Kamis, 21 Juli 2016

SEJARAH PENDIDIKAN: KONSEP DAN PENERAPAN PENDIDIKAN PADA MASA YUNANI (V-IV SM) DAN ROMA KUNO (300 SM-2 M)


KONSEP DAN PENERAPAN PENDIDIKAN PADA MASA YUNANI (V-IV SM) DAN ROMA KUNO (300 SM-2 M)

Oleh:
Slamet Rohman

A. Konsep Pedidikan dan Penerapan Yunani
a. Pendidikan Spartan
            Sparta pada masa keemasannya (VIII-VII SM) berbeda dengan Sparta pada masa kemerosotan (V-IV SM). Sparta berubah seratus delapan puluh derajat ketika para tiran naik kuasa sekitar tahun 550 SM. Pendidikan karakter yang mulanya bersifat humanis berubah menjadi komunitaris yang anti demokrasi (Koesoema, A., D. 2007: 19). Undang-undang Licurgus menghendaki bangsa Sparta memenuhi tugas untuk mempertahankan Sparta. Meskipun Undang-undang ini sebelum abad ke-8 tetapi baru bersifat militer sungguh-sungguh pada abad ke-7 SM (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 83-84). Sangat berbeda dengan Konsep pendidikan di Athena yang mengedepakan Demokrasi. Pada masa ini, tergambar suatu konsep pendidikan yang mengutamakan kekerasan dalam mengolah fisik sesorang untuk disiapkan menjadi seoarang serdadu dalam menjaga dan melindungi negara polis dari serangan musuh.
            Pada masa ini, terjadi degenerasi, yang menyebabkan daerah kekuasaan Sparta menjadi sempit, tetapi wilayahnya terus bertambah. Maka dalam masyarakat timbul golongan melarat, aristokrasi jatuh. Letak geografis Sparta sendiri mengharuskan adanya suatu negara yang bertentara kuat, ditambah lagi dengan pemberontakan penduduk asli. Jadi problem yang umum dihadapi Sparta ialah mempertahankan diri dari musuh di luar dan di dalam (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 83-84). Masalah-masalah yang dihadapi oleh Sparta, mengharuskan untuk menciptakan suatu konsep pendidikan yang bersifat militeristik. Kondisi seperti ini, mendorong Sparta untuk menciptakan suatu pedidikan bagi warga negaranya yang bersifat keras, disiplin, dan cinta kepada tanah air.
            Pada tahun 550 SM, arete tidak hanya dipahami lewat idealisme menjadi serdadu yang mengutamakan semangat patriotisme, namun negara sebagai institusi tertinggi mengambil alih secara total kinerja edukatif dalam arti yang sesungguhnya. Dalam artian ini, pendidikan karakter Spartan  bersifatnya tiranis, totalitarian, komunal (Koesoema, A., D. 2007: 19). Konsep pendidikan militeris tumbuh dan berkembang di Sparta pada masa-masa ini. Uraian berikut memberi gamabaran, pada masa ini, Sparta sangatlah mengutamakan pendidikan yang bersifat militeris, dengan mengembangkan pemahaman tentang arĂȘte. Pendidikan Sparta memperlihatkan suatu pengajaran yang bertujuan untuk membentuk suatu pertahan militer negara yang kuat dengan membentuk serdadu-serdadu perang.
            Dalam konteks rezim tiranis militeris, pendidikan karakter bagi negara terutama diarahkan pertumbuhan keutamaan moral sebagai warga negara terutama diarahkan pertumbuhan keutamaan moral sebagai warga negara yang memiliki cinta secara total kepada tanah air, menghargai nilai kekuatan dan kekerasan, mengutamakan latihan fisik demi kesiapan tempur, dan ketaatan total pada tanah air (patria) (Koesoema, A., D. 2007: 19).  Seperti yang telah dijelaska sebelumnya, Sparta memiliki ciri tersendiri pada masa itu, pendidikan di selenggarakan oleh negara dan hanya untuk warganegara merdeka. Pendidikan tersebut didasarkan dua asas, yaitu anak adalah milik negara dan Tujuan pendidikan adalah membentuk serdadu-serdadu pembela warga negara (Kumalasari, D. 2008:--).
