KONSEP
DAN PENERAPAN PENDIDIKAN PADA MASA YUNANI (V-IV SM) DAN ROMA KUNO (300 SM-2 M)
Oleh:
Slamet Rohman
A. Konsep
Pedidikan dan Penerapan Yunani
a. Pendidikan
Spartan
Sparta
pada masa keemasannya (VIII-VII SM) berbeda dengan Sparta pada masa kemerosotan
(V-IV SM). Sparta berubah seratus delapan puluh derajat ketika para tiran naik
kuasa sekitar tahun 550 SM. Pendidikan karakter yang mulanya bersifat humanis
berubah menjadi komunitaris yang anti demokrasi (Koesoema, A., D. 2007: 19).
Undang-undang Licurgus menghendaki
bangsa Sparta memenuhi tugas untuk mempertahankan Sparta. Meskipun
Undang-undang ini sebelum abad ke-8 tetapi baru bersifat militer
sungguh-sungguh pada abad ke-7 SM (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 83-84). Sangat berbeda dengan
Konsep pendidikan di Athena yang mengedepakan Demokrasi. Pada masa ini,
tergambar suatu konsep pendidikan yang mengutamakan kekerasan dalam mengolah
fisik sesorang untuk disiapkan menjadi seoarang serdadu dalam menjaga dan
melindungi negara polis dari serangan musuh.
Pada
masa ini, terjadi degenerasi, yang menyebabkan daerah kekuasaan Sparta menjadi
sempit, tetapi wilayahnya terus bertambah. Maka
dalam masyarakat timbul golongan melarat, aristokrasi jatuh. Letak geografis
Sparta sendiri mengharuskan adanya suatu negara yang bertentara kuat, ditambah
lagi dengan pemberontakan penduduk asli. Jadi problem yang umum dihadapi Sparta
ialah mempertahankan diri dari musuh di luar dan di dalam (Agung, S, L &
Suparman, T. 2012: 83-84). Masalah-masalah yang dihadapi oleh Sparta,
mengharuskan untuk menciptakan suatu konsep pendidikan yang bersifat
militeristik. Kondisi seperti ini, mendorong Sparta untuk menciptakan suatu
pedidikan bagi warga negaranya yang bersifat keras, disiplin, dan cinta
kepada tanah air.
Pada
tahun 550 SM, arete
tidak hanya dipahami lewat idealisme menjadi serdadu yang mengutamakan semangat
patriotisme, namun negara sebagai institusi tertinggi mengambil alih secara
total kinerja edukatif dalam arti yang sesungguhnya. Dalam artian ini,
pendidikan karakter Spartan bersifatnya
tiranis, totalitarian, komunal (Koesoema, A., D. 2007: 19). Konsep pendidikan
militeris tumbuh dan berkembang di Sparta pada masa-masa ini. Uraian berikut
memberi gamabaran, pada masa ini, Sparta sangatlah mengutamakan pendidikan yang
bersifat militeris, dengan mengembangkan pemahaman tentang arĂȘte. Pendidikan
Sparta memperlihatkan suatu pengajaran yang bertujuan untuk membentuk suatu
pertahan militer negara yang kuat dengan membentuk serdadu-serdadu perang.
Dalam
konteks rezim tiranis militeris, pendidikan karakter bagi negara terutama
diarahkan pertumbuhan keutamaan moral sebagai warga negara terutama diarahkan
pertumbuhan keutamaan moral sebagai warga negara yang memiliki cinta secara
total kepada tanah air, menghargai nilai kekuatan dan kekerasan, mengutamakan
latihan fisik demi kesiapan tempur, dan ketaatan total pada tanah air (patria) (Koesoema,
A., D. 2007: 19). Seperti yang telah
dijelaska sebelumnya, Sparta memiliki ciri tersendiri pada masa itu, pendidikan
di selenggarakan oleh negara dan hanya untuk warganegara merdeka. Pendidikan
tersebut didasarkan dua asas, yaitu anak
adalah milik negara dan Tujuan pendidikan
adalah membentuk serdadu-serdadu pembela warga negara (Kumalasari, D. 2008:--).
Tirteo
merupakan tokoh yang dimiliki oleh Sparta. Perannya dalam mengubah pandangan pemahaman terhadap arete
homerian menjadi menjadi kepahlawanan amor
patrio (cinta tanah air). Karya atau
syair yang dibuatnya memiliki peran yang kuat bagi etos pendidikan. Tirteo merupakan juru bicara kolektivitas yang
menyatakan pentingnya relasi mendalam bagi setiap warga negara yang
berpikir lurus untuk menjadi satu kesatuan dengan warga lain dalam cinta total
bagi negara ketika negara mengalami peperangan dan dalam bahaya. Tirteo, mengubah
arete
homerian menjadi kepahlawanan amor patrio
(cinta tanah air) (Koesoema, A., D. 2007: 19-20). Peran Tirteo dalam meluaskan
pandangannya terhadap arete
sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep pendidikan yang sebelumnya lebih
santun kini berubah menjadi totaliter, militer dan mengedepankan watak keras.
Gambaran
idealisme Homerian yang sifatnya sangat aristokratis individual berubah menjadi idealisme
kepahlawanan yang sifatnya kolektif, yang menjadi idealisme bagi setiap warga
polis, suatu totalitas pemberian diri kepada negara. Semangat cinta tanah air
yang di promosikan oleh Tirteo senantiasa menjadi jiwa dan semangat baru bagi
setiap warga negara. Ethos baru ini tidak hanya menjadi ciri pendidikan
karakter ala Sparta, namun nilai-nialai heroisme yang mengatasi kepentingan
individu, yang memuncak dalam semangat pengorbanan diri, miliki nilai
trasendental berupa kebaikan sebuah komunitas. Nilai pengabdian dan cinta tanah
air ini mengatasi batas-batas Spartan, bahakan ditiru oleh kota yang anti Sparta, seperti Athena,
ketika ia memberikan penghormatan bagi warga negaranya yang juga gugur di medan
perang (Koesoema, A., D. 2007: 19-20-21). Uraian berikut menggambarkan suatu
usaha pembentukan sebuah pendidikan yang di landaskan pada nilai-nilai
patriotik, atau bahkan mungkin inilah cikal-bakal dari suatu pendidikan yang
mengutamakan pada kecintaanya kepada tanah air. Menjadi seorang serdadu dalam
rangka membela dan melindungi tanah air merupakan suatu keharusan bagi setiap
warga Sparta dan menjadi sebuah keyakinan bahwa hal tersebut dapat
menyempurnakan kedudukannya sebagai manusia yang di fahami dari arĂȘte
kepahalawan Tirteo.
Konsep pendidikan yang
seperti ini, membuat
anak laki-laki lebih mendapat prioritas. Orang tua tidak mempunya kekuasaan
terhadap anak. Tidak ada yang dinamakan rumah tangga di dalam masyarakat
Sparta. Orang tua hanya berhak atas anak samapai anak umur 7 tahun, sesudah
umur negara yang menguasai. anak mendapat latihan yang dititik beratkan pada
jasmani dan militer. Anak yang lemah dibunuh. Mereka dilatih untuk menghadapi musuh
Sparta. Membaca dan menulis tidak mempunyai arti bagi negara. Untuk latihan
militer bagi laki-laki dan perempuan boleh dikatakan sama. Hanya pada perempuan
kurang keras (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 84). Terlihat begitu keras
pendidikan pada anak-anak yang masih berusia dini. Demi melahirkan
serdadu-serdadu yang kuat dan tangguh, pendidikan ala militeris sudah diberlakukan
sejak dini. Bukan saja laki-laki namun seorang perempuanpun juga menjadi
sasaran konsep pendidikan sedemikan rupa. membaca dan menulis hanyalah
membuang-buang waktu untuk dapat mencetak kader-kader serdadu perang yang kuat
dan sangat terlatih.
Secara
resmi anak dibawa negara dari umur 7 sampai 18 tahun. Sesudah umur 18 tahun
mereka mendapat latihan disiplin yang sangat berat, dan di bawa keluar daerah
diawasi secara rahasia. Pada umur 20 tahun percobaan selesai, anak dipilih
menjadi anggota perkumpulan. 10 tahun kemudian menjadi anggota penuh. Mereka
harus mengikuti terus latihan berperang. Undang-undang mereka ditempatkan di
dalam tempat latihan di bawah pimpinan opsir.
Sesudah umur 30 tahun ia boleh kawin tetapi mesti tetap menjadi tentara dan
tinggal di tangsi. Pada umur 30 tahun ia telah menjadi warga negara yang penuh
(Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 84-85). Pendidikan kemiliteran yang
diterapkan oleh Sparta ini terlihat begitu sangat keras dan mengunggulkan
kedisiplinan yang sangat tinggi, bahkan terkesan sangat kejam. Konsep
pendidikan seperti yang telah dijelaskan, telah menciptakan tembok besar yang
menghalangi kebebasan anak-anak Sparta. Kehidupan anak-anak Sparta dalam tempat pelatihan kemiliteran begitu
tertutup dan terjaga sangat ketat, sehingga akan sangat sulit anak-anak Sparta untuk
dapat mengembangkan kemampuan terhadap keahlian yang lain seperti membaca dan
menulis. Terlebih lagi, bagi Sparta membaca dan menulis tidaklah begitu penting
bagi negara
Selain
itu, Pelaksanaan pendidikan anak-anak dibiasakan menahan lapar, tidur di atas
bantal rumput, dan pada musim dingin hanya memakai mantel biasa saja.
Sifat-sifat yang harus dimiliki tentara, seperti keberanian, ketangkasan,
kekuatan, cinta tanah air, dan tunduk pada disiplin selalu mendapat perhatian.
Sebaliknya, pelajaran seperti kesenian dianggap tidak terlalu penting dan
diabaikan. Musik dan nyanyian hanya dijadikan alat untuk mempengaruhi jiwa
dalam melaksanakan dinas ketentaraan (Kumalasari, D. 2008: --). Pakaian mereka
hanya seperlunya saja supaya badan menjadi tahan. Mereka tak bersepatu tak
bertutup kepala. Makan sedikit, tidak boleh sering mandi karena menjadikan
badan lemas (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 85). Pendidikan seperti ini,
dapat dikatakan tidk manusiawi. Sebab kebebasan seseorang tertutup oleh konsep
pendidikan yang mengharuskan serdadu tersebut taat dan harus mau mengambil
resiko untuk terkekang terhadap kebesan yang seharusnya mereka dapatkan.
Pendidikan
yang keras terlihat juga dalam suatu kebiasaan. Tiap tahun didalam rumah suci
“Arthemis Orthia” beberapa pemuda di pukul sampai keluar darah. Dengan demikian
badan diperkebal, keberaian dan kemauan dibentuk. Anak wanitapun mendapat
perhatian meskipun tinggal dirumah tapi semuanya mengikuti undang-undang. Anak
wanita mesti mengikuti permainan seperti berlari, bergumul, melempar lembing,
melempar cakram, supaya
mereka kuat, cakap, serta sehat. Menyanyi dan menari diajarkan pula. mereka
berterus terang mengemukakan pendapatnya, dirumah mereka hidup mewah dan bebas,
sedang suaminya terikat oleh peraturan-peraturan asrama (Agung, S, L &
Suparman, T. 2012: 85).
Uraian diatas memberikan gambaran,
bahwasanya konsep pendidikan yang diterapkan oleh Sparta berlandaskan pada
militeristik. Segala usaha pendidikan dicurahkan pada pelatihan untuk
mempersiapkan serdadu-serdadu perang, guna menjaga dan melindungi tanah Air.
Kecintaan kepada tanah air dan jiwa patriotis sangat di utamakan, guna
menunjang semangat para calon serdadu maupun para serdadu dalam berlatih dan
melindungi tanah airnya. Bangsa Sparta tidak mengalami kemajuan didalam
lapangan estetika dan intelek, meskipun didalam kehidupan memiliki seremoni.
sebab titik beratnya pada kemiliteran. Kedudukan wanita bebas baik diluar
maupun di dalam rumah (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 85).
b.
Pendidikan Athena
Berbeda
dengan Sparta, Athena arkhais (VII-VI SM) memiliki jalur perkembangan kultur
yang lebih terbuka dan demokratis dibandingkan dengan ketertutupan Sparta. Perkembangan kehidupan
kultural dan politik di Athena tidak terlepas dari peranan para legislator dan
tirani, seperti Dacronte, solon, Pisistrato, dan Clistene. Kehadiran mereka
membantu jejak sejarah sosial politik di Athena menuju pada suatu kematangan
Demokrasi dan kehidupan berbudaya yang begitu intens, yang memuncak pada masa
Pericles (495-492 SM). Pelopor pembaharu tata kehidupan Athena adalah Solon
(630-560 SM), seorang intelektual yang belajar banyak dari pengalaman
mengembara di luar Athena. Ia sangat apresiatif atas kehidupan seni dan
kebudayaan (Koesoema, A., D. 2007: 19-22-23). Meskipun terdapat perbedaan
dengan yang sangat siknifikan
antara Sparta dan Athena, namun keduanya memiliki alur sejarah yang hampir
sama, yaitum sama berawal dari yang belum sempurna dan cenderung primitive.
Perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan masyarakat Athena merubah pola pikir
mereka terhadap konsep pendidikan yang baik.
Pada
masa ini Athena mempunyai dua macam sekolah untuk anak laki-laki. Palestra, yaitu sekolah untuk latihan
badan dan Didasscaleum, yaitu sekolah
untuk musik atau kesusastraan. Sekolah ini dibedakan sesuai dengan anak.
Pemisahannya terletak pada yang kaya dan yang miskin. untuk yang kaya biasanya
anaknya bersekolah 16-17 tahun, yang
miskin lebih sedikit daripada itu. Program sekolahnya masih bersifat occational (rencananya selalu
berubah-ubah). Pada zaman ini pula terdapat bentuk sekolah militer untuk anak
yang berumur 18 tahun. Sekolah ini timbul pada 400 SM yang bernama sekolah
Ephibic. Anak muda berumur 21-22 tahun dikirim untuk menjaga tapal batas dan
meneruskan latihan-latihan militer. Di samping itu ada pendidikan informal
yaitu yang berhubungan ikut sertanya anak di dalam keluarga, lapangan sosila,
ekonomi dan politik. Lebih-lebih di zaman transisi yaitu demokrasi berkembang
dengan sebaik-baiknya (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 85).
Sesudah
umur 18-19 tahun mereka harus menunjukan
cinta pada tanah air dan mendaftarkan diri menjadi warga negara (Agung, S, L &
Suparman, T. 2012: 85). Terihat bagaimana, pendidikan Athena, ditujukan agar
anak didiknya dapat mengembangkan potensinya sebagai peserta didik dan pada
akhirnya harus dicurahkan kepada negara. Nampaknya, konsep ini sesuai dengan
tujuan pendidikan yang pada era-era global saat ini. Menurut (Tim Pengembangan
Ilmu Pendidikan (FIP-UPI). 2009: 1), ”Pendidikan juga dapat menjadi wahana baik
bagi negara untuk membangun sumberdaya manusia yang diperlukan dalam
pembangunan juga bagi setiap peserta didik untuk dapat mengembangkan diri
sesuai dengan potensi yang dimiliki”.
Terlihat,
pendidikan Athena telah mengalami perkemabangan yang sangat siknifikan
dibandingkan dengan Sparta yang memfokuskan pendidikan kepada terbentuknya
sebuah kemiliteran yang kuat. Pendidikan di Athena tumbuh lebih kompleks yang
meliputi berbagai aspek bukan hanya dalam militer saja. Sebagai negara, Athena
tetap mengembangkan pendidikan kemiliteran, namun untuk menumbuhkan suatu
negara yang memiliki kebsaran, Athena juga mengembangkan pendidikan yang
berfokus pada pengembangan pola pikir manusia terhadap segala aspek kehidupan.
Melalui pembelajaran Musik dan kesusastraan pola pikir manusia dikembangkan.
Tidak ada batasan lagi antara yang miskin dan kaya, semua mendapatkan
kesempatan untuk menempuh pendidikan yang layak. Sehingga Sumber Daya Msnusia
di Athena notabenya lebih berkembang secara merata. Meskipun perencanaan
pendidikan di Athena masih sering tidak konsisten, terlepas dari itu, pendidikan
di Athena telah mencakup dua aspek yang yang penting dari manusia, yaitu
jasmani dan pola pikir.
Seperti
yang telah dijelaskan di atas,
obyek pendidikan ialah perkembangan individu mengenai badan, akal dan moralnya.
Perkembangan ini di tujukan kesejahteraan individu dan negara. Orang Athena
sangat menghormati individu dan nilai-nilainya. Tujuan sebenarnya yaitu manusia
yang sesungguhnya. Pelajaran musik dan kesusasteraan anak dilatih secara vokal
dan instrumental, maksutnya memberikan pengaruh baik di dalam moral, kultral
dan sifat-sifat yang paedagogis seperti pembentukan pribadi. Kesusasteraan di
sekolah ada gurunya yang istimewa yang mengajar membaca dan menulis syair.
Usaha-usaha ini mempunyai maksut cultural, moral dan intelek (Agung, S, L &
Suparman, T. 2012: 90-91).
Dari
uraian diatas, terlihat bahwa Pendidikan karek juga sangat diperhatikan.
Guru-guru di Athena tidak sekedar mengajar dan menjelaskan, seorang guru juga
mempraktekan bagaimana menulis dan membacakan syair yang baik. Untuk itulah,
pendidikan karakter yang akhir-akhir ini sulit di dapat melalui pendidikan
formal dapat kita bandingkan dengan tujuan pendidikan karakter di Athena yang
juga di terapkan di sekolah. Guru-guru di Athena sebagai makhluk yang daianggap
sempurna oleh peserta didiknya, memberikan contoh dan cara belajar yang dapat
mengembangkan nilai-nilai moral peserta didik. Mendukung pernyataan ini,
menurut (Koesuma, A., D. Mengungkapakan bahwa, 2009: 146) “Pendidikan karakter tidak
akan terjadi melalui pengajaran klasik, kuliah, atau penjelasan didalam kelas.
Lebih dari itu, ”keteladanan” merupakan pengajaran
dasar tentang pendidikan karakter. Nilai-nilai yang tidak diajarkan melalui
keteladanan tidak dapat ditangkap dan
dipahami dengan baik oleh siswa karena indera manusia menangkap apa yang
menjadi fakta daripada norma”.
Sekolah-sekolah
mulai pagi sampai sore dan mendapat latihan di palestra. Latihannya bersifat permainan. Pelajaran dimulai dengan
menghafal syair yang panjang. kemudian guru bercerita panjang sesudah itu
murid-murid disuruh membaca dan menulis kesusastraan (Agung, S, L &
Suparman, T. 2012: 91). Pada masa ini, sudah dikenal model pembelajaran yang
berbasis permainan. Konsep Pembelajaran yang menyenangkan telah diterapkan.
Montessori, seorang seorang tokoh pendidikan, dalam (Sudono, A. 2000: 2),
“menekankan bahwa ketika anak bermain, ia akan mempelajari dan menyerap segala
sesuatu yang terjadi dilingkungan sekitarnya”. Tidak mengherankan jika dengan
konsep yang seperti ini, murid-murid di Athena dapat menyerap dan memahami
betul materi-materi yang diajarkan oleh guru. Karena harus menghafal dan
menulis kesusastraan, model belajar dengan bermain diterapkan, agar peserta
didik tidak bosan dan cenderung akan lebih bersemangat untuk belajar. Tidak
mengherankan jika pada masa yang datang, lahirlah beberapa ilmuan besar dari
Yunani, yang karyanya banyak di pelajari dan dikembangkan oleh ilmuan-ilmuan
pada era-era kini.
Ada
juga sekolah dari golongan radikal (sofis). Perubahan-perubahan di dalam dunia
pendidikan lebih nyata pada pemuda. Masyarakat Athena sangat keras memegang
dasar-dasar demokrasi sehingga orang-orang yang pandai berpidato banyak yang
mendapatkan pengaruh. Dalam Gymnasisum, Sofis member pelajaran dengan bayaran
yang tinggi. inilah yang menyebabkan gymnasium dari tempat latihan badan
menjadi tempat latihan pikiran. Sekolah latihan filsafat dan berpidato
disinilah tempatnya (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 93). Sofis merupakan
sebuah istilah yang memiliki arti positif, yaitu orang yang memiliki
kebijaksanaan, atau guru kebijaksanaan, yang sesungguhnya bertentangan dengan
kalangan intelektual yang hanya bekerja demi perumusan pendapat yang keliru dan
menyesatkan. Secara etimologi, sofis berasal dari bahasa Yunani sofizesthai, yang artinya, mampu
berbicara dengan baik. Di masa lalu, para guru kebijaksanaan ini menampilkan
dirinya di pizza-pizza tempat publik bekumpul (Koesoema, A., D. 2007: 19-25).
B.
Pendidikan Roma
Hellenisme
adalah aliran kebudayaan yang diciptakan oleh ahli-ahli filsafat Yunani
(Hellas). Sejak saat itu bangsa Romawi mulai menyadari arti penting ilmu
pengetahuan. Dengan demikian maka tujuan pendidikan mengalami perubahan: untuk
pembentukan manusia yang harmonis. Pendidikan ratio dan kemanusiaan (humanitas)
menjadi prioritas (Kumalasari, D. 2008:--). Berbeda dengan bangsa Yunani yang
mempunyai watak berpikir. Bangsa Roma ini lebih tertuju pada perbuatan dalam
lpangan kesusastraan tidak mencipta apa-apa hanya meniru. mereka mempunyai
persona cukup terhadap penerimaan ilmu alam dari bangsa Yunani (Agung, S, L
& Suparman, T. 2012: 104). Sebagai peradaban yang lebih muda dari Yunani,
Roma tidak terlalu banyak menciptakan sesuatu yang baru terhadap pendidikan.
Kelibihan Roma dalam memerintah suatu negara di kombinasikan dengan kelebihan
Yunani dalam memikirkan dunia, sehingga pada masa yang datang roma menjadi
suatu negara besar dan kuat dalam segala hal.
Pendidikan
yang secara formal baru timbul pada 300 SM. Pada umumnya sekolah dan
pendidikannya meniru model Yunani. Organisasi dan mata pelajaran di Sekolah
meliputi:
a. Sekolah Ludus
Ludus merupakan sekolah rendah yang
timbul kira-kira 300 SM. Mata pelajarannya meliputi; membaca, menulis,
matematika, dan hukum. Siswanya meliputi anak-anak dari umur 7 tahun sampai 12
tahun. sekolah ini berlangsung kira-kira 200 tahun
b. Sekolah Gramatika (the Gramar School)
Sesudah
300 SM sekolah ini didirikan oleh guru-guru Yunani. Adapun maksutnya untuk
mempelajari bahasa dan kesusasteraan Yunani. Bahasa Yunani menjadi menjadi
perantara didalam arti kebudayaan yang luas. Sekolah Gramatika ini lamanya 4
tahun, yang memasuki anak-anak umur 12 tahun.
c. Sekolah Retorika (the Rethoric Scholl)
Karena
takut tinggal secara konservatif, maka pada abad ke-2 M timbulah di Roma
sekolah-sekolah retorika. Anak yang masuk sekolah ini kira-kira umur 17 tahun
dan mempelajari teknik sebagai orator. Tipe sekolah ini semacam sekolah Yunani
dan mendasarkan pandngan retorika dari Aristoteles, Cicero dan Quintilianus
(Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 106-108).
Uraian
berikut memberi penjalasan bahwasaannya, dalam bidang pendidikan Roma hanyalah
pewaris dari kesuksesan pendidikan di Yunani. Oleh karena itu, Roma sangat
mengagungkan Yunani dalam hal pendidikan. Pendidiknyapun banyak yang bersal
dari Yunani, tidak mengherankan jika Roma begitu mudah meniru konsep-konsep
pendidikan dari Yunani.
Daftar
Pustaka
Agung,
S, L & Suparman, T. 2012. Sejarah
Pendidikan. Yogyakarta: Ombak.
Koesoema, A., D. 2007(a). Pendidikan Karakter: Strategi mendidik anak
di zaman global. Jakarta: Grasindo
Koesoema,
A., D. 2009(b). Pendidik Karakter Di Zaman Keblinger: mengembangkan visi
guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Jakarta: Grasindo.
Kumalasari,
D. 2008. Pengantar Sejarah Pendidikan.(Makalah).
Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negri Yogyakarta.
Sudono,
A. 2000. Sumber Belajar dan Alat Bermain:
untuk Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta; Grasindo.
Tim
Pengembangan Ilmu Pendidikan (FIP-UPI). 2009. Ilmu dan aplikasi pendidikan : Ilmu Pendidikan Teoretis. _
_:IMTIMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar