelabuhan, telah terjadi proses Islamisasi dan terbentuknya masyarakat Muslim.[9] Berita Ma-huan tersebut meberikan informasi yang kongkrit tentang terjadinya Islamisasi yang terjadi di Kota Gresik. Jelas di uraikan pada berita Ma-huan bahwa telah terbentuk masyarakat Muslim dan memungkin bahwa adanya mobilitas sosial yang terjadi di kalangan orang Muslim tersebut. Mobilitas yang kemungkinan terjadi tersebut mendorong para masyrakat muslim untuk melakukan dominasi terhadap kehidupan sosial di masyarakat sekitar Gresik yang masih kental dengan Agama Hindu. Dominasi tersebut mungkin juga terjadi pada aspek politik, budaya, ekonomi dan lain sebagainya.
Dominasi tersebut kemungkinan benar terjadi, karena menurut berita tradisi kerajaan Majapahit telah runtuh tahun 1478 M.[10] Berdasarkan berita dari mahuan tersebut jelas di katakan angka tahun yaitu 1416 yang hampir bersamaan dengan keruntuhan kerajaan Majapahit. Menganalisis berita tersebut dengan tahun keruntuhan Majapahit, kemunkinan besar telah terbentuk subuah masyarakat Muslim di pesisir pantai Gresik lebih awal dari pada tahun yang di informasikan oleh Ma-huan, kerena berdasarkan informasi yang di dapat dari berbagai sumber  telah terjadi kekacauan-kekacauan di pusat pemerintahan Majapahit sebelum keruntuhanya serta di lihat dari letak geografis dan jalur perdagangan pesisir merupakan tempat persinggahan dan tempat perdagangan pertama oleh para pedagang, oleh karena itu lah kemungkinan besar yang lebih dahulu terbentuk masyarakat muslim adalah di daerah pesisir kusunya pesisir kota Gresik, yang sejak kejayaan Majapahit telah menjadi Bandar besar dalam perdagangan dan pelayaran Internasional
. Uraian diatas menguatkan akan analisis bahwa telah terjadi Islamisasi di pesisir pantai maupun pusat kota Gresik dan kuat sekali akan anggapan bahwa telah terjadi dominasi sosial oleh masyarakat muslim yang bermikim di Gresik karena telah terjadi kekacauan di Majapahit sehingga mengakibatkan melemahnya pantauan akan perdagangan maupun kehidupan sosial masyarakatnya serta kepercayaan penduduk Agama Hindu kepada kerajaannya menjadi luntur dan memungkinkan untuk penduduk tersebut terpengaruh dan mengikuti ajaran Islam yang telah bebas berkembang di pusat maupun pesisir kota Gresik.
Proses Islamisasi mencapai kekuasaan politik yang memunculkan kerajaan besar yang pertama di Jawa yaitu Demak. Sebagaimana telah dikatakan, bahwa karena situasi dan kondisi politik di Majapahit yang lemah karena pepecahan dan peperangan di kalangan keluarga raja-raja dalam perebutan mkekuasaan, maka kedatangan dan penyebaran Islam makin di percepat. Bupati-bupati pesisir kususnya pesisir kota Gresik merasa bebas dari pengaruh kekuasaan raja-raja Majapahit. Kebebasan tersebut meyakinkan akan kekuasaanya sendiri di segala bidang kehidupan sosial.

3.      Perkembangan Islam di Gresik

Pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang didirikan oleh para ulama. Ulama mendidik santri-santrinya dari berbagai daerah Nusantara. Gresik merupakan daerah yang memiliki lpengaruh yang kuat terhadap perkembangan dan penyebaran Agama Islam. Gresik merupakan kota pesantren, Maulana Malik Ibrahim mendirikan pondok pesantren yang berada di Gapuro Gresik, sedangkan yang lebih muda lagi dari Maulana Malik Ibrahim adalah raden Patah (Sunan Giri) di bukit Giri-Gresik[11]. Santri datang dari berbagai daerah, Maluku, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan daerah lain di sekitarnya. Uraian tersebut jelas memberikan informasi tentang peran KotaGresik sebagai kota pesisir selain berguna sebagai jalur perdagangan Nusantara tapi juga sebagai jalur penyebaran Agama Islam di Hampir seluruh pulau di Nusantara yang menciptakan Raja-raja baru yang bernuansa Islami begitu juga para rakyatnya.
Menganalisis tentang pendirian pesantren oleh para sunan yang termasuk salah satu dari Wali Songo, terlebih lagi Malik Ibrahim adalah perintis teritorial dakwah dan setelah wafat di gantikan oleh Sunan Giri (Raden Patah), peran wali dalam penyebaran Agama Islam di Gresik tersebut memberikan gambaran bahawa para wali mengambil peran penting dalam penyebaran agama di kota Gresik.

B. Perdagangan  dan Pelayaran Pelabuhan Gresik

1.      Pelabuhan Gresik Sebagai Pusat Pelayaran

Gresik merupakan kota pesisir yang sudah lama menjadi tempat perdagangan melaluai jalur perdagangan. Dari jaman Majapahit sampai kekuasaan Islam, Gresik merupakan pelabuhan yang ramai di datangi oleh para saudagar. Sebelum Gersik menjadi pelabuhan yang besar dan banyak di kunjungi oleh para pedagang atau saudagar dari berbagai daerah maupun manca negara, pada abad ke-11 terlebih dahulu adalah Tuban sebgai pelabuhan terbesar dan teramai sebelum Gresik. Menurut sumber yang ada, pada akhir abad ke-16 kapal-kapal yang mengunjunginya sudah berkurang. Tuban dikelilingi tembok yang tebal dan tidak mudah dikalahkan. Tome’pires maupun pengunjung-pengunjung Belanda yang singgah di Tuban pada tahun 1599 sangat kagum akan kekayaan yang di pamerkan, antara lain ada pawai dari Gajah, kuda dan anjing. Abad ke-16 kapal-kapal dagang seperti yang telah di sebutkan tadi lebih suka di Gresik dari pada di tuban. Sumber-sumber tidak memberikan kejelasan akan penyebab masalah ini, tetapi yang paling mencolok bahwa pada waktu ini Tuban menggunakan kekerasan untuk memaksa kapal-kapal datang kepelabuhannya.[12]
Kapal-kapal yang berlayar dari Banjamasin ke Gresik di cegat oleh Tunban tiga kali. Berita lain menyatakan bahwa jung-jung cinapun dipaksakan masuk ke Tuban. Pernah terjadi pertempuran di laut yang berakhir dengan kekalahan jung Cina, dan seluruh muatannya di sita. Persaingan antar pelabuhan kota tersebut turut melemahkan politik ekspansi Mataram. Pada tahun 1619 Tuban di kuasai oleh Mataram, lalu disusul oleh Gresik pada tahun 1623 dan Surabaya pada tahun 1625, tetapi pada tahun tersebut seluruh pesisir telah di kuasai penuh oleh Sultan Mataram yakni sultan Agung. Pelabuhan-pelabuhan yang di sebut itu, Bandar Gresik merupakan pelabuhan yang utama.[13] Uarai berikut memberikan kejelasan bahwa kota pepesisir Gresik pernah di curangi oleh pelabuhan yang bertetangga dengan Gresik yang tidak dapat menerima perkembangan pelabuhan di Gresik sehingga pihak dari Tuban melakukan kecurangan-kecurang yang menyebabkan peperangan dan pertumpahan darah.
Menganilis lebih dalam tentang persaingan tersebut, memang benar jika persaingan-persaingan tersebut dapat melemahkan ekspansi Mataram yang bertujuan menguasai dan menyatukan seluruh pesisir utara pulau Jawa. Setelah Gresik, Tuban, Surabaya, dan wilayah-wilayah yang lain  dapat di kuasai oleh Mataram perselisihan tersebut namapaknya dapat di hentikan, karena berada di dalam kekuasaan Mataram yang mungkin menginginkan pelabuhan-pelabuhan tersebut bersatu. Pada kenyataannya pelabuhan Gresik yang tetap memiliki eksis tensi dalam jalur pelayaran dan perdagangan, dan terbukti semakin ramai.

2.      Ekspor dan Impor

Awal abad ke-16 Banda mengimpor kain dan tenunan halus dari negri-negri Asia di sebelah barat, yang di bawa oleh kapal-kapal Portugis menurut catatan Pires. Pedagang-pedagang kecil dari Jawa dan Melyu membawa tenunan kasar menurut pires. Raja Gresik juga sering memborong kain-kain halus dan sutra yang di masukan kebandarnya dengan maksut untuk mengimpornya lagi ke Banda dan tempat lain di Maluku. Kain halus tersebut tidak hanya diperlukan sebagai pakaian raja dan keluarganya serta kaum bangsawan lainnya, tetapi disimpan sebagai harga bersama barang lain, seperti gong tembaga, gading dan tembikarhalus.[14]
Pelabuhan-pelabuhan di pantai utara pulau Jawa mengumpulkan beras dari pedalaman, sehingga merupakan tempat singgah yang penting bukan hanya untuk mencukupibekal pelayaran tetap iuntuk di bawa kedaerah rempah-rempah itu (Poesponegor & Notosusanto. 1993:149). Menganalisis uraian berikut pengumpulan beras tersebut pastilah banyak terjadi di pelabuhan Gresik, karena seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa sejak kemunduran pelabuhan Tuban yang berkembang pesat setelahnya adalah Gresik, oleh karena itu patut untuk menganalisis hal tersebut karena ada sumber yang dapat menguatkan pendapat tersebut.
Meskipun uraian tersebut tidak secaraditail menjelaskan jenis-jenis barang yang di ekspor dan di impor oleh pelabuhan gresik, akan tetapi sudah ada sedikitbukti dari penjelasan diatas bahwa Gresik juga melakukan Ekspor dan impor, meskipun barang yang di perdagangkan bukan hasil dari daerah sendiri, namun hasil ekspor impor tersebut bisa menjadi bukti bahwa pelabuhan Gresik merupakan tempat perdagangan yang ramai dan besar.



[1] M. D. Poesponegoro. N. Notosusanto, “ Sejarah Nasional Indonesia II (zaman Kuno), 2010, hlm. 67
[2] M. D. Poesponegoro. N. Notosusanto, “ Sejarah Nasional Indonesia II (zaman Kuno), 2010, hlm. 94
[3] M. D. Poesponegoro. N. Notosusanto, “ Sejarah Nasional Indonesia III,1993, hlm. 2, Syed Naguib al-Attas mengatakan bahwa Orang-orang  Muslim yang di perkirakan sejak abad ke-7, telah memiliki perkampungan di Katon menunjukan kegembiraannya menyaksikan derajat keagamaan yang tinggi dan otonomi pemerintah: dimana mereka akan memelihara kelangsungan perkampungan serta organisasi masyarakatnya di Kedah dan Palembang.

[4] M. D. Poesponegoro. N. Notosusanto, “ Sejarah Nasional Indonesia III,1993, hlm. 4
[5] M. D. Poesponegoro. N. Notosusanto, “ Sejarah Nasional Indonesia III,1993, hlm. 5, Pertumbuhan masyarakat Muslim di sekitar Majapahit dan terutama di beberapa kota pelabuhannya erat pula hubunganya dengan perkembangan pelayaran yang di lakuan orang-orang Muslim yang telah mempunyai kekuasaan ekonomi dan politik di Samudra Pasai dan Malaka.
[6] J.P Moquette, “Mohammedaansche inscriptie of java : M. D. Poesponegoro. N. Notosusanto, “ Sejarah Nasional Indonesia III,1993, hlm. 4
[7] S.S. Mustakim, Artikel, Islamisasi di Kota Gresik.
[8] M. D. Poesponegoro. N. Notosusanto, “ Sejarah Nasional Indonesia III,1993, hlm. 4
[9] M. D. Poesponegoro. N. Notosusanto, “ Sejarah Nasional Indonesia III,1993, hlm. 5
[10] M. D. Poesponegoro. N. Notosusanto, “ Sejarah Nasional Indonesia II,2010 hlm. 477
[11] S.S. Mustakim, Artikel, Islamisasi di Kota Gresik.
[12] M. D. Poesponegoro. N. Notosusanto, “ Sejarah Nasional Indonesia III,1993, hlm. 128
[13] M. D. Poesponegoro. N. Notosusanto, “ Sejarah Nasional Indonesia III,1993, hlm. 128
[14] M. D. Poesponegoro. N. Notosusanto, “ Sejarah Nasional Indonesia III,1993, hlm. 144