            Tirteo merupakan tokoh yang dimiliki oleh Sparta. Perannya dalam mengubah pandangan pemahaman terhadap arete homerian menjadi menjadi kepahlawanan amor patrio (cinta tanah air). Karya atau syair yang dibuatnya memiliki peran yang kuat bagi etos pendidikan. Tirteo merupakan juru bicara kolektivitas yang menyatakan pentingnya relasi mendalam bagi setiap warga negara yang berpikir lurus untuk menjadi satu kesatuan dengan warga lain dalam cinta total bagi negara ketika negara mengalami peperangan dan dalam bahaya. Tirteo, mengubah arete homerian menjadi kepahlawanan amor patrio (cinta tanah air) (Koesoema, A., D. 2007: 19-20). Peran Tirteo dalam meluaskan pandangannya terhadap arete sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep pendidikan yang sebelumnya lebih santun kini berubah menjadi totaliter, militer dan mengedepankan watak keras.
            Gambaran idealisme Homerian yang sifatnya sangat aristokratis individual berubah menjadi idealisme kepahlawanan yang sifatnya kolektif, yang menjadi idealisme bagi setiap warga polis, suatu totalitas pemberian diri kepada negara. Semangat cinta tanah air yang di promosikan oleh Tirteo senantiasa menjadi jiwa dan semangat baru bagi setiap warga negara. Ethos baru ini tidak hanya menjadi ciri pendidikan karakter ala Sparta, namun nilai-nialai heroisme yang mengatasi kepentingan individu, yang memuncak dalam semangat pengorbanan diri, miliki nilai trasendental berupa kebaikan sebuah komunitas. Nilai pengabdian dan cinta tanah air ini mengatasi batas-batas Spartan, bahakan ditiru oleh kota yang anti Sparta, seperti Athena, ketika ia memberikan penghormatan bagi warga negaranya yang juga gugur di medan perang (Koesoema, A., D. 2007: 19-20-21). Uraian berikut menggambarkan suatu usaha pembentukan sebuah pendidikan yang di landaskan pada nilai-nilai patriotik, atau bahkan mungkin inilah cikal-bakal dari suatu pendidikan yang mengutamakan pada kecintaanya kepada tanah air. Menjadi seorang serdadu dalam rangka membela dan melindungi tanah air merupakan suatu keharusan bagi setiap warga Sparta dan menjadi sebuah keyakinan bahwa hal tersebut dapat menyempurnakan kedudukannya sebagai manusia yang di fahami dari arĂȘte kepahalawan Tirteo.
            Konsep pendidikan yang seperti ini, membuat anak laki-laki lebih mendapat prioritas. Orang tua tidak mempunya kekuasaan terhadap anak. Tidak ada yang dinamakan rumah tangga di dalam masyarakat Sparta. Orang tua hanya berhak atas anak samapai anak umur 7 tahun, sesudah umur negara yang menguasai. anak mendapat latihan yang dititik beratkan pada jasmani dan militer. Anak yang lemah dibunuh. Mereka dilatih untuk menghadapi musuh Sparta. Membaca dan menulis tidak mempunyai arti bagi negara. Untuk latihan militer bagi laki-laki dan perempuan boleh dikatakan sama. Hanya pada perempuan kurang keras (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 84). Terlihat begitu keras pendidikan pada anak-anak yang masih berusia dini. Demi melahirkan serdadu-serdadu yang kuat dan tangguh, pendidikan ala militeris sudah diberlakukan sejak dini. Bukan saja laki-laki namun seorang perempuanpun juga menjadi sasaran konsep pendidikan sedemikan rupa. membaca dan menulis hanyalah membuang-buang waktu untuk dapat mencetak kader-kader serdadu perang yang kuat dan sangat terlatih.
            Secara resmi anak dibawa negara dari umur 7 sampai 18 tahun. Sesudah umur 18 tahun mereka mendapat latihan disiplin yang sangat berat, dan di bawa keluar daerah diawasi secara rahasia. Pada umur 20 tahun percobaan selesai, anak dipilih menjadi anggota perkumpulan. 10 tahun kemudian menjadi anggota penuh. Mereka harus mengikuti terus latihan berperang. Undang-undang mereka ditempatkan di dalam tempat latihan di bawah pimpinan opsir. Sesudah umur 30 tahun ia boleh kawin tetapi mesti tetap menjadi tentara dan tinggal di tangsi. Pada umur 30 tahun ia telah menjadi warga negara yang penuh (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 84-85). Pendidikan kemiliteran yang diterapkan oleh Sparta ini terlihat begitu sangat keras dan mengunggulkan kedisiplinan yang sangat tinggi, bahkan terkesan sangat kejam. Konsep pendidikan seperti yang telah dijelaskan, telah menciptakan tembok besar yang menghalangi kebebasan anak-anak Sparta. Kehidupan anak-anak Sparta dalam tempat pelatihan kemiliteran begitu tertutup dan terjaga sangat ketat, sehingga akan sangat sulit anak-anak Sparta untuk dapat mengembangkan kemampuan terhadap keahlian yang lain seperti membaca dan menulis. Terlebih lagi, bagi Sparta membaca dan menulis tidaklah begitu penting bagi negara
            Selain itu, Pelaksanaan pendidikan anak-anak dibiasakan menahan lapar, tidur di atas bantal rumput, dan pada musim dingin hanya memakai mantel biasa saja. Sifat-sifat yang harus dimiliki tentara, seperti keberanian, ketangkasan, kekuatan, cinta tanah air, dan tunduk pada disiplin selalu mendapat perhatian. Sebaliknya, pelajaran seperti kesenian dianggap tidak terlalu penting dan diabaikan. Musik dan nyanyian hanya dijadikan alat untuk mempengaruhi jiwa dalam melaksanakan dinas ketentaraan (Kumalasari, D. 2008: --). Pakaian mereka hanya seperlunya saja supaya badan menjadi tahan. Mereka tak bersepatu tak bertutup kepala. Makan sedikit, tidak boleh sering mandi karena menjadikan badan lemas (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 85). Pendidikan seperti ini, dapat dikatakan tidk manusiawi. Sebab kebebasan seseorang tertutup oleh konsep pendidikan yang mengharuskan serdadu tersebut taat dan harus mau mengambil resiko untuk terkekang terhadap kebesan yang seharusnya mereka dapatkan.
            Pendidikan yang keras terlihat juga dalam suatu kebiasaan. Tiap tahun didalam rumah suci “Arthemis Orthia” beberapa pemuda di pukul sampai keluar darah. Dengan demikian badan diperkebal, keberaian dan kemauan dibentuk. Anak wanitapun mendapat perhatian meskipun tinggal dirumah tapi semuanya mengikuti undang-undang. Anak wanita mesti mengikuti permainan seperti berlari, bergumul, melempar lembing, melempar cakram, supaya mereka kuat, cakap, serta sehat. Menyanyi dan menari diajarkan pula. mereka berterus terang mengemukakan pendapatnya, dirumah mereka hidup mewah dan bebas, sedang suaminya terikat oleh peraturan-peraturan asrama (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 85).
            Uraian diatas memberikan gambaran, bahwasanya konsep pendidikan yang diterapkan oleh Sparta berlandaskan pada militeristik. Segala usaha pendidikan dicurahkan pada pelatihan untuk mempersiapkan serdadu-serdadu perang, guna menjaga dan melindungi tanah Air. Kecintaan kepada tanah air dan jiwa patriotis sangat di utamakan, guna menunjang semangat para calon serdadu maupun para serdadu dalam berlatih dan melindungi tanah airnya. Bangsa Sparta tidak mengalami kemajuan didalam lapangan estetika dan intelek, meskipun didalam kehidupan memiliki seremoni. sebab titik beratnya pada kemiliteran. Kedudukan wanita bebas baik diluar maupun di dalam rumah (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 85).
b. Pendidikan Athena
            Berbeda dengan Sparta, Athena arkhais (VII-VI SM) memiliki jalur perkembangan kultur yang lebih terbuka dan demokratis dibandingkan dengan  ketertutupan Sparta. Perkembangan kehidupan kultural dan politik di Athena tidak terlepas dari peranan para legislator dan tirani, seperti Dacronte, solon, Pisistrato, dan Clistene. Kehadiran mereka membantu jejak sejarah sosial politik di Athena menuju pada suatu kematangan Demokrasi dan kehidupan berbudaya yang begitu intens, yang memuncak pada masa Pericles (495-492 SM). Pelopor pembaharu tata kehidupan Athena adalah Solon (630-560 SM), seorang intelektual yang belajar banyak dari pengalaman mengembara di luar Athena. Ia sangat apresiatif atas kehidupan seni dan kebudayaan (Koesoema, A., D. 2007: 19-22-23). Meskipun terdapat perbedaan dengan yang sangat siknifikan antara Sparta dan Athena, namun keduanya memiliki alur sejarah yang hampir sama, yaitum sama berawal dari yang belum sempurna dan cenderung primitive. Perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan masyarakat Athena merubah pola pikir mereka terhadap konsep pendidikan yang baik.
            Pada masa ini Athena mempunyai dua macam sekolah untuk anak laki-laki. Palestra, yaitu sekolah untuk latihan badan dan Didasscaleum, yaitu sekolah untuk musik atau kesusastraan. Sekolah ini dibedakan sesuai dengan anak. Pemisahannya terletak pada yang kaya dan yang miskin. untuk yang kaya biasanya anaknya bersekolah 16-17 tahun, yang miskin lebih sedikit daripada itu. Program sekolahnya masih bersifat occational (rencananya selalu berubah-ubah). Pada zaman ini pula terdapat bentuk sekolah militer untuk anak yang berumur 18 tahun. Sekolah ini timbul pada 400 SM yang bernama sekolah Ephibic. Anak muda berumur 21-22 tahun dikirim untuk menjaga tapal batas dan meneruskan latihan-latihan militer. Di samping itu ada pendidikan informal yaitu yang berhubungan ikut sertanya anak di dalam keluarga, lapangan sosila, ekonomi dan politik. Lebih-lebih di zaman transisi yaitu demokrasi berkembang dengan sebaik-baiknya (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 85).
            Sesudah umur 18-19 tahun mereka harus menunjukan cinta pada tanah air dan mendaftarkan diri menjadi warga negara (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 85). Terihat bagaimana, pendidikan Athena, ditujukan agar anak didiknya dapat mengembangkan potensinya sebagai peserta didik dan pada akhirnya harus dicurahkan kepada negara. Nampaknya, konsep ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang pada era-era global saat ini. Menurut (Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan (FIP-UPI). 2009: 1), ”Pendidikan juga dapat menjadi wahana baik bagi negara untuk membangun sumberdaya manusia yang diperlukan dalam pembangunan juga bagi setiap peserta didik untuk dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki”. 
            Terlihat, pendidikan Athena telah mengalami perkemabangan yang sangat siknifikan dibandingkan dengan Sparta yang memfokuskan pendidikan kepada terbentuknya sebuah kemiliteran yang kuat. Pendidikan di Athena tumbuh lebih kompleks yang meliputi berbagai aspek bukan hanya dalam militer saja. Sebagai negara, Athena tetap mengembangkan pendidikan kemiliteran, namun untuk menumbuhkan suatu negara yang memiliki kebsaran, Athena juga mengembangkan pendidikan yang berfokus pada pengembangan pola pikir manusia terhadap segala aspek kehidupan. Melalui pembelajaran Musik dan kesusastraan pola pikir manusia dikembangkan. Tidak ada batasan lagi antara yang miskin dan kaya, semua mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan yang layak. Sehingga Sumber Daya Msnusia di Athena notabenya lebih berkembang secara merata. Meskipun perencanaan pendidikan di Athena masih sering tidak konsisten, terlepas dari itu, pendidikan di Athena telah mencakup dua aspek yang yang penting dari manusia, yaitu jasmani dan pola pikir.
            Seperti yang telah dijelaskan di atas, obyek pendidikan ialah perkembangan individu mengenai badan, akal dan moralnya. Perkembangan ini di tujukan kesejahteraan individu dan negara. Orang Athena sangat menghormati individu dan nilai-nilainya. Tujuan sebenarnya yaitu manusia yang sesungguhnya. Pelajaran musik dan kesusasteraan anak dilatih secara vokal dan instrumental, maksutnya memberikan pengaruh baik di dalam moral, kultral dan sifat-sifat yang paedagogis seperti pembentukan pribadi. Kesusasteraan di sekolah ada gurunya yang istimewa yang mengajar membaca dan menulis syair. Usaha-usaha ini mempunyai maksut cultural, moral dan intelek (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 90-91).
            Dari uraian diatas, terlihat bahwa Pendidikan karek juga sangat diperhatikan. Guru-guru di Athena tidak sekedar mengajar dan menjelaskan, seorang guru juga mempraktekan bagaimana menulis dan membacakan syair yang baik. Untuk itulah, pendidikan karakter yang akhir-akhir ini sulit di dapat melalui pendidikan formal dapat kita bandingkan dengan tujuan pendidikan karakter di Athena yang juga di terapkan di sekolah. Guru-guru di Athena sebagai makhluk yang daianggap sempurna oleh peserta didiknya, memberikan contoh dan cara belajar yang dapat mengembangkan nilai-nilai moral peserta didik. Mendukung pernyataan ini, menurut (Koesuma, A., D. Mengungkapakan bahwa, 2009: 146) “Pendidikan karakter tidak akan terjadi melalui pengajaran klasik, kuliah, atau penjelasan didalam kelas. Lebih dari itu, keteladanan merupakan pengajaran dasar tentang pendidikan karakter. Nilai-nilai yang tidak diajarkan melalui keteladanan tidak dapat ditangkap  dan dipahami dengan baik oleh siswa karena indera manusia menangkap apa yang menjadi fakta daripada norma”.
            Sekolah-sekolah mulai pagi sampai sore dan mendapat latihan di palestra. Latihannya bersifat permainan. Pelajaran dimulai dengan menghafal syair yang panjang. kemudian guru bercerita panjang sesudah itu murid-murid disuruh membaca dan menulis kesusastraan (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 91). Pada masa ini, sudah dikenal model pembelajaran yang berbasis permainan. Konsep Pembelajaran yang menyenangkan telah diterapkan. Montessori, seorang seorang tokoh pendidikan, dalam (Sudono, A. 2000: 2), “menekankan bahwa ketika anak bermain, ia akan mempelajari dan menyerap segala sesuatu yang terjadi dilingkungan sekitarnya”. Tidak mengherankan jika dengan konsep yang seperti ini, murid-murid di Athena dapat menyerap dan memahami betul materi-materi yang diajarkan oleh guru. Karena harus menghafal dan menulis kesusastraan, model belajar dengan bermain diterapkan, agar peserta didik tidak bosan dan cenderung akan lebih bersemangat untuk belajar. Tidak mengherankan jika pada masa yang datang, lahirlah beberapa ilmuan besar dari Yunani, yang karyanya banyak di pelajari dan dikembangkan oleh ilmuan-ilmuan pada era-era kini.
            Ada juga sekolah dari golongan radikal (sofis). Perubahan-perubahan di dalam dunia pendidikan lebih nyata pada pemuda. Masyarakat Athena sangat keras memegang dasar-dasar demokrasi sehingga orang-orang yang pandai berpidato banyak yang mendapatkan pengaruh. Dalam Gymnasisum, Sofis member pelajaran dengan bayaran yang tinggi. inilah yang menyebabkan gymnasium dari tempat latihan badan menjadi tempat latihan pikiran. Sekolah latihan filsafat dan berpidato disinilah tempatnya (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 93). Sofis merupakan sebuah istilah yang memiliki arti positif, yaitu orang yang memiliki kebijaksanaan, atau guru kebijaksanaan, yang sesungguhnya bertentangan dengan kalangan intelektual yang hanya bekerja demi perumusan pendapat yang keliru dan menyesatkan. Secara etimologi, sofis berasal dari bahasa Yunani sofizesthai, yang artinya, mampu berbicara dengan baik. Di masa lalu, para guru kebijaksanaan ini menampilkan dirinya di pizza-pizza tempat publik bekumpul (Koesoema, A., D. 2007: 19-25).
B. Pendidikan Roma
            Hellenisme adalah aliran kebudayaan yang diciptakan oleh ahli-ahli filsafat Yunani (Hellas). Sejak saat itu bangsa Romawi mulai menyadari arti penting ilmu pengetahuan. Dengan demikian maka tujuan pendidikan mengalami perubahan: untuk pembentukan manusia yang harmonis. Pendidikan ratio dan kemanusiaan (humanitas) menjadi prioritas (Kumalasari, D. 2008:--). Berbeda dengan bangsa Yunani yang mempunyai watak berpikir. Bangsa Roma ini lebih tertuju pada perbuatan dalam lpangan kesusastraan tidak mencipta apa-apa hanya meniru. mereka mempunyai persona cukup terhadap penerimaan ilmu alam dari bangsa Yunani (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 104). Sebagai peradaban yang lebih muda dari Yunani, Roma tidak terlalu banyak menciptakan sesuatu yang baru terhadap pendidikan. Kelibihan Roma dalam memerintah suatu negara di kombinasikan dengan kelebihan Yunani dalam memikirkan dunia, sehingga pada masa yang datang roma menjadi suatu negara besar dan kuat dalam segala hal.
            Pendidikan yang secara formal baru timbul pada 300 SM. Pada umumnya sekolah dan pendidikannya meniru model Yunani. Organisasi dan mata pelajaran di Sekolah meliputi:
a. Sekolah Ludus
            Ludus merupakan sekolah rendah yang timbul kira-kira 300 SM. Mata pelajarannya meliputi; membaca, menulis, matematika, dan hukum. Siswanya meliputi anak-anak dari umur 7 tahun sampai 12 tahun. sekolah ini berlangsung kira-kira 200 tahun
b. Sekolah Gramatika (the Gramar School)
            Sesudah 300 SM sekolah ini didirikan oleh guru-guru Yunani. Adapun maksutnya untuk mempelajari bahasa dan kesusasteraan Yunani. Bahasa Yunani menjadi menjadi perantara didalam arti kebudayaan yang luas. Sekolah Gramatika ini lamanya 4 tahun, yang memasuki anak-anak umur 12 tahun.
c. Sekolah Retorika (the Rethoric Scholl)
            Karena takut tinggal secara konservatif, maka pada abad ke-2 M timbulah di Roma sekolah-sekolah retorika. Anak yang masuk sekolah ini kira-kira umur 17 tahun dan mempelajari teknik sebagai orator. Tipe sekolah ini semacam sekolah Yunani dan mendasarkan pandngan retorika dari Aristoteles, Cicero dan Quintilianus (Agung, S, L & Suparman, T. 2012: 106-108).
            Uraian berikut memberi penjalasan bahwasaannya, dalam bidang pendidikan Roma hanyalah pewaris dari kesuksesan pendidikan di Yunani. Oleh karena itu, Roma sangat mengagungkan Yunani dalam hal pendidikan. Pendidiknyapun banyak yang bersal dari Yunani, tidak mengherankan jika Roma begitu mudah meniru konsep-konsep pendidikan dari Yunani.

Daftar Pustaka
Agung, S, L & Suparman, T. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Ombak.
Koesoema, A., D. 2007(a). Pendidikan Karakter: Strategi mendidik anak di zaman global. Jakarta: Grasindo
Koesoema, A., D. 2009(b). Pendidik Karakter Di Zaman Keblinger: mengembangkan visi guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Jakarta: Grasindo.
Kumalasari, D. 2008. Pengantar Sejarah Pendidikan.(Makalah). Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negri Yogyakarta.
Sudono, A. 2000. Sumber Belajar dan Alat Bermain: untuk Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta; Grasindo.
Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan (FIP-UPI). 2009. Ilmu dan aplikasi pendidikan : Ilmu Pendidikan Teoretis. _ _:IMTIMA.

Tidak ada komentar: